Beranda / Berita / Nasional / Krisis Argentina dan Turki, Rupiah Merosot ke Rp14.700 per Dolar AS

Krisis Argentina dan Turki, Rupiah Merosot ke Rp14.700 per Dolar AS

Minggu, 02 September 2018 21:05 WIB

Font: Ukuran: - +

Ilustrasi. (Reuters)

DIALEKSIS.COM | Jakarta - Rupiah kembali melemah menembus Rp14.700 per dolar Amerika Serikat (AS),  karena kebijakan moneter AS yang kian ketat, dibarengi dengan krisis Turki dan Argentina yang semakin parah.

Pada penutupan perdagangan Jumat (31/8), rupiah berada di posisi Rp14.710 per dolar AS merosot 30 poin atau 0,20% dari posisi penutupan sesi perdagangan hari sebelumnya. Secara year-to-date (ytd) rupiah tercatat melemah 7,8%.

Adapun, pada sesi yang sama rupiah sempat melemah ke posisi Rp14.750 per dolar AS, tercatat sebagai level terendah selama dua dekade.

"Pelemahan rupiah terparah dibandingkan dengan mata uang emerging market lainnya karena posisi pembayaran eksternal Indonesia terlampau lemah, terutama karena defisit akun berjalannya. Hal itu tidak jauh berbeda dengan kondisi 20 tahun lalu saat krisis terjadi di Asia dan kelayakan kredit eksternal rupiah yang terlalu lemah," ungkap Prakash Sakpal, ekonom ING Groep NV, dikutip dari Bloomberg, Sabtu (1/9/2018).

Dengan semakin banyak investor yang membuat aset Argentina dan Turki, sejumlah negara dengan defisit akun berjalan seperti Indonesia dan India dipastikan mengalami pelemahan yang cukup parah.

Kemerosotan mata uang peso Argentina dan lira Turki mengakhiri kestabilan rupiah dalam beberapa waktu belakangan setelah Bank Indonesia menaikkan suku bunga hingga empat kali sejak pertengahan Mei.

Laporan dari Bank of America Merrill Lynch menunjukkan bahwa aksi jual yang terjadi belakangan ini semakin menambah tekanan pada bank sentral untuk menaikkan suku bunga lebih lanjut.

"Kondisi eksternal masih menjadi faktor utama pelamahan rupiah, seperti yang kami antisipasi. Kami memperkirakan akan ada kenaikan suku bunga lebih lanjut dengan besaran yang cukup untuk mengatasi masalah eksternal, bukan untuk masalah domestik," kata Mohamed Faiz Nagutha, ekonom Merrill Lynch.

Kepala Bidang Riset dan Analis PT Monex Investindo Future Ariston Tjendra mengatakan hal serupa, bahwa pemicu utama pelemahan rupiah adalah dari faktor eksternal.

"Kebijakan pengetatan moneter di AS, isu perang dagang, krisis Turki, Venezuela, Argentina, isu Timur Tengah, dan lain-lain menyebabkan kekhawatiran investor meningkat dan Emerging Market [EM] termasuk Indonesia dianggap berisiko sehingga setiap ada gejolak, investor keluar dari Indonesia," ujar Ariston saat dihubungi Bisnis, Jumat (31/8/2018).

Secara fundamental, Indonesia dinilai tidak terlalu kuat khususnya dari sisi neraca berjalan yang defisit, membuat rupiah tetap anjlok bahkan semakin parah meskipun dolar AS sempat melemah beberapa hari lalu.

Oleh karena itu, menurut Ariston Pemerintah Indonesia harus fokus ke masalah current account deficit (CAD) untuk memperkuat fundamental agar saat ada gejolak eksternal, rupiah tidak melemah atau bergejolak terlalu dalam.

Ariston memproyeksikan selama sepekan kedepan rupiah akan bergerak di kisaran Rp14.650 – Rp14.800 per dolar AS. (Bisnis)

Keyword:


Editor :
Sammy

riset-JSI
Komentar Anda