DIALEKSIS.COM | Jakarta - Lima Kepala Desa (Keuchik) asal Aceh Venny Kurnia (Aceh Barat Daya), Syukran (Gayo Lues), Sunandar (Aceh Besar), Badaruddin (Langsa), dan Kadimin (Aceh Selatan) mengajukan permohonan pengujian materiil (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka mempersoalkan Pasal 115 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang dinilai bertentangan dengan konstitusi.
Permohonan tersebut didaftarkan secara daring pada Senin (18/3) melalui nomor registrasi 47/PAN.ONLINE/2025 dan kini menunggu proses verifikasi berkas fisik oleh Kepaniteraan MK.
Nisa Ulfitri, kuasa hukum dari Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA), menjelaskan, setelah pendaftaran online, pihaknya akan menyerahkan dokumen asli ke MK pada Selasa (19/3).
Dalam petitum, para Keuchik menilai Pasal 115 Ayat (3) UU Pemerintahan Aceh telah menciptakan ketidakadilan. Pasal itu membatasi masa jabatan Keuchik hanya 6 tahun, sementara UU Nomor 3 Tahun 2024 yang berlaku nasional mengatur masa jabatan Kepala Desa selama 8 tahun. Venny Kurnia, Keuchik dari Aceh Barat Daya, menyatakan hal ini telah merampas hak konstitusional mereka.
“Pasal ini mendegradasi hak kami sebagai warga negara. Ada diskriminasi dan dualisme aturan yang menyebabkan kedudukan hukum kami tidak setara dengan kepala desa di provinsi lain,” tegas Venny.
Menurutnya, ketimpangan ini melanggar Pasal 1 Ayat (3), Pasal 27 Ayat (1), Pasal 28D Ayat (1) dan (3), serta Pasal 28I Ayat (2) UUD 1945 tentang prinsip kesetaraan di depan hukum.
Tuntutan ke MK
Para pemohon meminta MK:
Argumen Pemohon
YARA, sebagai tim advokasi, menegaskan bahwa keberadaan Pasal 115 Ayat (3) menimbulkan inkonsistensi hukum. “Aceh seharusnya tunduk pada UU nasional terkait masa jabatan. Jika MK tidak mengubah pasal ini, konstitusi sebagai hukum tertinggi terus terabaikan,” tutup Nisa Ulfitri.