DIALEKSIS.COM | Jakarta - Dalam beberapa tahun terakhir, pelaksanaan Tes Kemampuan Akademik (TKA) menuai sorotan luas dari kalangan akademisi, mahasiswa, hingga pemerhati pendidikan tinggi di Indonesia. Tes yang awalnya dimaksudkan untuk menilai kemampuan dasar kognitif calon mahasiswa itu kini dinilai melahirkan polemik baru: soal keadilan, relevansi, dan arah pendidikan yang semakin menjauh dari semangat humanisme.
Di tengah perdebatan itu, Dr. Iswadi seorang akademisi dan pendidik di Indonesia muncul sebagai salah satu intelektual yang lantang menggugat paradigma pendidikan nasional yang dianggap terlalu menekankan angka dan hasil tes, ketimbang pengembangan potensi manusia seutuhnya.
Dosen sekaligus peneliti pendidikan ini menilai, TKA hanyalah refleksi dari sistem pendidikan yang masih sarat dengan semangat instrumentalis dan elitis. “TKA tidak mengukur kemampuan akademik secara holistik,” ujar Iswadi dalam salah satu forum pendidikan. Ia menilai, sistem ini justru memperkuat ketimpangan sosial.
Menurutnya, peserta dari keluarga mampu memiliki akses lebih besar terhadap bimbingan belajar, fasilitas pendidikan, dan sumber belajar memadai. Sementara siswa dari daerah dan keluarga sederhana tertinggal bukan karena kurang cerdas, melainkan karena terbatasnya akses dan dukungan belajar.
Terinspirasi dari pemikiran Paulo Freire, Iswadi menegaskan bahwa pendidikan seharusnya menjadi proses pembebasan, bukan penyeragaman. Ia mengkritik praktik seleksi berbasis TKA yang dianggap mengekang potensi peserta didik dan memaksa mereka berkompetisi dalam ruang yang sempit, tanpa mempertimbangkan realitas sosial di sekitarnya.
“Pendidikan sejati bukanlah tentang siapa yang paling cepat menghafal, tetapi siapa yang mampu berpikir kritis dan memahami dunia secara utuh,” katanya.
Kontroversi TKA kian memanas karena pelaksanaannya dinilai tidak transparan dan terlalu berfokus pada tes pilihan ganda. Tes semacam ini, menurut Iswadi, telah mereduksi makna kecerdasan manusia menjadi angka semata. Padahal, setiap individu memiliki bentuk kecerdasan majemuk yang tidak bisa diukur dengan cara tunggal.
Iswadi menyebut sistem ini lahir dari cara berpikir yang mengutamakan standarisasi dan meritokrasi semu. Meski tampak objektif, ia menilai ada bias struktural di baliknya: perbedaan kualitas sekolah, akses pendidikan, dan kondisi psikologis peserta.
Sebagai solusi, Iswadi tidak sekadar menyerukan penghapusan TKA, melainkan rekonstruksi paradigma seleksi nasional. Ia mengusulkan pendekatan berbasis portofolio akademik dan sosial, yang menilai peserta tidak hanya dari hasil ujian, tetapi juga kontribusi di masyarakat, kemampuan berpikir kritis, serta semangat belajar sepanjang hayat.
“Seleksi harus memanusiakan peserta didik, bukan menstandarkan mereka,” ujarnya.
Gagasan Iswadi menuai dukungan dari kalangan pendidik progresif, namun juga mendapat kritik. Pihak yang pro-TKA menilai, sistem tes tetap diperlukan sebagai alat ukur objektif di tengah besarnya jumlah pendaftar. Tanpa standar semacam itu, proses seleksi dikhawatirkan menjadi lebih subjektif dan rawan ketidakadilan.
Menanggapi itu, Iswadi menegaskan bahwa objektivitas bukan berarti penyeragaman. Justru, objektif berarti mampu melihat keunikan tiap individu dalam konteks sosialnya.
Bagi Iswadi, perjuangan melawan hegemoni angka dan sertifikat bukan sekadar idealisme. Ia menyebut pendidikan yang membebaskan sebagai “keharusan moral” di tengah dunia yang semakin mengukur nilai manusia lewat skor dan dokumen formal.
“Pendidikan sejati adalah proses memanusiakan manusia, bukan menstandarkan mereka dalam angka,” tulisnya dalam salah satu esai.