DIALEKSIS.COM | Jakarta - Menteri Agama Nasaruddin Umar memaparkan keunggulan budaya maritim Indonesia dalam menangkal radikalisme. Hal ini ia sampaikan dalam Rapat Kerja Teknis Densus 88 di Auditorium Mutiara STIK-PTIK.
“Kalau kita keliling dunia, tidak ada negara seperti Indonesia. Indonesia terdiri dari 17.380 pulau, 1.349 suku bangsa, 718 bahasa daerah, dan 2.240 komunitas adat. Tapi semua itu bisa hidup berdampingan secara damai,” ujar Menag di Jakarta, Selasa (22/4/2025).
Menurut Menag, akar kekuatan Indonesia terletak pada watak budaya maritim (wilayah kepulauan) yang terbuka, inklusif, dan kolaboratif. Sebaliknya, budaya kontinental (wilayah daratan benua) cenderung tertutup dan hirarkis.
"Di Indonesia, tidak ada nabi. Tapi masyarakatnya sudah sopan dan santun. Kita tiap tahun mendapat penghargaan sebagai jemaah haji paling tertib dan disiplin," jelasnya.
"Budaya maritim terbiasa menghargai perbedaan. Filosofinya, di mana ada pulau, kita boleh sandarkan perahu. Di mana ada sungai, kita boleh ambil air. Api, air, dan pantai tidak boleh dimonopoli. Karena itu, masyarakat maritim lebih kolaboratif dan terbuka," lanjutnya.
Menag membandingkan dengan sejumlah negara kontinental yang lebih homogen, seperti Afghanistan yang hanya memiliki tujuh etnis dan dua bahasa, namun terus dilanda konflik. Kondisi serupa juga ditemui di negara-negara berbahasa Arab seperti Suriah dan Sudan.
"Karena itu, radikalisme di Indonesia biasanya dipicu oleh pengaruh luar. Misalnya, penolakan pembangunan rumah ibadah, baik gereja atau masjid, sering bukan berasal dari warga lokal, tapi dari pendatang yang diprovokasi oleh jaringan luar," ungkapnya.
Lebih lanjut, Menag juga menyoroti meningkatnya peran perempuan dalam jaringan radikal, terutama melalui media sosial.
“Konten radikal sekarang justru banyak diisi oleh perempuan. Karena mereka lebih intens berinteraksi dengan agama dan medsos. Bahkan ada suami yang kerja di deradikalisasi, istrinya justru agen radikalisme," kata Menag.
Menag menegaskan pentingnya memahami ancaman radikalisme secara utuh dan berbasis data terkini. Ia berharap aparat seperti Densus 88 bisa lebih komprehensif dalam menganalisis pola-pola baru penyebaran radikalisme, termasuk yang menyasar perempuan dan ibu rumah tangga.
Turut hadir, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, dan Kepal Badan Nasional Penan Terorisme (BNPT) Eddy Hartono.[*]