kip lhok
Beranda / Berita / Nasional / MK Bereaksi terhadap Pengangkatan TNI/Polri Jadi Pj Kepala Daerah

MK Bereaksi terhadap Pengangkatan TNI/Polri Jadi Pj Kepala Daerah

Rabu, 25 Mei 2022 23:50 WIB

Font: Ukuran: - +

Juru Bicara Mahkamah Konstitusi, Fajar Laksono. [Foto: kompas.com]


DIALEKSIS.COM | Jakarta - Penunjukkan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Sulawesi Tengah, Brigjen Andi Chandra As'adudin sebagai Penjabat (Pj) Bupati Seram Bagian Barat telah menimbulkan polemik di masyarakat.

Juru Bicara Mahkamah Konstitusi (MK) Fajar Laksono mengatakan polemik penunjukan anggota TNI/Polri sebagai Pj kepala daerah belakangan terjadi karena pertimbangan hukum dalam Putusan MK Nomor 67/PUU-XIX/2021 tidak dianggap mengikat.

"Ketika itu dilaksanakan dan pertimbangan hukum itu dianggap tidak mengikat, pertimbangan hukum itu kemudian diabaikan, dan saya kira bukan kali ini saja, maka itulah timbul polemik," kata Fajar, mengutip CNN Indonesia, Rabu (25/5/2022).

Ia menuturkan, terdapat pemahaman yang memandang saat amar putusan MK menyatakan menolak permohonan pemohon, maka tidak terdapat implikasi apapun terhadap norma yang digugat. Hal ini kemudian dijadikan sebagai pedoman.

Pada saat yang bersamaan, terdapat pemahaman yang mengatakan amar putusan itu mengikat sementara pertimbangan hukum tidak bersifat mengikat. Fajar menilai pemahaman tersebut kurang tepat. Akibatnya, ketika dipraktikkan terjadi polemik.

"Paling tidak menjadi sumber dari polemik, sumber persoalan," kata Fajar.

Fajar menegaskan secara teoritik, akademik, dan praktik pertimbangan hukum dalam putusan MK bersifat mengikat. Menurutnya, argumentasi teoritik bahwa MK merupakan result interpreter of the constitution harus dipahami.

"MK itu adalah lembaga negara yang satu-satunya diberikan kewenangan untuk memberikan tafsir konstitusional mengikat," tegas Fajar.

Ia mencontohkan secara eksplisit dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 hanya disebutkan MK menguji UUD. Namun, lembaga hukum tertinggi itu kemudian menafsirkan bahwa MK juga harus bisa menguji Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).

Sebab, kata Fajar, meskipun Perppu merupakan Peraturan Pemerintah (PP) namun berisi undang-Undang.

"Dalam satu undang-undang ada potensi, ada kemungkinan pelanggaran hak konstitusional warga negara, walaupun diberlakukan dalam jangka waktu yang terbatas," tutur Fajar.

Sementara itu, pihak yang berwenang mengambil tanggung jawab dalam persoalan pelanggaran hak konstitusional warga negara adalah MK.

"Kalau Perppu itu ada pelanggaran hak konstitusional warga negara lalu siapa kalau bukan MK (yang berwenang)?" kata Fajar.

Lebih lanjut, kata Fajar, dalam polemik penunjukan Pj kepala daerah, MK telah memberikan pertimbangan hukum yang jelas.

MK merujuk pada UU tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) yang mengatur ketentuan pengangkatan Pj kepala daerah. Salah satu ketentuan itu adalah TNI/Polri bisa menduduki jabatan sipil jika sudah pensiun atau mengundurkan diri.

"Itu semuanya sudah dituangkan dalam pertimbangan hukum putusan MK," jelas Fajar. [CNN Ind]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
Komentar Anda