Monumen Pembebasan Irian Barat Dibangun Era Sukarno
Font: Ukuran: - +
(CNN Indonesia/Safir Makki)
DIALEKSIS.COM | Jakarta - Dengan tekad mengobarkan semangat bangsa melawan pendudukan Belanda, Presiden Sukarno menyatukan kekuatan tiga seniman andalannya untuk membangun Monumen Pembebasan Irian Barat.
Adalah Friedrich Silaban, Edhi Sunarso, dan Henk Ngantung. Ketiganya terlibat dalam proyek pembangunan ikon Kota Jakarta permintaan Sukarno menjelang Asian Games ke-4, yaitu Monumen Selamat Datang dan Gelora Bung Karno.
Ketika Asian Games digelar pada 1962, Indonesia sebenarnya baru saja keluar dari pergolakan pembebasan Irian Barat dari Belanda yang ogah hengkang setelah Sukarno memproklamasikan kemerdekaan.
Setelah proses panjang pembebasan Irian Barat, Sukarno memutuskan untuk membangun patung untuk mengobarkan semangat Indonesia sebagai bangsa yang berani melawan penjajah. Ia pun memanggil Henk, Friedrich, dan Edhi ke Istana Merdeka.
Kala itu, Henk Ngantung kembali dipercaya untuk menerjemahkan aspirasi Bung Karno ke dalam bentuk sketsa kasar.
"Seperti aku ini, lho. Bebas!" teriak Sukarno saat berpose memberi contoh bentuk patung yang diinginkannya di Istana Merdeka.
Karena tak sabar dengan Henk yang tak kunjung dapat menerjemahkan maksud itu dengan baik, Sukarno akhirnya menggambar sendiri sketsa patung tersebut.
Sketsa rampung, Edhi Sunarso langsung bergerak membuat patungnya. Ia membawa sketsa patung tersebut ke Yogyakarta untuk membuat model dan pengecoran perunggu.
Kali ini, Edhi tidak menemukan kesulitan berarti karena para tenaga kerja sudah berpengalaman dengan Monumen Selamat Datang sebelumnya.
Masalah datang pada proses penyatuan bagian-bagian patung karena berat keseluruhannya mencapai 8 ton. Edhi dan tim akhirnya membagi badan patung menjadi beberapa bagian dengan berat masing-masing sekitar 100 kilogram.
Pemasangannya dilakukan dengan menggunakan alat takel yang hanya memiliki kemampuan angkat setinggi enam meter.
Sementara itu, Friedrich Silaban mulai memutar otak sebagai arsitek perancang Monumen Pembebasan Irian Barat.
Sebagaimana dilansir di laman Arsitektur Indonesia, Friedrich sempat merasa tidak puas lantaran posisi as monumen tidak tepat di tengah lapangan yang berada di sisi barat daya Jalan Perwira.
Ia pun mengusulkan agar as monumen mengikuti aksis Jalan Perwira ke sisi utara. Namun, usulan itu tidak disetujui oleh presiden. Meski kurang puas, Friedrich tetap melanjutkan rancangan proyek ini.
Ia membuat dua varian rancangan arsitektur monumen. Satu rancangannya menggunakan ramp, sedangkan varian lainnya memakai tangga untuk akses sirkulasi vertikal. Sukarno kemudian memilih ramp.
Dalam rancangannya, patung Pembebasan Irian Barat berdiri di atas dua tiang penyangga dengan tinggi 23,5 meter. Seluruh bagian bangunan dilapis marmer lokal, seperti yang terpasang di Masjid Istiqlal.
Dua ramp menghubungkan podium langsung ke lapangan terbuka di sekelilingnya menggunakan railing berbahan aluminium.
Berkat kerjasama yang tidak kenal lelah,pengerjaan Monumen Pembebasan Irian Barat tersebut selesai hanya dalam waktu satu tahun.
Hingga kini, monumen itu masih berdiri tegak, menjadi pengingat akan kekuatan Indonesia untuk memerdekakan diri dari penjajahan.
"Bicara soal Patung Pembebasan Irian Barat, Sukarno menggunakan figur orang terbebas dari rantai, itu untuk menyatakan bangsa Indonesia menolak penjajahan dan penindasan manusia. Dia mengatakan Indonesia akan merdeka di atas kaki sendiri," kata dosen Fakultas Seni Rupa IKJ, Dolorosa Sinaga [cnnindonesia].