kip lhok
Beranda / Berita / Nasional / Pandangan Praktisi Hukum: Kedudukan SE Menag Soal Pedoman Pengeras Suara Masjid

Pandangan Praktisi Hukum: Kedudukan SE Menag Soal Pedoman Pengeras Suara Masjid

Minggu, 27 Februari 2022 11:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Foto: Ilustrasi speaker luar atau toa masjid


DIALEKSIS.COM | Nasional - Praktisi dan Konsultan Hukum yang juga seorang yang giat dalam bidang syi'ar Islam, Victor Ary Subekti menjelaskan Surat Edaran (SE) Menteri Agama No. 05 Tahun 2022 tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. SE bukan produk Undang-Undang yang dapat memberikan sanksi kepada pihak yang tidak menjalankannya.

"Dikarenakan sifatnya informatif dan himbauan, maka SE tidak dapat mengatur hal-hal yang melampaui kewenangan dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan," kata Victor, seperti dilansir di Republika, Ahad (27/2/2022).

Menurut Victor, yang juga pernah menjadi Konsultan Pendamping di satu Kementerian dalam proses Revisi Undang-Undang yang berkaitan dengan publik menjelaskan, SE ini telah menjadi bagian dari kebijakan institusi di Indonesia. Berdasarkan ketentuan UU No. 12 Tahun 2011 yang dirubah dengan UU No. 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Undang-Undang, SE bukanlah suatu undang-undang (regelling) maupun keputusan tata usaha negara (beschikking). 

"Dalam beberapa literatur, SE disebut sebagai _beleidsregel_ dan _pseudo wetgeving_, yaitu produk hukum yang secara materil mengikat umum. Namun keberadaannya bukan termasuk peraturan perundang-undangan, karena ketiadaan wewenang pembentuk untuk membuatnya sebagai peraturan perundang-undangan," ujarnya.

Victor menjelaskan, dikarenakan sifatnya informatif, maka SE tidak boleh mengatur hal-hal yang melampaui kewenangan dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Namun sayang pada praktiknya, aparatur pemerintah banyak yang mengeluarkan SE dan menimbulkan kontroversi. 

"Seperti yang terjadi belum lama ini mengenai Surat Edaran No. 05 Tahun 2022 tentang Pedoman Pengenaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala, yang dikeluarkan oleh Menteri Agama," katanya.

Victor memastikan, secara formil, SE Menteri Agama ini tidak menegasikan suatu Peraturan Perundangan tertentu. Namun, Victor melihat dari pemikiran yang menjadi landasan dalam menetapkan SE ini adalah perlunya pedoman untuk memastikan penggunaan pengeras suara agar tidak menimbulkan potensi gangguan ketenteraman, ketertiban, dan keharmonisan antar warga masyarakat.

"Pendekatan tersebut menurut saya lebih kepada aspek sosiologis," katanya.

Namun apakah aspek sosiologis tersebut telah benar-benar dikaji secara teliti dan menyeluruh, dengan mengutip Kajian Bentham dari Satjipto Rahardjo, di mana pembuatan hukum sudah keluar dari teknis legislasi kepada pembahasan dalam kerangka social yang lebih luas, ukuran-ukuran, serta format yang digunakan bukan semata-mata rasionalitas logika, prosedur, melainkan entri sosiologis. Di mana di dalamnya adalah pertama asal-usul sosial peraturan atau produk hukum. Kedua mengungkapkan motif di belakang pembuatan peraturan atau produk hukum. Ketiga, melihat peraturan atau produk hukum sebagai endapan konflik kekuatan dan kepentingan rakyat, Keempat, susunan dari badan pembuatan peraturan atau produk hukum dan implikasi sosiologisnya, Kelima membahas hubungan antara kualitas dan jumlah peraturan atau produk hukum yang dibuat dengan lingkungan social dalam suatu periode tertentu; Keenam, sasaran perilaku yang ingin diatur dan diubah. Ketujuh, akibat-akibat. Baik yang dikehendaki maupun yang tidak. 

Victor mengatakan, Indonesia merupakan negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia. Banyak cerita zaman perang kemerdekaan yang berelasi dengan Takbir penyemangat dalam mengusir penjajah. Dan merupakan suatu kebanggaan dari masyarakat Indonesia bahwa Takbir merupakan suatu yang sakral, Takbir juga terdapat dalam adzan yang dikumandangkan setiap hari 5 (lima) kali sehari, yang merupakan panggilan sholat berjamaah untuk penduduk di sekitar Masjid/Musala yang mengumandangkan adzan tersebut. 

Jadi kata dia, bilamana ini diatur yang selama 76 tahun Indonesia merdeka tidak ada suatu gerakan atau tindakan apapun untuk mengatur adzan, pastinya akan menjadi kontroversi di tengah-tengah masyarakat. Namun melihat dari SE yang dikeluarkan Menteri Agama yang hanya merupakan suatu pedoman, maka ada baiknya kita melihat secara arif dan bijaksana. 

"Bilamana setuju untuk melaksanakan pedoman tersebut, maka dapat dilaksanakan oleh pihak-pihak yang ditujukan untuk melaksanakan SE ini," katanya. Namun sekali lagi dia menjelaskan bahwa SE Menteri Agama No. 05 Tahun 2022 merupakan produk hukum yang secara materil mengikat umum. Akan tetapi keberadaannya bukan termasuk peraturan perundang-undangan, karena ketiadaan wewenang pembentuk untuk membuatnya sebagai peraturan perundang-undangan. 

Peraturan dan kebijakan yang secara tidak langsung mengikat publik akan menimbulkan masalah jika pembentukannya tidak memenuhi asas pembentukan peraturan perundang-undangan, baik dari aspek formil maupun materil. Apalagi dari ratusan ribu bahkan jutaan Masjid dan Mushola yang telah berdiri secara mandiri, tidak ada campur tangan dari pemerintah khususnya dari Kementerian Agama dalam pembagunan dan melengkapi alat pengeras suara serta infrastruktur di dalamnya, lalu sekonyong-konyong akan mengatur penggunaan pengeras suara. Belum lagi dari sisi teknis pengawasannya, apakah mampu ke-7 subyek yang ditujukan dalam SE ini untuk menjalankan pedoman pengeras suara dan mengatur Masjid atau Musala yang tersebar, bagaimana dengan peralatannya, lalu mekanisme pengaturannya, serta terakhir adalah pengawasan dari pedoman yang telah disosialisasikan. 

"Saya ingin menyitir pendapat dari J.J Rouesseau; Siapa yang membuat dan mengesahkan peraturan perundangan adalah yang paling pintar di antara kamu, agar dapat membuat peraturan perundangan yang mengantisipasi pelanggaran dan deviasi dalam pelaksanaannya," katanya [republika.co.id].

Keyword:


Editor :
Redaksi

Berita Terkait
    riset-JSI
    Komentar Anda