Perpres Pelibatan TNI dalam Penanggulangan Terorisme Harus direvisi
Font: Ukuran: - +
Wakil Direktur Imparsial Gufron Mabruri (foto: Kompas.com/YOGA SUKMANA)
DIALEKSIS.COM | Jakarta - Wakil Direktur Imparsial, Ghufron Mabruri mengatakan, bahwa pemerintah perlu segera merevisi draf Peraturan Presiden (Perpres) tentang tugas TNI dalam mengatasi aksi terorisme.
Pelibatan militer dalam penanganan terorisme, menurut Ghufron, tidak dapat sekonyong konyong dilakukan. Sebab, selain secara normatif hal tersebut bertentangan dengan UU terorisme, juga secara objektif hingga kini belum ada alasan yang kuat pelibatan militer dalam penanganan terorisme di Indonesia.
"Berbicara pelibatan militer dalam penanganan teroris, harus melibatkan keputusan politik sebagaimana ketentuan dalam pasal 3 ayat (2) UU TNI. Dimana hal tersebut melibatkan institusi eksekutif dan legislatif. Situasinya harus benar benar terpenuhi, artinya pelibatan militer dalam keadaan kepolisian tidak mampu lagi menangani penanggulangan terorisme di Indonesia" ujar Ghufron kepada Dialeksis.com, Rabu (10/7/2019).
Setidaknya terdapat sejumlah faktor yang menurut Ghufron secara tupoksi, pelibatan TNI dalam mengatasi aksi terorisme."Pertama, dilihat secara tupoksi, bicara penegakan terorisme bicara penegakan hukum. Karena dia masuk di wilayah penegakan hukum dan keamanan maka ranahnya domain kepolisian. Kedua, apa urgensi keterlibatan TNI dalam konteks penanganan terorisme. Terlepas dari adanya kekurangan dari peran kepolisisan, faktanya pihak kepolisian sejauh ini telah berhasil membongkar jaringan terorisme" tambah Ghufron.
Revisi Peraturan Presiden (Perpres) tentang tugas TNI dalam mengatasi aksi terorisme jangan sampai keluar dari segi normative, jangan sampai kemudian pelibatan TNI dapat melanggar regulasi yang ada sekarang, namun juga mengancam dinamika kehidupan dinamika demokrasi sipil.
Sebelumnya diberitakan, koalisi masyarakat sipil mendesak Pemerintahan Joko Widodo atau Jokowi merevisi draf Peraturan Presiden tentang tugas TNI dalam mengatasi aksi terorisme. Isi draf Perpres itu dinilai bertentangan dengan UU Terorisme dan UU TNI.
Dikutip dari ANTARA, Koalisi Masyarakat Sipil berpendapat bahwa dalam draf tersebut terdapat penggunaan istilah penangkalan yang tidak dikenal dalam UU Terorisme. UU terorisme dalam pasal 43A hanya mengenal istilah pencegahan sebagai tugas pemerintah yang dikoordinasikan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Dengan demikian wewenang pencegahan seperti yang diatur dalam UU Terorisme diberikan kepada BNPT bukan kepada TNI. (pd)