DIALEKSIS.COM | Aceh - Upaya dekarbonisasi sektor transportasi terus digenjot. Pertamina NRE menggandeng perusahaan energi asal Prancis, MGH Energy, menjajaki pengembangan bahan bakar sintetis berbasis energi terbarukan atau e-fuels.
Kolaborasi ini menjadi langkah awal menjawab tantangan emisi sekaligus membuka jalan bagi swasembada energi bersih di Indonesia.
"Indonesia memiliki potensi sumber daya terbarukan yang sangat besar, dari energi surya hingga hidro, yang bisa menjadi fondasi bagi produksi e-fuels berskala industri," kata CEO Pertamina NRE, John Anis, dalam keterangan resmi yang diterima pada Senin (9/6/2025).
E-fuels seperti e-metanol dan eSAF (e-sustainable aviation fuel) menjadi alternatif bersih yang dikembangkan dari hidrogen hasil elektrolisis air dan karbon dioksida yang ditangkap dari atmosfer atau proses industri. E-metanol digunakan di industri pelayaran dan kimia, sedangkan eSAF menjadi bahan bakar ramah lingkungan untuk sektor penerbangan.
John Anis menyebut pengembangan ini tidak hanya soal teknologi, tetapi juga soal kedaulatan energi dan keberlanjutan lingkungan.
"Kolaborasi ini bisa mendorong transfer teknologi dan mempercepat bauran energi baru terbarukan di Indonesia. Ini adalah solusi konkret dalam menjawab tantangan dekarbonisasi," ujarnya.
Langkah strategis tersebut ditandai dengan penandatanganan nota kesepahaman antara Pertamina NRE dan MGH Energy pada 28 Mei 2025 dalam Forum Bisnis Indonesia-Prancis. MGH Energy sendiri merupakan perusahaan yang fokus pada pengurangan emisi karbon di sektor transportasi maritim dan udara.
VP Corporate Communication PT Pertamina (Persero), Fadjar Djoko Santoso, menyambut baik kolaborasi ini.
"Kami mengapresiasi langkah Pertamina NRE yang proaktif dalam mencari solusi energi baru terbarukan. Pengembangan energi bersih ini diharapkan memberi manfaat bagi masyarakat sekaligus mendukung target net zero emission pemerintah," ujar Fadjar.
Secara global, e-fuels telah menjadi bagian dari agenda energi bersih di banyak negara. Jerman bahkan telah mengoperasikan pabrik e-fuel skala besar di Patagonia, sementara Jepang dan AS mendukung riset dan insentif untuk pengembangan eSAF.
Indonesia disebut punya peluang besar menjadi pusat produksi bahan bakar sintetis bersih di kawasan ASEAN. Namun, pengembangan ini perlu ditopang oleh regulasi yang mendukung, insentif fiskal, infrastruktur yang memadai, dan peningkatan kapasitas SDM. [in]