Polemik Kenaikan Iuran BPJS, Ini Penjelasan Stafsus Menkeu
Font: Ukuran: - +
DIALEKSIS.COM | Jakarta - Staf Khusus Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Yustinus Prastowo angkat bicara soal polemik kenaikan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS Kesehatan pasca terbitnya Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020. Menurut Yustinus, sebenarnya terdapat berbagai tertimbangan yang menjadi alasan rasional dalam terbitnya Perpres Nomor 75 Tahun 2019.
"Demi menjaga kesinambungan pelayanan kesehatan. Tapi Makhamah Agung punya pertimbangan lain dan kita hormati. Betul amar putusan MA membatalkan Pasal 34 tentang kenaikan iuran, tapi kita lupa baca pertimbangan MA," kata Yustinus dalam akun twitternya, Sabtu, 16 Mei 2020.
Dia mengatakan saat ini Indonesia sedang belajar membangun sistem yang kompleks dalam mewujudkan jaminan kesehatan semesta (Universal Health Coverage). Itu, kata dia, merupakan pertaruhan besar, baik idealisme maupun implementasi.
Yustinus pun menjelaskan profil kepesertaan BPJS Kesehatan. Per 30 April 2020, total peserta 222,9 juta orang. Penerima Bantuan Iuran (PBI) 96,5 juta, Bukan Penerima Bantuan Iuran (BPBI) 90 juta, dan penduduk yang didaftarkan Pemda sebanyak 36 juta orang.
Menurut dia, untuk PBI yang sebanyak 96,5 juta orang, iurannya dibayar oleh pemerintah, dan sampai saat ini tak berubah. Adapun untuk BPBI yang sebanyak 90 juta, terdiri dari penyelenggara negara 17,7 juta, BUMN 1,5 juta, Swasta 35,6 juta. Sementara peserta PBPU/BU sekitar 35 juta orang. Dua kelompok terakhir inilah yang membayar sendiri.
Berdasarkan kinerja keuangan BPJS, Yustinus membeberkan, untuk PBI (orang miskin dan tak mampu) masih surplus Rp 11,1 triliun, ASN/TNI/Polri surplus Rp 1,3 triliun, dan pekerja formal swasta surplus Rp 12,1 triliun. Sedangkan untuk pekerja informal, BPJS Kesehatan masih mencatat defisit Rp 20,9 triliun, dan dari peserta bukan pekerja masih defisit sebesar Rp 6,5 triliun.
Penyumbang terbesar defisit jelas peserta PBPU/BU jumlahnya sekitar 35 juta orang, dengan segmentasi terbesar di Kelas III sebanyak 21,6 juta. Total iuran mereka Rp 12,4 triliun, klaim Rp 39,8 triliun! Alias defisit Rp 27,4 triliun," kata dia.
Secara agak kasar, menurut Yustinus, akumulasi defisit BPJS Kesehatan 2019 sebesar Rp 15,6 triliun. Dengan begitu, kata dia, BPJS Kesehatan musti efisien, manajemen diperbaiki, mafia obat diberantas, pelayanan ditingkatkan, baru naik!.
Perbaikan manajemen dan sistem satu hal, nafas buatan biar tetap hidup hal lain. Keduanya musti dikerjakan barengan. "Dan ini konteks yang perlu kita pahami. Itu jg menjadi alasan rasional kenapa Perpres 75/2019 terbit," ujarnya.
Yustinus sendiri menilai putusan MA sangat bijak. Dalam pertimbangannya, Majelis memberi pertimbangan yuridis, sosiologis, dan filosofis. Intinya perlu perbaikan holistik, hulu ke hilir, mencakup sistem, manajemen, pelayanan.
Itulah alasan pemerintah tak buru-buru merevisi Perpres 82 tahun 2018, tapi memilih lakukan perbaikan dulu, seperti segmentasi peserta, penyesuaian besaran iuran BPJS Kesehatan, integrasikan penduduk yang didaftarkan pemerintah daerah, pengaktifan peserta menunggak, perbaikan tata kelola sistem layanan JKN. "Nah, Perpres 64/2020 terbit dengan pertimbangan matang. Disusun cukup lama. Kok enggak nunggu pandemi berakhir? Lha justru ini ingin memperbaiki ekosistem agar pelayanan selama pandemi pun lebih baik," ujar Yustinus.
Menurutnya, skema iuran BPJS menurut Perpres 64/2020 ada pengelompokan yang lebih baik, skema iuran yang lebih baik, dan yang jelas perbaikan kepesertaan dan watak gotong royong agar lebih adil. (Im/