DIALEKSIS.COM | Bogor - Bertepatan dengan peringatan Hari Perkebunan Nasional ke - 68, sebuah temuan penting terkait masa depan perkebunan kelapa di Aceh mencuat dari sidang promosi doktor di Institut Pertanian Bogor (IPB). Henny Sulistyorini, mahasiswa program Doktor Komunikasi Pembangunan Pertanian, memaparkan hasil penelitiannya yang menegaskan bahwa resiliensi petani menjadi syarat utama bagi keberlanjutan usaha kelapa di provinsi rawan bencana tersebut.
Sidang promosi terbuka itu dipimpin Ketua Komisi Pembimbing Prof Dr Ir Sumardjo MS, dengan anggota Prof Dr Anna Fatchiya MSi dan Dr Ninuk Purnaningsih MSi. Hadir pula penguji luar komisi Dr Ir Siti Amanah MSc dari Departemen SKPM IPB, serta Plt Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, Dr Abdul Roni Angkat STP MSi.
Dalam paparannya, Henny menegaskan pentingnya perhatian pemerintah terhadap komoditas kelapa, terutama di Aceh. Menurutnya, kelapa memiliki akar kuat, adaptif terhadap kondisi ekstrem, serta bernilai ekonomi tinggi, sehingga menjadi komoditas vital bagi wilayah rawan bencana. Namun kondisi eksternal yang kurang mendukung membuat petani kelapa di Simeulue, Aceh Besar, dan Bireuen hanya memperoleh pendapatan rata-rata Rp2.124.188 per bulan di bawah UMK Aceh.
Pendapatan rendah ini menyebabkan minimnya perawatan tanaman dan mendorong petani menjual kelapa dalam bentuk butiran tanpa pengolahan, sehingga nilai tambah tidak tercipta.
Henny menilai kemampuan resiliensi petani yakni kemampuan bertahan, beradaptasi, dan bertransformasi merupakan faktor penentu keberlanjutan usaha kelapa di masa mendatang. Ia mengukur resiliensi dengan tiga indikator: strategi nafkah, integrasi sosial, dan kemampuan melestarikan tanaman. Hasilnya, tingkat resiliensi petani kelapa berada pada kategori rendah, yakni 29,24. Petani tetap bertahan karena ditopang integrasi sosial yang kuat di lingkungan mereka.
Melalui analisis Structural Equation Modeling (SEM-PLS), Henny menemukan bahwa modal sosial petani, terutama jaringan dan kepercayaan sosial, menjadi faktor paling berpengaruh terhadap kemampuan resiliensi itu.
“Penelitian ini memiliki beberapa kebaruan, di antaranya menggabungkan teori resiliensi, kemandirian, dan keberlanjutan usaha yang saling berhubungan positif. Selain itu, penelitian ini mengintegrasikan indikator ekonomi, sosial, dan lingkungan dalam mengukur resiliensi, serta memadukan variabel kemandirian dalam relasi antara resiliensi dan keberlanjutan usaha,” kata Henny.
Plt Dirjen Perkebunan, Dr Abdul Roni Angkat, mengapresiasi temuan tersebut. Menurutnya, penelitian itu dapat menjadi acuan penting dalam arah pembangunan perkebunan nasional.
“Hasil penelitiannya bagus. Ada beberapa faktor penting yang bisa menjadi benchmarking untuk menentukan ke mana bantuan dan program pengembangan kita arahkan,” ujar Roni.
Ia juga menyoroti pentingnya luas lahan minimal 5 hektare bagi petani kelapa agar usaha tetap layak secara ekonomi, serta perlunya modal sosial yang kuat dalam mengembangkan usaha perkebunan.
“Tahun depan kita akan menggalakkan lagi program replanting dan peremajaan kelapa seluas 150 ribu hektare di seluruh Indonesia, dari Sabang sampai Merauke. Lokus produksi harus kita ratakan, jangan sampai ada daerah yang kelebihan sementara daerah lain kekurangan,” tegasnya.
Penelitian Henny menambah perspektif baru bagi upaya memperkuat sektor perkebunan kelapa, sekaligus membuka ruang diskusi mengenai masa depan petani di Aceh dan berbagai wilayah lainnya.