Sisi Feminisme Terasa di Film Black Widow
Font: Ukuran: - +
[Foto: Ist/Net]
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Scarlett Johansson memastikan film Black Widow dibuat untuk mencerminkan gerakan #MeToo serta Time's Up yang bergaung selama beberapa tahun belakangan.
"Akan menjadi sebuah kesalahan jika kami tidak membahas hal itu, jika film ini tidak membahasnya secara langsung," ungkap Johansson dalam wawancara terbaru dengan majalah Empire.
Gerakan #MeToo dan Time's Up menjadi dukungan sesama wanita untuk lebih berani bersuara, khususnya mereka yang pernah mengalami pelecehan atau kekerasan seksual.
Menurut Johansson, sutradara Black Widow, Cate Shorland menganggap amat penting membuat film tentang perempuan yang membantu perempuan lainnya.
Bukan hanya itu, penting juga bagi sineas itu membuat film yang menggambarkan upaya perempuan keluar dari situasi yang amat sulit.
Aktris berusia 35 tahun itu pun meyakinkan bahwa tokoh yang ia perankan, Black Widow atau Natasha Romanoff adalah seseorang yang memiliki ideologi untuk mencapai kesetaraan gender.
"Seseorang bertanya kepada saya 'Apakah Natasha adalah seorang feminis?' Tentu saja dia, itu jelas. Itu pertanyaan yang agak konyol," katanya, dikutip dari Aceshowbiz.
Black Widow disebut akan berfokus pada kehidupan Natasha Romanoff dengan mengambil latar di antara Captain America: Civil War dan Avengers: Infinity War.
Film ini dijadwalkan tayang pada November mendatang, setelah sempat ditunda karena pandemi Covid-19. Sebelumnya, Black Widow sempat direncanakan tayang pada Mei lalu.
Selain Johansson, film ini juga akan dibintangi oleh Florence Pugh, David Harbour, dan Rachel Weisz [cnn].