kip lhok
Beranda / Berita / Nasional / Tumpang-Tindih RUU TPKS, Pertaruhkan Nasib Korban Pemerkosaan

Tumpang-Tindih RUU TPKS, Pertaruhkan Nasib Korban Pemerkosaan

Rabu, 06 April 2022 10:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Ilustrasi. [Foto: Shutterstock]


DIALEKSIS.COM | Jakarta - Setelah melalui penantian panjang sejak era Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS), isu kekerasan seksual akhirnya betul-betul mendapat tempat dalam proses legislasi.

Januari 2022, DPR sudah menyetujui RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) sebagai RUU inisiatif DPR. Kini, RUU TPKS telah melalui pembahasan daftar inventarisasi masalah (DIM) bersama pemerintah.

Beleid kini ditargetkan disahkan menjadi produk hukum pada masa persidangan IV tahun sidang 2021-2022.

Cepatnya pembahasan RUU TPKS menjadi kabar baik di tengah kedaruratan kekerasan seksual yang semakin banyak menimbulkan korban di Indonesia. Namun, proses ini bukan tanpa cela. 

Kritik muncul karena "pemerkosaan" justru dikeluarkan dari jenis-jenis kekerasan seksual dalam RUU TPKS.

Sementara itu, Ketua Panitia Kerja RUU TPKS Willy Aditya mengaku telah berupaya semaksimal mungkin menampung semua masukan. 

"Pemerkosaan" terpaksa dikeluarkan dari daftar kekerasan seksual di RUU TPKS karena dikhawatirkan bakal tumpang tindih dengan ketentuan sejenis dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang saat ini tengah direvisi.

Dihapusnya "pemerkosaan" dari jenis kekerasan seksual dalam RUU TPKS disayangkan Komnas Perempuan, Andi yang menilai hal ini sebagai kemunduran. 

Menurutnya, pemerkosaan adalah "benih dan DNA" yang melahirkan gagasan diperlukannya peraturan khusus dalam hal ini RUU TPKS.

Adapun catatan Komnas Perempuan juga menunjukkan urgensi tersebut. Berdasarkan data yang dihimpun dari 129 lembaga layanan, pemerkosaan--termasuk di dalamnya pemerkosaan dalam pernikahan dan dalam hubungan keluarga mendominasi laporan kekerasan seksual dengan porsi hingga 68 persen.

Pun dalam data kekerasan di ranah publik sepanjang 2021, lembaga-lembaga layanan mencatat pemerkosaan jadi kekerasan terbanyak, yaitu 459 kasus.

Direktur Advokasi dan Jaringan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Fajri Nur Syamsi, dalam kesempatan yang sama mengatakan, munculnya RUU TPKS dari serangkaian historisnya adalah untuk menjawab gap atau kekurangan ketentuan yang selama ini ada di KUHP.

Korban pemerkosaan dinilai akan jadi pihak yang paling terdampak dari dihapusnya "pemerkosaan" dari RUU TPKS. 

Komnas Perempuan, Andi menyebutkan saat revisi KUHP bukan perkara mudah dan diprediksi menyita waktu karena produk hukum itu memuat banyak pasal yang harus dibahas.

Dia khawatir akan terjadi kegamangan proses hukum bagi korban pemerkosaan jika "pemerkosaan" tidak diakomodasi dalam UU TPKS kelak. 

Sementara itu, Direktur Advokasi dan Jaringan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Fajri Nur Syamsi mengkhawatirkan, bahwa UU TPKS terbit tanpa mengakomodasi "pemerkosaan", sementara KUHP yang direncanakan bakal mengatur soal "pemerkosaan" masih dalam proses revisi yang tak berkesudahan. (Kompas)

Keyword:


Editor :
Alfatur

riset-JSI
Komentar Anda