Window Dressing, Modus BUMN Permak Lapkeu
Font: Ukuran: - +
DIALEKSIS.COM | Jakarta - Kasus megaskandal yang terjadi di PT Asuransi Jiwasraya (Persero) membuat Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir makin memahami permasalahan yang terjadi pada perusahaan BUMN.
Dia menilai, banyak perusahaan BUMN yang berani melakukan mempercantik laporan keuangan (lapkeu) atau yang dikenal window dressing. Padahal, hal ini jelas dilarang karena masuk kategori penipuan (fraud).
Erick bahkan menyebut pelakunya bisa terseret ke kasus pidana. "Hari ini yang sering terjadi di BUMN adalah window dressing lapkeu. Jika window dressing lapkeu itu udah masuk tindakan yang bisa [masuk] kriminal," kata Erick di Jakarta, Jumat (10/1/2020).
Window dressing memiliki dua pengertian, pertama kondisi yang terjadi di akhir tahun di mana harga-harga saham naik. Kedua, strategi yang digunakan oleh emiten, perusahaan atau manajer investasi untuk memoles laporan keuangan atau portofolio mereka guna menarik hati para investor.
Dengan upaya membuat laporan keuangan perusahaan terlihat lebih baik dari realitas yang ada ini membuat window dressing kerap dikonotasikan negatif lantaran ada potensi memanipulasi angka, data, dan informasi yang tersaji dalam lapkeu.
Fenomena window dressing di BUMN mulai ramai disorot setelah skandal PT Asuransi Jiwasraya terkuak ke publik.
Apalagi dengan adanya window dressing, bagian bawah neraca atau bottom line (laba bersih) di laporan keuangan memang keliatan untung. Tapi sebenarnya itu fana, karena perusahaan tidak memiliki kas.
Hal serupa pernah terjadi pada laporan keuangan maskapai raksasa, yakni PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) di tahun 2018 silam. Saat itu, perseroan melaporkan untung US$ 5 juta atau setara Rp 70,02 miliar. Padahal, setelah ada penyesuaian pencatatan, maskapai penerbangan ini merugi US$ 175 juta atau setara Rp 2,45 triliun (kurs Rp 14.004/US$). (CNBC)