DIALEKSIS.COM | Opini - “Kita akan terus membubuhkan aspal di atas tanah,tetapi membiarkan pikiran generasi muda kita tetap berlubang."
Wilayah Aceh Timur menyimpan banyak harapan, namun harapan-harapan tersebut belum memiliki arah atau akhir yang jelas. Ribuan pemuda di daerah ini sedang tumbuh dan bermimpi, tetapi banyak dari mimpi mereka belum bisa terwujud dengan baik. Hanya segelintir yang berhasil mewujudkannya, itupun karena adanya dukungan ekonomi dari keluarga yang memadai, sehingga mereka memiliki peluang untuk mengejar dan merealisasikan impian tersebut.
Pertanyaannya kemudian, bagaimana nasib mereka yang berasal dari keluarga dengan kondisi ekonomi lemah, yang sehari-harinya hanya berjuang untuk bertahan hidup? Seringkali, mimpi dan semangat mereka hancur ketika dihadapkan dengan tekanan ekonomi yang berat.
Bagi saya, kemiskinan di Aceh Timur merupakan persoalan yang sangat serius, karena dampaknya begitu besar, terutama terhadap pelajar muda yang tidak mampu melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024, Aceh Timur menempati peringkat ketiga daerah dengan jumlah penduduk miskin tertinggi, yaitu sebesar 13,27%. Tak hanya itu, beberapa wilayah di Aceh Timur juga masih mengalami kemiskinan ekstrem. Survei Bappeda Aceh Timur pada November 2024 mencatat bahwa terdapat 1.920 kepala keluarga yang tergolong dalam kategori kemiskinan ekstrem tersebut.
Masalah ini dipengaruhi oleh wilayah Aceh Timur yang luas dengan kondisi geografis yang bervariasi, dari pesisir hingga pegunungan, yang menghambat akses dan produktivitas ekonomi. Selain itu, dampak dari krisis pasca konflik juga sangat mempengaruhi perekonomian dan kesejahteraan masyarakat. Bahkan, rendahnya kualitas pendidikan serta keterbatasan infrastruktur pendidikan turut menjadi faktor utama yang menghambat peningkatan taraf hidup masyarakat di wilayah ini.
Jika dilihat dari data jumlah sekolah, saat ini Aceh Timur memiliki sekitar 26 Sekolah Menengah Atas (SMA), 17 Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan 21 Madrasah Aliyah (MA/MAN). Jumlah ini tergolong cukup banyak untuk ukuran sebuah kabupaten non-kota di Provinsi Aceh. Dengan asumsi rata-rata setiap sekolah meluluskan sekitar 120 siswa kelas XII setiap tahunnya, maka diperkirakan sekitar 7.680 siswa lulus dari jenjang sekolah menengah setiap akhir tahun ajaran.
Namun, meskipun jumlah lulusan begitu besar setiap tahun, hanya sekitar 3,71% dari total penduduk Aceh Timur yang pernah menempuh pendidikan tinggi. Sementara itu, sebanyak 14,52% penduduk hanya tamat hingga tingkat SMA tanpa melanjutkan ke perguruan tinggi (sumber: databoks.katadata.co.id). Ini menunjukkan bahwa 4 dari 5 lulusan SMA di Aceh Timur pada akhirnya tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Saya melihat rendahnya jumlah lulusan sekolah menengah di Aceh Timur yang melanjutkan ke perguruan tinggi bukan disebabkan oleh kurangnya semangat belajar, melainkan karena kendala ekonomi dan jauhnya akses ke perguruan tinggi berkualitas. Kampus-kampus ternama berada ratusan kilometer jauhnya, seperti di kota Langsa, Lhokseumawe, atau Banda Aceh, yang biaya hidupnya jauh melampaui kemampuan sebagian besar keluarga di Aceh Timur -- mayoritas berasal dari latar belakang petani, nelayan, atau buruh sawit. Hal ini tercermin dari data seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri (SNBP) tahun 2024, yang menunjukkan hanya 392 siswa dari Aceh Timur yang lolos melalui jalur tersebut.
Bahkan, pada tahun sebelumnya, jumlahnya tidak mencapai 115 orang. Meskipun ada peningkatan, jika dibandingkan dengan total lulusan tahunan yang diperkirakan mencapai 7.000-an, hanya sekitar 6% yang berhasil melanjutkan pendidikan tinggi. Sementara itu, sisanya terpaksa berhenti di bangku SMA dan menghadapi kenyataan sebagai pengangguran terdidik, merantau untuk bekerja sebagai buruh kasar, atau menikah di usia belia. Semua ini kembali bermuara pada satu masalah utama: keterbatasan ekonomi.
Pemerintah Aceh Timur kerap kali bangga dengan memamerkan proyek perkerasan jalan kabupaten. Bahkan demi menambah kelancaran lalu lintas, APBK telah menghabiskan Rp. 94,3 miliar hanya untuk pembebasan lahan dan tahap awal Jalan Elak Kota Idi, dana tersebut belum masuk estimasi total bekisar Rp. 293 miliar. Dengan jumlah dana tersebut, Jalan Elak Aceh Timur tuntas untuk dikerjakan, bahkan dari sumber ajnn.net mengungkapkan Pemerintah Aceh mengelontorkan Rp. 3,5 miliar untuk sekedar perbaikan jalan nasional sepanjang 250 meter di Peureulak, Aceh Timur.
Padahal satu gedung kampus setingkat vokasi sederhana saja dengan jumlah tiga lantai, 15 ruang kuliah, satu laboratorium komputer, dapat dibangun atau dirintis dengan dana kurang lebih Rp. 40 miliar, setara dengan seper-sepuluh biaya Jalan Elak.
Masyarakat Aceh Timur juga ikut membayar pajak, namun apakah mereka tidak berhak untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi? Apa salahnya pemerintah mengupayakan sebuah kampus yang layak untuk lulusan SMA yang tidak mampu mengenyam pendidikan di luar Aceh Timur karena faktor ekonomi.
Bila dikaji secara mendalam populasi penduduk Aceh Timur di tahun 2024 berkisar 461.390 jiwa, tetapi hanya 17 ribuan yang berpendidikan D1-S3, rasio guru SMA SMK ke siswa telah mencapai 1:15, artinya suplai pendidik sudah ada tinggal fasilitas jenjang lanjut masih absen. Aceh Timur juga kerap lebih serius membangun infrastruktur keras seperti jalan, sayangnya infrastruktur lunak berupa kampus justru nihil anggaran spesifik seperti yang tertuang dalam RPK 2023-2026.
Saat ini, tanah yang luas di pesisir pantai Timur Aceh tak satu pun bangunan kampus berdiri. Ironisnya, mimpi tentang pendidikan tinggi setelah kelulusan Sekolah Menengah Atas (SMA) terkubur begitu saja. Mimpi tentang pendidikan tinggi, mimpi tentang kuliah dan masa depan yang lebih cerah tampaknya tidak masuk dalam perencanaan pembangunan daerah Aceh Timur yang dijuluki dengan “Daerah Penghasil Migas” di Aceh.
Sementara itu apabila kita perhatikan, jalan-jalan, gedung-gedung kantor pemerintahan di Aceh Timur dibangun dengan begitu megah dan menjulang. Namun dalam pembangunan tersebut, tak ada ruang yang disediakan untuk sebuah universitas, akademi, atau bahkan cabang perguruan tinggi. Aceh Timur saat ini telah menjadi Negeri tanpa kampus, sebuah wilayah yang secara diam-diam menyepakati bahwa pendidikan tinggi bukanlah suatu kebutuhan yang mendesak, meskipun kenyataannya, justru di sinilah mimpi-mimpi generasi penerus Aceh Timur paling mudah mati sebelum mereka sempat tumbuh.
Saya seorang yang berasal dari Aceh Timur yang beruntung menamatkan pendidikan tinggi di luar Aceh dengan biaya pribadi. Setelah kembali ke daerah, timbul sedikit perasaan resah sehingga rasa kepedulian pun tumbuh untuk generasi Aceh Timur di masa mendatang. Setiap kali pulang ke daerah, saya dibuat gelisah dengan kabar para anak muda yang tidak serius untuk meraih cita-citanya. Seperti halnya ketika saya melihat teman sebaya yang bertahan menjadi nelayan, pekerja sawit, waitress di warung kopi tanpa pernah sempat duduk di bangku perkuliahan.
Sebenarnya tidak menjadi suatu yang begitu bermasalah, namun apa salahnya apabila mereka memiliki kesempatan untuk melanjutkan pendidikan. Seminimalnya hasil dari pendidikan tersebut mampu membuka wawasan sedikit lebih luas dan mampu berpikir lebih maju. Apabila ingin mengembangkan bisnis, mereka memiliki sedikit bekal yang sesuai untuk membangun bisnis tersebut menjadi lebih maju, sehingga harapan dan semangat sekecil apapun tetap terawat dan tumbuh di dalam diri mereka.
Dibalik itu semua, saya juga memiliki sedikit kecemasan pribadi terhadap bagaimana Aceh Timur bisa memanen bonus demografi jika SDM-nya dipasung pada level pendidikan SMA? tanpa skill teknologi, tanpa ada jejaring riset, tanpa pikiran atau cara pandang yang lebih luas. Yang saya takuti apabila nantinya kita hanya menjadi sekedar lumbung buruh murah di sudut timur Aceh. Lambat laun, apabila berbicara tentang investor, mereka pun enggan masuk karena kualitas tenaga kerja yang masuk dalam kategori stagnan atau tidak berkembang.
Saya masih sangat yakin kemajuan suatu daerah sangat bergantung pada SDM-nya, dengan jumlah lulusan tingkat SMA seperti yang telah saya sebutkan di atas, sudah saatnya pemerintah hadir untuk membangun daerah dengan cara membantu para pelajar muda yang tidak mampu secara ekonomi untuk memperoleh pendidikan tinggi di Aceh Timur. Besar harapan saya kepada pemerintah Aceh Timur, dengan mengingat pengembangan sumber daya manusia yang lebih berkualitas, sangat dibutuhkan keseriusan dari pemerintah untuk menempatkan pembangunan perguruan tinggi pada skala prioritas.
Tak perlu muluk-muluk, apabila tidak mampu membangun dari awal, skema lainnya bisa berupa pembukaan cabang universitas negeri Aceh seperti halnya politeknik energi untuk mendukung SDA Aceh Timur atau bahkan konsorsium kampus swasta berbasis Islam yang dapat dibiayai dengan dana Otsus.
Bahkan apabila ingin lebih serius, langsung saja membuka kampus sesuai dengan kebutuhan urgen Aceh Timur untuk mendukung kemajuan Aceh Timur di masa mendatang. Tanpa itu, kita akan terus membubuhkan aspal di atas tanah tetapi membiarkan pikiran generasi muda kita tetap berlubang. Aceh Timur tidak kekurangan lulusan SMA atau bahkan semangat belajar, yang kurang hanya akses kepada satu gedung kampus untuk menampung harapan, membangun mimpi yang telah ada dalam benak para pelajar lulusan SMA.
Pada akhirnya, kemajuan Aceh Timur tidak hanya pada bangunan kantor yang mewah, namun juga pola pikir manusianya yang lebih berkembang. Dengan kondisi ekonomi masyarakat Aceh Timur saat ini dan jumlah lulusan SMA setiap tahunnya yang begitu banyak, sudah saatnya Aceh Timur memiliki Perguruan Tinggi! [**]
Penulis: M. Firdaus Annur (Mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta)