DIALEKSIS.COM | Opini - Belakangan, publik Aceh dibuat heboh oleh keputusan Ketua Umum Partai Aceh (PA), Muzakir Manaf, yang mencopot Ayyub Abbas dari jabatan Sekretaris Jenderal dan menunjuk Zulfadhli sebagai penggantinya. Berita ini bukan sekadar isu basi media - media yang memberitakannya selama ini dikenal kredibel di mata rakyat Aceh.
Reaksi masyarakat pun beragam. Bukan hanya keheranan, banyak netizen dan anggota grup WhatsApp yang menujukkan kemarahan, bahkan sampai melontarkan sumpah serapah kepada PA dan Mualem selaku Ketum. Sebab, sejak Mualem menjabat Gubernur, kebijakannya memang sering memicu pro-kontra, sementara masalah internal Partai Aceh justru kian memanas.
Salah satu pemicu polemik adalah tindakan Zulfadhli selaku Ketua DPRA. Di hadapan rapat paripurna, ia terang-terangan menyoroti penunjukan Alhudri sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Sekretaris Daerah (Sekda) oleh Mualem. SK pengangkatan itu dikritik karena kelemahan administratif bukan soal tanda tangan Mualem yang dipalsukan, melainkan proses mekanisme yang cacat meski pada akhirnya SK itu tetap disahkan dan ditandatangani Gubernur.
Padahal Zulfadhli sendiri adalah kader Partai Aceh, tokoh politik sekaligus Ketua DPRA yang berhubungan langsung dengan Gubernur. Idealnya, siapa pun berkompetensi menduduki jabatan Sekda tidak jadi masalah, selama mampu membangun komunikasi dengan DPRA, memimpin Tim Anggaran Pemerintah Aceh (TAPA), dan mengawasi SKPA.
Namun, kritik Zulfadhli terhadap penunjukan Alhudri mengindikasikan ada kepentingan tertentu. Jika kita mundur sedikit ke belakang, belum pernah terjadi ketegangan soal penunjukan Sekda yang sampai dipersoalkan lantaran dianggap tak mampu mendukung agenda legislatif atau pengawasan dewan. Biasanya, saat pembahasan rancangan qanun atau Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ), kapasitas Sekda jarang dipertanyakan.
Karena itu, protes atas Plt Sekda Aceh seolah mencerminkan keyakinan satu pihak bahwa pihak lain tidak bisa diintervensi—bukan dalam hal legislasi atau pengawasan, melainkan soal pengelolaan anggaran APBA. Usai kisruh itu mereda dengan penggantian Alhudri kepada Muhammad Nasir, Zulfadhli rupanya masih belum puas.
Setelah wafatnya Sekjend PA Teungku Kamaruddin (Abu Razak), Zulfadhli diyakini ‘mepet’ Mualem untuk menjadi Plt Sekjend PA—langkah yang berhasil, meski hanya sementara. Ambisinya ternyata tak berhenti di situ. Zulfadhli disebut juga tengah membangun strategi agar bisa ditunjuk definitif sebagai Sekjend PA, sekaligus memperkuat posisinya bersama Mualem sebagai Gubernur.
Padahal, tujuan utama Zulfadhli bukanlah membesarkan Partai Aceh melainkan memperkokoh kekuasaannya sebagai Ketua DPRA dan memuluskan alokasi anggaran pokok-pokok pikirannya (Pokir). Sejumlah pengamat politik bahkan menyoroti: jika benar Zulfadhli mengincar kursi Sekjend PA, semestinya ia mundur dulu dari posisi Ketua DPRA. Tugas Ketua DPRA sejatinya adalah menunaikan sumpah jabatan untuk menciptakan program pro-rakyat dan mengawal pemerintahan Aceh demi kesejahteraan lebih dari lima juta penduduk.
Sementara itu, di tingkat nasional, banyak partai politik membebaskan Sekjend-nya dari jabatan politik di pemerintahan agar bisa fokus sepenuhnya pada konsolidasi organisasi menjelang agenda politik lima tahunan. Lalu, mengapa Zulfadhli ngotot memegang dua jabatan strategis sekaligus -- Ketua DPRA dan Sekjend PA?
Jawabannya, semua publik sudah tahu.
Penulis: Syahril Ramadhan Pemerhati Sosial Politik Aceh