DIALEKSIS.COM | Opini - Belum kelar isu ijazah palsu mantan presiden Indonesia ke tujuh, Joko Widodo, fenomena ijazah palsu kembali menyorot perhatian publik baru-baru ini. Kali ini, ijazah palsu bukan lagi isu liar, sebagiannya telah terbukti memalsukan ijazah atau menggunakan ijazah palsu dalam Pemilu.
Aries Sandi Darma Putra pada Pemilihan Bupati/Wakil Bupati Pesawaran (Zainawi, 2025) dan Trisal Tahir pada Pemilihan Walikota/Wakil Walikota Palopo (Kartika, 2025) adalah dua perkara yang didiskualifikasi karena persoalan ijazah yang terbukti palsu atau tidak dapat dipastikan keasliannya oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Sanksi diskualifikasi yang dilakukan MK seperti genderang perang yang gagah ditabuhkan. MK terlihat gerah dengan praktik curang yang menggerogoti perlahan kedaulatan rakyat. Sayangnya, sanksi semacam itu hanya bersifat kasuistik dan hanya berlaku pada perkara yang ditangani oleh MK.
Jika ditangani oleh lembaga lain, ceritanya bisa beda. Artinya, sistem Pemilu Indonesia memang didesain sebegitu rapuhnya. Disharmoni yang berujung pada disparitas bukan sekadar isu antar lembaga, bahkan terjadi di tubuh lembaga yang sama.
Tulisan ini akan menyoroti fenomena ijazah palsu yang disinyalir semakin anomali dalam sistem Pemilu Indonesia. Anomali bukan semata karena Pemilu itu berpegang pada prinsip jujur dan adil, juga karena respons terhadap penyimpangan prinsip, hukum, dan etika yang telah digariskan tidak memberi kepastian dan keadilan.
Anomali juga karena penjatuhan sanksi bagi pelaku sangat timpang yang tampaknya tidak bergantung pada hukumnya, melainkan pada lembaga penegak hukumnya.
Fenomena penggunaan ijazah palsu dalam penyelenggaraan Pemilu tampaknya semakin dinormalkan. Fenomena ini bukan lagi problem kontestan (peserta Pemilu), juga telah masuk dan mengotori ruang panitia penyelenggara Pemilu itu sendiri. Praktik demikian tentu mencoreng prinsip Pemilu berupa jujur dan adil.
Prinsip jujur tampaknya bukan sekadar dilanggar, bahkan terlihat kian pudar. Fenomena yang terjadi belakangan menjadikan publik bertanya, “Jangan-jangan, jujur memang tidak lagi relevan, atau Pemilu dan jujur merupakan dikotomi yang tidak mungkin dipertemukan?”
Jika dua perkara di atas mengharuskan kontestan atau para calon didiskualifikasi, dan sekiranya sanksi tersebut dipandang tepat, adalah logis bila sanksi tersebut menjadi standar terendah bagi penyelenggara Pemilu. Inilah di antara anomali penggunaan ijazah palsu dalam penyelenggaraan Pemilu. Bukannya memecat, penggunaan ijazah palsu oleh penyelenggara Pemilu malah terkesan ditoleransi.
Meski anomali, realitas demikian memang sering terjadi di negara ini. Anomali semacam itu persis seperti sikap bengis main hakim sendiri kepada pencuri yang lapar, namun tetap santun dan memuji para koruptor serakah yang kadang menang pula ketika ikut dalam perhelatan demokrasi.
Kembali ke persoalan ijazah palsu, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dalam putusan Nomor 300-PKE-DKPP/XI/2024 menjatuhkan sanksi peringatan keras dan pemberhentian dari jabatan kepada teradu sebagai ketua merangkap anggota Panitia Pengawas Pemilihan (Panwaslih) Kabupaten Aceh barat.
Mengandalkan logika hukum yang benar bahwa pada prinsipnya pemberatan sanksi berlaku bagi mereka yang memegang kepercayaan, kewenangan, dan keluhuran (noblesse oblige), maka sanksi tersebut jelas cacat logika.
Titi Anggraeni bahkan menuding putusan DKPP yang demikian sebagai “cenderung melindungi kelompok dan korsa” tertentu (Jakartasatu.com, 20/5/2025), alih-alih berorientasi pada penyelenggara yang kredibel dan bersih.
Mempelajari perkara tersebut secara saksama, apa yang dikatakan Titi rasanya masih terbilang moderat. Pasalnya, perkara ini bahkan bukan sekadar masalah etik, juga delik.
Sebelum masuk ke pembahasan delik, penting dipahami bahwa pelanggaran Pemilu meliputi pelanggaran administratif, pelanggaran pidana, dan pelanggaran kode etik. Dua pelanggaran pertama dapat berdampak pada diskualifikasi bagi calon, sayangnya tidak bagi penyelenggara.
Menurut UU 7/2017, pemalsuan dokumen atau keterangan hanya subjeknya adalah orang selain penyelenggara. Itu sebabnya, tuntutan atas penggunaan ijazah palsu oleh penyelenggara terkesan hanya bersifat etika.
UU Pemilu belum menjangkau kemungkinan penggunaan ijazah palsu oleh penyelenggara sehingga tidak memformulasikan pelanggaran tersebut sebagai tindak pidana Pemilu atau jenis pelanggaran administratif yang dapat mendiskualifikasi atau memecat penyelenggara Pemilu.
Sekalipun tetap dapat dilakukan melalui penyelesaian etik di DKPP, namun DKPP juga berpeluang tidak memecat pelaku. Sedangkan dalam tahap seleksi, semuanya akan sangat bergantung pada kredibilitas dan profesionalitas tim seleksi.
Pemalsuan ijazah dalam hukum pidana sendiri merupakan tindak pidana pemalsuan surat dan/atau secara spesifik merupakan tindak pidana penggunaan ijazah palsu menurut Pasal 69 UU 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang ancaman pidananya hingga 5 tahun penjara.
Jika mengacu pada UU 1/2023 (KUHP), perbuatan tersebut bahkan diancam dengan 6 tahun penjara atau denda kategori VI. Bisa dibayangkan bagaimana sekiranya teradu malah dilaporkan atas perkara pemalsuan ijazah yang bahkan juga meliputi penggunaan gelar palsu. Apakah putusan tidak memecat teradu menjadi tepat dan benar?
Jika berkaca pada kasus mantan ketua KPU, Hasyim Asy’ari dalam putusan nomor 90-PKE-DKPP/V/2024 yang disinyalir juga melakukan tindak pidana, maka dalam perkara ijazah palsu yang juga merupakan tindak pidana, DKPP semestinya bersikap konsisten, yakni memecat yang bersangkutan.
Selain itu, sejumlah putusan yang memberi sanksi pemberhentian tetap, sebagiannya bahkan tidak mengandung delik. Rasanya irasional sekiranya pelanggaran etik murni diberi sanksi lebih berat dari pelanggaran etik yang mengandung delik.
Padahal seluruh delik adalah pelanggaran etik, namun tidak semua pelanggaran etik dapat dianggap mengandung delik. Maknanya, secara hukum, tindak pidana dipandang lebih buruk dibanding melanggar etik.
Sanksi pidana juga dipandang lebih berat dari sanksi etik. Dengan begitu pelanggaran etik yang dilakukan teradu yang merupakan penyelenggara Pemilu dalam perkara 300-PKE-DKPP/XI/2024 telah tereduksi sebagai pelanggaran biasa. Putusan semacam ini berbahaya bagi demokrasi yang coba diselamatkan oleh MK sebagaimana dijelaskan sebelumnya.
Parahnya, prinsip jujur yang menjadi fondasi bagi Pemilu Indonesia, dalam perkara tersebut benar-benar dirusak dan dianggap sepele. Kali ini kiranya bukan semata oleh teradu, juga oleh DKPP lewat sikapnya yang toleran terhadap pengguna ijazah dan gelar palsu.
DKPP sepertinya lupa bahwa perilaku tidak jujur itu sulit diperbaiki sebagaimana dikatakan Mohammad Hatta, “Kurang cerdas dapat diperbaiki dengan belajar, kurang cakap dapat dihilangkan dengan pengalaman, namun tidak jujur itu sulit diperbaiki”.
Ungkapan tersebut mendapat relevansinya secara langsung dalam persidangan. Alih-alih mengakui perbuatannya, bukankah DKPP menemukan fakta bahwa teradu tetap menyangkal penggunaan ijazah dan gelar palsu saat mendaftar sebagai calon anggota Panwaslih Kabupaten Aceh Barat?
Bukankah ini berarti bahwa teradu bahkan tidak menginsafi perbuatannya? Pertanyaannya, apa mungkin setelah diberi peringatan keras “ketidakjujuran” yang tidak diakui akan berbuah manis?
Alhasil, pada skop yang lebih luas, putusan DKPP tersebut bahkan patut disesalkan karena turut menyumbang pelemahan sistem. Ke depan, mengetahui betapa rapuhnya mekanisme verifikasi administratif berkas pencalonan dan seleksi penyelenggara Pemilu, tentu mendorong kandidat yang tidak memiliki ijazah menempuh jalan nekat demi meraih jabatan tertentu dalam Pemilu (termasuk Pilkada).
Kesimpulan semacam ini mendapat pembenarannya dari teori klasik dalam kajian kriminologi, bahkan benar menurut analisis ekonomi hukum yang menempatkan manusia sebagai makhluk rasional yang penuh perhitungan. [**]
Penulis: Khairil Akbar (Dosen Fakultas Hukum USK, pemerhati demokrasi dan Pemilu dan merupakan Tim Asistensi Panwaslih Provinsi Aceh tahun 2018)