Minggu, 03 Agustus 2025
Beranda / Opini / Bangkitkan Aceh Lewat Hilirisasi Pertanian dan SDM Unggul

Bangkitkan Aceh Lewat Hilirisasi Pertanian dan SDM Unggul

Sabtu, 02 Agustus 2025 09:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Penulis :
Teuku Jailani Yacob

Teuku Jailani Yacob, Direktur Eksekutif Kadin Provinsi Aceh. Foto: doc Dialeksis


DIALEKSIS.COM | Opini - Pertumbuhan ekonomi Aceh pada tahun 2024 tercatat sebesar 4,66 persen (year-on-year/YoY), meningkat dibandingkan tahun 2023 yang sebesar 4,23 persen. Jika dibandingkan dengan dua tahun sebelumnya, tren ini menunjukkan arah yang positif. Namun, pertumbuhan ini masih tergolong lambat dan belum cukup kuat untuk menjadi fondasi keadilan ekonomi yang merata di seluruh wilayah Aceh.

Jika merujuk pada data dilansir Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat angka kemiskinan Aceh pada September 2024 turun menjadi 12,64 persen, dari 14,23 persen pada Maret 2024. Penurunan sebesar 1,59 poin persentase ini tentu menggembirakan. Namun, penurunan tersebut belum merata.

Dari data BPS terlihat, bahwa kemiskinan di wilayah perdesaan masih tinggi mencapai sekitar 14,99 persen, jauh di atas kemiskinan di wilayah perkotaan yang sebesar 8,37 persen. Meski indikator kedalaman dan keparahan kemiskinan menurun, ketimpangan antarwilayah tetap menjadi tantangan besar. Efektivitas distribusi bantuan sosial patut diapresiasi, namun bukan satu - satunya solusi.

Sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan menyumbang sekitar 30,97 persen terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Aceh. Ini membuktikan bahwa pertanian masih menjadi tulang punggung ekonomi Aceh. Sayangnya, sebagian besar hasil produksi hanya berhenti sebagai bahan mentah: kopi Gayo dijual dalam bentuk biji, jagung Pidie dalam bentuk pipilan mentah, daun nilam tanpa proses menjadi minyak atsiri.

Nilai tambah justru tercipta di luar Aceh, ketika komoditas tersebut diproses di daerah lain. Artinya, selama Aceh belum membangun hilirisasi, kesejahteraan petani akan tetap tertahan.

Kunci Hilirisasi

Jika ingin mendorong kemajuan yang nyata, hilirisasi sektor pertanian harus segera dilakukan. KADIN Aceh menyarankan langkah konkret, seperti; membangun sentra pengolahan dan industri kecil-menengah untuk produk kopi, jagung pipilan, minyak nilam, hingga sawit rakyat.

Hal terpenting lainnya, yakni mendorong terbentuknya koperasi agribisnis yang terhubung dengan pasar digital dan ekspor. Serta kalah penting perlu menyediakan infrastruktur pascapanen, fasilitas cold storage, kemasan lokal, sertifikasi halal, dan merek dagang regional.

Aceh tidak butuh proyek mercusuar, tetapi alokasi Dana Otonomi Khusus (Otsus) yang tepat sasaran berorientasi pada hilirisasi, bukan hanya belanja rutin dan birokrasi.

Setiap tahun, ribuan pemuda Aceh lulus dari perguruan tinggi dan sekolah vokasi. Namun sayangnya, banyak dari mereka belum siap masuk dunia kerja atau membuka usaha sendiri. Tingkat pengangguran lulusan vokasi dan universitas masih cukup tinggi.

Dari fakta itu secara kelembagaan Kadin Aceh mengusulkan langkah - langkah strategis dapat dipertimbangkan para pengambil kebijakan untuk direalisasikan. Hal pertama semua lulusan SMK dan perguruan tinggi vokasi wajib memiliki sertifikat kompetensi sesuai standar industri.

Kedua dibutuhkan program magang dan pelatihan harus terintegrasi dengan dunia usaha sejak masa studi. Serta penguatan peran Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP), terutama di sektor pertanian, pengolahan pangan, logistik, dan perdagangan.

Dengan begitu, lulusan tidak hanya membawa ijazah, tetapi juga keterampilan nyata dan sertifikat yang siap digunakan di pasar kerja maupun dunia usaha.

Anak Muda dan Wirausahawan

Tak harus merantau, tak perlu mengejar status PNS. Justru banyak anak muda Aceh yang memiliki potensi besar untuk menjadi wirausahawan. KADIN Aceh membuka ruang dan jalan, meliputi; pelatihan agritech dan digital farming, inkubasi bisnis berbasis produk lokal, kolaborasi dengan pesantren, SMK, komunitas desa, dan alumni kampus, akses modal mikro melalui koperasi dan BUMDes, serta fasilitasi sertifikasi dan branding produk untuk ekspor.

Langkah ini bukan hanya menciptakan lapangan kerja baru, tapi juga memperkuat ekonomi desa dan menjaga potensi lokal agar tidak terus-menerus mengalir keluar.

Kembali lagi menyinggung tentang hilirisasi dikaitkan dengan kemampuan SDM anak muda, kita ketahui bahwa pada tahun 2025 - 2026. Pembentukan sentra hilirisasi pertanian, pelatihan vokasi, dan sertifikasi kompetensi. Selanjutnya di tahun berikutnya 2026 - 2027 fokus ke ekspansi industri olahan lokal, perluasan akses modal, dan penguatan pemasaran digital. Periode tahun 2027 – 2028 melakukan perluasan pasar ekspor, sertifikasi halal, dan pengembangan kemasan serta merek lokal. Langkah di tahun 2029 - 2030 membuat integrasi kawasan industri pangan dengan pelabuhan dan logistik ekspor.

Dari semua penjelasan diatas, muncul pertanyaan, mengapa Ini Genting? Jawabannya sederhanannya karena pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat dan inklusif. Selain itu kemiskinan pedesaan bisa ditekan lebih tajam dan pengangguran lulusan muda bisa diatasi dengan kewirausahaan.

Ide gagasan dalam isi tulisan sudah berhasil di Sumatera Barat telah membuktikan bahwa produk olahan seperti rendang kemasan dan produk UMKM bisa menembus pasar ekspor. Di Sulawesi Selatan, kawasan pertanian hortikultura dan peternakan terintegrasi tumbuh pesat.

Aceh memiliki potensi yang jauh lebih besar antara lain seperti kopi Gayo, nilam terbaik, dan jagung berkualitas. Tapi tanpa manajemen pascapanen dan industri pengolahan, semua itu tak lebih dari bahan mentah murah. Solusinya bukan mimpi: cukup dengan kemauan politik, kolaborasi lintas sektor, dan organisasi petani yang rapi.

Ribuan diaspora Aceh yang sukses di luar negeri belum mendapat ruang untuk berkontribusi nyata. KADIN Aceh mengundang diaspora untuk berperan lewat investasi, gagasan, dan jaringan global.

Sektor swasta nasional juga harus memandang Aceh sebagai peluang strategis. Kita punya tanah subur, generasi muda bersemangat, dan potensi SDA melimpah. Yang dibutuhkan tinggal satu: kemitraan jangka panjang yang saling menguntungkan.

Aceh menanam padi, tapi beras didatangkan dari luar. Sawit melimpah, tapi minyak goreng masih beli dari Riau. Nilam panen melimpah, tapi kita beli minyak atsiri dari provinsi lain. Ini bukan cuma soal ekonomi. Ini soal harga diri.

Saatnya Aceh berdiri di atas kaki sendiri sebagai produsen, bukan sekadar konsumen. Oleh karena itu Kadin Aceh menyerukan sinergi seluruh pihak untuk melakukan tindakan berikut ini; pemerintah daerah: Arahkan APBA/APBK ke sektor produktif, dunia pendidikan: sesuaikan kurikulum dengan realitas dunia kerja, sektor keuangan: permudah akses pembiayaan UMKM agribisnis, komunitas lokal: angkat kisah sukses wirausaha desa, Ddiaspora: kembali dan berkontribusi membangun daerah, dan anak muda Aceh: berhenti menunggu; mulailah mencipta!.

Kebangkitan Aceh bukan hanya untuk mengejar ketertinggalan, tapi untuk menginspirasi daerah lain. Dengan hilirisasi yang matang, SDM unggul, dan generasi muda yang siap jadi pengusaha, Aceh bisa menjadi episentrum ekonomi rakyat Indonesia.

KADIN Aceh siap berada di garis depan perjuangan ini. Sebab masa depan Aceh bukan ditentukan dari besarnya dana yang diterima, tapi oleh kesungguhan semua pihak mengubah potensi menjadi kekuatan pembangunan.

Penulis: Teuku Jailani Yacob, Direktur Eksekutif Kadin Provinsi Aceh

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI