DIALEKSIS.COM | Opini - Banjir yang melanda tiga provinsi dengan Aceh sebagai salah satu wilayah terdampak paling parah bukan sekadar bencana alam. Ia telah menjelma menjadi cermin retak relasi antara negara dan rakyatnya. Lebih dari satu juta warga terdampak, kehilangan rumah, mata pencaharian, dan rasa aman.
Namun yang lebih menyakitkan, suara mereka terasa tak sampai ke pusat kekuasaan. walau media sudah menjadi ruang suara tapi terasa tak sampai atau pengambil kebijakan menutup telinga.
Di tengah kepungan air dan lumpur itu, muncul satu suara yang berani, Murthalamuddin, seorang guru, aparatur sipil negara, dan lebih penting tubuh dari rakyat Aceh itu sendiri. Ia bersuara bukan sebagai individu, melainkan sebagai perpanjangan perasaan kolektif masyarakat Aceh. Keberaniannya, yang disaksikan publik dalam siaran langsung bersama CNN TV, memperlihatkan perlawanan moral terhadap keangkuhan kekuasaan komunikasi negara. Ia berdiri tegak, melawan narasi yang dibangun dari balik meja istana.
Ironisnya, keberanian seorang guru itu justru tampak lebih “revolusioner” dibandingkan seluruh perangkat komunikasi negara lainnya. Seolah-olah membela korban hari ini adalah tindakan subversif. Seolah-olah empati telah menjadi ancaman.
Saya berbicara sebagai mantan tahanan politik dan narapidana politik Aceh. Saya tahu betul bagaimana negara bekerja ketika ia merasa terusik. Dan hari ini, saya melihat tanda-tanda itu kembali muncul. Media diminta menarik berita. Karya jurnalistik dirampas. Ada jurnalis yang laporannya ditarik, bahkan di hari terakhir ia bersiaran. Kebebasan pers terasa seperti kembali dipenjara bukan oleh hukum, tetapi oleh ketakutan.
Padahal Indonesia memiliki konstitusi dan undang-undang yang menjamin kebebasan berpendapat dan kebebasan pers. Ruang publik bukan milik penguasa, melainkan milik rakyat. Ketika suara korban dibungkam, ketika fakta lapangan disaring demi kenyamanan kekuasaan, maka negara sedang menggali jurang ketidakpercayaan.
Aceh punya sejarah panjang tentang itu. Hasan Tiro tokoh yang kami banggakan bukan lahir dari ambisi kekuasaan, tetapi dari rasa tercekik. Ia memilih jalan pemberontakan karena menganggap negara menutup ruang demokrasi, menafikan keadilan, dan mengabaikan kesejahteraan rakyat. Ia menuntut hak, bukan kekacauan. Dan sejarah mencatat, pengekangan suara justru melahirkan perlawanan.
Hari ini, dalam konteks bencana, negara kembali memberi kesan menggunakan kekuasaan untuk mereduksi suara korban. Dari sinilah lahir simbol-simbol perlawanan sunyi bendera putih. Apakah itu tanda menyerah? Atau justru jeritan paling jujur dari rakyat yang masih berharap pada negara?
Bendera putih itu bukan simbol kebencian. Ia adalah harapan terakhir. Harapan bahwa negara masih berpihak. Bahwa presiden masih mau mendengar, bukan hanya laporan yang sudah dipoles.
Bagi korban banjir, bendera putih bukan simbol politik, apalagi makar. Ia lahir dari situasi paling purba dalam sejarah manusia: keinginan untuk bertahan hidup. Ketika air menelan rumah, sawah, ternak, dan pekerjaan, bendera putih menjadi bahasa terakhir orang-orang yang tak lagi punya saluran suara. Ia dikibarkan bukan untuk menantang negara, melainkan untuk memanggilnya.
Di mata korban, bendera putih adalah pengakuan jujur atas ketidakberdayaan. Mereka menyerah bukan kepada kekuasaan, tetapi kepada keadaan. Ia adalah tanda bahwa daya hidup telah sampai di batas, bahwa kemampuan bertahan secara mandiri telah runtuh. Dalam konteks ini, bendera putih adalah jeritan sunyi: kami tidak sanggup lagi berjalan sendiri.
Bendera putih juga dimaknai sebagai simbol harapan. Paradoksnya, ketika korban mengibarkan tanda menyerah, justru di situlah harapan kepada negara diletakkan. Mereka percaya negara masih ada, masih mau menoleh, masih punya tanggung jawab moral dan konstitusional. Jika harapan itu benar-benar mati, bahkan bendera putih pun tak akan dikibarkan--karena tak ada lagi yang dituju.
Lebih jauh, bagi korban Aceh yang memiliki ingatan kolektif tentang konflik dan represi, bendera putih adalah pilihan damai. Ia adalah cara paling aman untuk bersuara tanpa berteriak, tanpa turun ke jalan, tanpa melawan secara fisik. Dalam sejarah panjang Aceh, simbol sering menjadi cara bertahan di tengah ketimpangan kekuasaan.
Dari sudut pandang negara, bendera putih sering dibaca dengan kacamata kekuasaan, bukan kemanusiaan. Ia dicurigai sebagai simbol provokasi, delegitimasi, atau bahkan pembangkangan. Negara cenderung melihatnya sebagai ancaman terhadap stabilitas, citra, dan kendali narasi. Inilah kesalahan paling mendasar, negara membaca simbol kemiskinan dengan logika keamanan.
Ketika negara menafsirkan bendera putih sebagai serangan politik, maka negara sedang gagal memahami bahasa korban. Alih-alih bertanya “mengapa rakyat sampai mengangkat bendera putih?”, negara justru sibuk bertanya “siapa di baliknya?”. Fokus bergeser dari penderitaan ke kecurigaan. Dari tanggung jawab ke pengendalian.
Padahal, dalam negara demokratis, bendera putih seharusnya dibaca sebagai alarm kegagalan kebijakan, bukan ancaman. Ia adalah indikator bahwa mekanisme perlindungan sosial tidak bekerja, komunikasi publik terputus, dan negara terlambat hadir. Jika negara defensif terhadap simbol ini, maka yang dipertahankan bukan rakyat, melainkan gengsi kekuasaan.
Jika kondisi ini tak dikendalikan, publik akan menghakimi kepemimpinan Presiden Prabowo. Seorang panglima perang tentu memahami bahwa bencana adalah medan krisis yang serius. Saya percaya Presiden Prabowo memandang persoalan ini dengan kesungguhan. Namun saya juga khawatir: para menteri dan badan komunikasi hanya bekerja untuk menyenangkan presiden, bukan menyampaikan kenyataan. Mereka mungkin tidak mau, tidak berani, atau terlalu nyaman--hingga presiden tak mendapatkan fakta lapangan yang utuh tentang banjir bandang dan longsor di tiga provinsi.
Negara tidak boleh alergi terhadap kritik, apalagi dari korban. Presiden harus memperbaiki komunikasi publik, membuka kembali ruang bagi pers, dan menyiapkan perangkat khusus yang bekerja langsung di lapangan--bukan di balik layar pencitraan.
Korban bencana hingga hari ini masih terus berjatuhan. Mereka tidak selalu mati seketika oleh derasnya air, tetapi wafat perlahan--oleh dingin, kelaparan, penyakit, trauma, dan keputusasaan. Kematian pascabencana adalah kematian yang sunyi, tak selalu tercatat sebagai statistik darurat, namun nyata dirasakan di tenda-tenda pengungsian dan rumah-rumah yang tinggal rangka. Negara sering hadir saat sirene dibunyikan, tetapi menghilang ketika penderitaan menjadi rutinitas.
Kemiskinan pascabencana adalah luka yang seharusnya ditanggung negara, bukan diwariskan kepada korban. Jangan menghina martabat rakyat dengan bantuan sosial yang bahkan tak cukup untuk membeli sebungkus beras. Bantuan sepuluh ribu rupiah bukan solusi, melainkan ejekan terhadap derita. Bagaimana mungkin rakyat bertahan hidup, sementara mata pencaharian mereka telah lenyap ditelan banjir bandang? Negara tidak sedang berhadapan dengan angka, tetapi dengan manusia.
Sawah terendam lumpur, kebun hanyut, ternak mati, dan alat kerja rusak tak tersisa. Petani kehilangan musim tanam, nelayan kehilangan perahu, buruh kehilangan pekerjaan, dan pedagang kehilangan pasar. Ini bukan sekadar kerugian ekonomi, melainkan pemutusan rantai hidup masyarakat. Tanpa intervensi negara yang serius, rakyat dipaksa bertahan sendiri di atas puing-puing harapan, menunggu keajaiban yang tak pernah dijanjikan.
Bencana memang disebut “alam”, tetapi penderitaan pascabencana adalah hasil dari pilihan politik. Ketika negara lamban, ketika pemulihan tak dirancang dengan keberpihakan, maka rakyat membayar dengan hidupnya. Rehabilitasi dan rekonstruksi tidak boleh berhenti pada spanduk dan seremoni. Ia harus menjelma dalam jaminan hidup layak, pemulihan ekonomi lokal, dan keberlanjutan masa depan korban.
Jika negara terus gagal membaca jeritan ini, maka banjir bukan lagi musibah, melainkan peringatan keras. Rakyat Aceh--dan rakyat Indonesia--tidak menuntut kemewahan, hanya keadilan. Negara harus hadir bukan sebagai penguasa yang menertibkan suara, tetapi sebagai penanggung jawab penderitaan. Sebab ketika rakyat dibiarkan mati perlahan, yang tenggelam bukan hanya sawah dan kebun, melainkan legitimasi kekuasaan itu sendiri.
Ketika suara rakyat dibungkam, sejarah Aceh mengajarkan satu hal, diam bukan berarti selesai. Dan banjir, seperti kebenaran, selalu menemukan jalannya sendiri.[**]
Penulis: Nasruddin alias Nyak Dhin Gajah (Mantan Tapol/Napol GAM)
