Belajar dari Huru Hara Skincare Indonesia
Font: Ukuran: - +
Penulis : Muazzinah
Muazzinah, B.Sc,. MPA, Dosen Prodi Ilmu Administrasi Negara FISIP UIN Ar-Raniry. [Foto: dokumen untuk dialeksis.com]
DIALEKSIS.COM | Opini - Industri skincare Indonesia berkembang pesat mengingat populasi penduduk Indonesia yang ramai dan beragam. Kemudian munculnya produk-produk yang sangat mudah dan murah dijangkau oleh semua kalangan masyarakat. Tanpa disadari skincare menjadi satu kebutuhan untuk meningkatkan perawatan diri dan ingin tampil lebih menarik.
Menurut Katadata, pendapatan di sektor kecantikan dan perawatan diri di Indonesia mencapai 7,23 miliar dolar AS atau setara dengan Rp 111,83 triliun (kurs Rp 15.467,05) pada tahun 2022 lalu. Karenanya, sektor ini diperkirakan mengalami kenaikan tahunan sebesar 5,81% CAGR selama periode 2022 hingga 2027.
Hal demikian serupa dengan yang dilansir oleh Compass.co.id Fast Moving Consumer Goods (FMCG) E-commerce report tahun 2022 penjualan produk didominasi kategori produk beauty & care, Kategori unggulan pertama diraih oleh perawatan wajah yang sukses mencetak market share 39,5%. Posisi kedua dan ketiga, masing-masing dicapai oleh kategori perawatan tubuh dan perawatan rambut.
Jika ditelusuri lebih lanjut, serum wajah menjadi subkategori primadona dari kategori perawatan wajah berkat meraih 22% market share. pada report tahun 2023 juga menunjukkan ayoritas konsumen membeli produk kecantikan, dengan total proporsi sebesar 49%. Sebanyak 39,4% responden mengaku sering membeli produk perawatan wajah, diikuti produk perawatan tubuh dengan proporsi 13,7%.
Berdasarkan data di atas maka tidak heran telah berjamurnya pelaku usaha kosmetik. Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), melansir data peningkatan pertumbuhan jumlah pelaku usaha kosmetik dari jumlah 819 pada 2021 menjadi 913 pada 2022, hal ini setara dengan pertumbuhan sebesar 20,6% pada 2022.
Kita boleh bangga dengan data tersebut karena adanya pelaku usaha kosmetik yang ramai tentu akan membantu perekonomian negara dan masyarakat sendiri. Tetapi dunia skincare Indonesia sedang tidak baik-baik saja, pada media sosial kita disuguhkan kisruh para pelaku usaha skincare seperti influencer/conten creator, selebgram, artis dan lain-lain yang bukan mengedukasi tetapi lebih kepada saling klaim produk sendiri/koleganya yang lebih baik sehingga seolah terjadi persaingan bisnis yang tidak sehat.
Perlu Kolaborasi
Solusi atas huru hara tersebut yaitu perlunya collaborative governance. Nasrulhaq menjelaskan bahwa collaborative governance merupakan sebuah paradigma baru dalam memahami eksistensi multi stakeholders dalam urusan-urusan publik. Menurut saya, beberapa multistakeholders yang sangat terkait yaitu BPOM, Konsumen (pembeli) dan Owner (pemilik/penjual).
Pemerintah yang terkait pengawasan dunia skincare adalah Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Tugas BPOM tercantum dalam pasal 2 Peraturan Presiden Nomor 80/2017 yaitu bertugas menyelenggarakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Obat dan makanan yang dimaksud terdiri atas obat, bahan obat, narkotika, psikotropika, prekursor, zat adiktif, obat tradisional, suplemen kesehatan, kosmetik, dan pangan olahan.
BPOM mempunyai kewenangan yaitu menerbitkan izin edar produk dan sertifikat sesuai dengan standar dan persyaratan keamanan, khasiat/manfaat dan mutu, serta pengujian Obat dan Makanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; melakukan intelijen dan penyidikan di bidang pengawasan Obat dan Makanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan pemberian sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan kewenangan tersebut maka skincare yang beredar dipasar harus ada certified atau terverifikasi oleh BPOM. Penting memilih skincare yang terdaftar BPOM karena terkait dengan mutu produk, kandungan layak edar dan pakai serta efek samping. Ini adalah wujud tanggungjawab perlindungan masyarakat/konsumen dari negara. Karena jika skincare yang beredar non-BPOM pasti menjadi resiko dan tanggungjawab konsumen karena dengan sadar membeli produk ilegal.
Saat ini mudah untuk mengeceknya menggunakan hp seperti saya menginstall aplikasi BPOM Moblie sehingga setiap produk obat dan makanan bisa di-scan barcode maka kita akan mengetahui jenis kategori obat atau makanan, merk produk, perusahaannya dan berada di daerah mana.
Baru-baru ini dunia skincare Indonesia menjadi “rame” yaitu munculnya salah satu dokter influencer yang mudah mereview produk skincare orang lain dengan uji laboratorium yang dimilikinya. Sisi negatif yaitu saling klaim, saling adu gagasan sesuai kepentingan dan sebagainya yang bukan lagi mengedepankan edukasi untuk perlindungan masyarakat. Sisi positif juga menjadi membuka mata masyarakat akan adanya produk skincare “jadi-jadian”.
Berdasarkan hal demikan BPOM mengadakan dialog interaktif bersama para influencer/content creator yang dilatarbelakangi oleh maraknya fenomena ulasan/review dari para influencer/content creator mengenai produk kosmetik.
Namun, BPOM mencatat beberapa ulasan tidak komprehensif. Kepala BPOM menjelaskan, misalnya, dalam review menyatakan hasil laboratorium yang seharusnya bersifat rahasia dan hanya dapat digunakan untuk pihak yang bertanggungjawab, bukan untuk publik.
Reviu yang banyak dari sumber berbeda, menyampaikan hal yang tidak sama, bias opini, kurangnya verifikasi, perbedaan konteks dan kesalahan interpretasi, pada akhirnya hanya akan menimbulkan kebingungan di masyarakat. Alih-alih menjadi tercerahkan terhadap manfaat dan keamanan produk lokal yang direviu, sebagian masyarakat justru menjadi skeptis dan kehilangan kepercayaan sehingga lebih memilih berpaling ke kosmetik impor.
Hanya BPOM sebagai lembaga yang diberikan otoritas untuk melakukan pengawasan, yang berhak menyatakan “approved” terhadap produk kosmetik. Perizinan dan pengawalan setelah kosmetik beredar merupakan satu kesatuan yang kewenangannya melekat pada otoritas.
Dari penjelasan Kepala BPOM di atas dapat dipahami yaitu ketika ada suatu produk yang “tidak sehat” atau efek samping maka masyarakat/konsumen harus melaporkan ke BPOM.
Jadilah konsumen yang cerdas. Mesti teliti terhadap produk yang akan dinikmati bukan hanya melihat harga yang murah dan ikut-ikutan karena produk viral. Sehingga ketika ada informasi yang tidak sesuai pada produk maka bisa membuat aduan kepada BPOM.
Menurut PerBPOM 26/2019 masyarakat (konsumen) dapat melaporkan melalui e-reporting, e-mail: laporkosmetik@pom.go.id dan faksimili. Mestinya ini yang dilakukan oleh dokter influencer atau siapapun sehingga menjadi kolaborasi yang baik untuk pengawasan. Namun dalam hal ini BPOM juga perlu transparan terhadap proses pelaporan yang dilakukan oleh masyarakat sehingga kepercayaan publik terhadap BPOM meningkat.
Bagi produsen (owner) bukan semata-mata mencari keuntungan dengan overclaim, kandungan produk tidak jelas, tidak tertera izin dll maka sangat perlu bertanggungjawab dengan berbagai peraturan yang dibuat oleh pemerintah supaya tercertified sehingga masyarakat (konsumen) terlindungi. Perlu memiliki sertifikat BPOM, sertifikat halal hingga HAKI.
Menurut BPOM industri kosmetika wajib menerapkan pedoman sistem manajemen mutu; personalia; bangunan dan fasilitas; peralatan; sanitasi dan hygiene; produksi; pengawasan mutu; dokumentasi; audit internal; penyimpanan; kontrak produksi dan pengujian’ serta penanganan keluhan dan penarikan produk.
Bagi Influencer/content creator perlu menyadari bahwa setiap yang di posting pada media sosialnya tentu berdampak besar khusus bagi followernya maka nilai edukasi sangat penting sehingga tidak membuat kegaduhan masyarakat yang berpotensi saling merugikan bahkan mematikan usaha orang lain. Kehadiran Influencer/content creator itu sendiri pasti sangat berguna dalam memberikan masukan untuk perubahan kebijakan dan lain-lain.
Akhir kata, pada dasarnya industri skincare di Indonesia memiliki harapan yang sangat baik dengan peluang tingginya populasi penduduk Indonesia dan beragam terhadap minat produk skincare maka akan membantu perekonomian negara dan meningkatkan UMKM masyarakat. Sinergi dan kolaborasi multipihak sangat penting dan wajib.
Mari Kinclong dan Sehat Bersama, jauhi Persaingan Bisnis Tidak Sehat. [**]
Penulis: Muazzinah, B.Sc,. MPA (Dosen Prodi Ilmu Administrasi Negara FISIP UIN Ar-Raniry. Email: muazzinahyacob@gmail.com)