kip lhok
Beranda / Opini / Belajar dari Keputusan Eagle One

Belajar dari Keputusan Eagle One

Minggu, 18 Februari 2018 14:46 WIB

Font: Ukuran: - +

Penulis :
Erlanda Juliansyah Putra



SEJAK sore hingga malam kemarin hampir seluruh timeline facebook para netizen rame membahas upaya pendaratan darurat eagle one yang ditunggani oleh sang kapten Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf.

Bukan tanpa sebab, pesawat berwarna orange keputihan itu mendarat darurat di wilayah Ujung Pancu Kecamatan Peukan Bada Kabupaten Aceh Besar. Turn off machine (mati mesin) yang dialami selama perjalanan Calang ke Banda Aceh menyebabkan pesawat ini harus melakukan emergency landing (mendarat darurat). 

Keputusan seper sekian detik itu merupakan pertaruhan sangat berharga. Mendarat darurat atau tidak mendarat sama sekali adalah pilihan yang harus segera diambil dan direspon langsung oleh sang kapten. Alhamdulillah keputusan itu tepat dan pak gubernur bersama pak asisten selamat karena melakukan pendaratan tersebut.

Tentu bila dihadapkan dengan kondisi tersebut, tidak akan ada yang mau menghadapinya, terlebih itu adalah musibah yang bisa menimpa siapa saja dan berlaku untuk siapa saja yang dikehendaki oleh sang Ilahi Rabbi. Namun mau tidak mau, manusia haruslah mengambil suatu keputusan bila dihadapkan oleh kondisi demikian.

Sang kapten eagle one telah memilih keputusan yang cepat dan tepat. Dan belum tentu semua orang yang dalam menghadapi keadaan semacam itu mampu berpikir jernih dan bertindak cepat dan tepat seperti yang dilakukan kapten Tgk Agam (Irwandi Yusuf). Tentu, ini merupakan berkah dan rahmat Allah swt, sehingga pak gubernur dan pak asisstennya selamar tanpa terluka sedikitpun.

Keputusan Tepat 

Bila anda para penggemar film Hollywood, ada satu film yang bagus untuk ditonton. Judulnya "Sully". Film yang diperankan oleh Tom Hank ini merupakan kisah nyata yang diangkat dari kecelakaan pesawat pada tanggal 15 Januari 2009. Dalam film itu digambarkankan bagaimana sang kapten pilot pesawat mengambil keputusan untuk mendaratkan pesawatnya hingga semua penumpang selamat. Kapten Sully berhasil menyelamatkan 155 penumpangnya, setelah pesawat Airbus A320-214 mengalami mati mesin karena menabrak sekawanan angsa sesaat setelah take off.

Film ini menarik dalam hal penyajian kontroversi pada hasil penyelidikan tentang penyebab terjadinya kecelakaan versi National Transportation Safety Board (NTSB) yang dihadapkan langsung kepada pelaku utamanya yang kebetulan selamat dari kecelakaan, dalam hal ini adalah Kapten Sully.

Hampir semua penelitian dan penyelidikan tentang penyebab terjadinya kecelakaan pesawat terbang itu diarahkan kepada dugaan "pilot error" atau kesalahan pilot, akan tetapi di sinilah Kapten Sully menjelaskan dengan jelas bagaimana akhirnya sang kapten mengambil suatu keputusan yang tepat dan bukan lah merupakan kesalahan sang pilot.

NTSB bersikukuh pesawat itu masih bisa diselamatkan dan didaratkan dengan normal di Bandara LaGuadia atau ke Bandara Taterboro dekat New York City, namun akhirnya simulasi pendaratan membuktikan bahwa kesimpulan NTSB itu salah dan membenarkan keputusan sang kapten untuk menyelamatkan penumpang walau harus mendarat darurat di sungai Hudson.

Kisah ini akhirnya menjadi inspirasi bagi masyarakat Amerika, dan menjadikan Sully sebagai US National Hero bagi rakyat Amerika. Itu karena keputusannya yang cepat dan tepat walau harus bertentangan dengan keputusan para pihak bandara yang menyarankannya untuk mendarat di bandara terdekat.

Lain Kapten Sully di Amerika lain pula Kapten Abdul Rozaq di Indonesia yang pada tanggal 16 Januari 2002 mendaratkan pesawat Boeing 737-300 milik maskapai penerbangan Garuda Indonesia dengan nomor penerbangan GA 421 mendarat darurat di sungai Begawan solo.

Berbeda dengan yang dialami Kapten Sully yang kedua mesinnya mati sesaat setelah take off , Kapten Rozaq yang kedua mesinnya mati pada ketinggian 23.000 kaki itu mau tidak mau harus menghadapi kondisi yang sangat sulit pada saat itu. Sungai Bengawan Solo yang kondisinya berkelok-kelok tidak beraturan dan jauh berbeda dengan kondisi Sungai Hudson menyebabkan pendaratan darurat itu jauh lebih sulit. Namun, Keikhlasan dan ketepatan Kapten Rozaq dalam mengambil keputusan menyebabkan pesawat itu berhasil mendarat darurat dan menyelamatkan penumpangnya. 

Lalu,bagaimana dengan kondisi pendaratan Kapten Irwandi? Tentu tidak kalah sulitnya dari kedua peristiwa tersebut. Kondisi pasir pantai yang tidak rata ditambah lagi dengan pasir yang begitu halus dan memaksa roda ban pesawat masuk ke dalamnya menyebabkan pesawat itu harus kehilangan sayapnya saat hard landing di wilayah Peukan Bada.

Alhamdulillah keputusan yang tepat mendaratkan pesawat itu dipasir Peukan Bada, sehingga sang kapten dan asisten gubernur selamat tanpa kekurangan satu apapun jua.Tentu rasa syukur yang tak terhingga itu adalah suatu ungkapan yang sangat berharga bagi pengalaman para kapten ini.

Dari kisah ini kita dapat mengambil pelajaran bahwa belajar menjadi pemimpin itu ternyata juga tidak jauh berbeda dengan belajar menjadi sang kapten, Bila pemimpin sering mendapatkan permasalahan, baik gangguan yang bisa saja datang dari dalam maupun dari luar kepemimpinannya. Begitupula sang kapten yang bisa saja mendapatkan permasalahan-permasalahan yang datang dari luar dan dalam kemampuan manusia,

Turbulensi yang dirasakan oleh sang kapten itu juga terkadang dirasakan pula oleh para pemimpin, namun keputusan yang tepat dan cepat itu belum tentu bisa dilakukan oleh pemimpin bila iya tidak memiliki jiwa seperti sang kapten yang tidak ragu dan tidak takut dalam mengambil suatu keputusan.

Itulah kenapa, keputusan itu nilainya sangatlah mahal. Karena bila ia tidak dipersiapkan secara matang maka ia tidak akan sempurna; bila ia tidak mengambil tindakan secara tepat dan cepat maka ia akan tidak berarti apa-apa. Mari kita belajarlah dari suatu keputusan Eagle One.

Penulis adalah praktisi hukum dan tenaga ahli pada DPR-RI 

E-mail: Erlandajuliansyahputra@gmail.com

Keyword:


Editor :
Ampuh Devayan

riset-JSI
Komentar Anda