kip lhok
Beranda / Opini / Bendera Aceh: Human Dignity Rakyat Aceh

Bendera Aceh: Human Dignity Rakyat Aceh

Senin, 05 Desember 2022 22:00 WIB

Font: Ukuran: - +


Muhammad Ridwansyah, M.H., Ketua Harian DPP Muda Seudang dan Anggota Tim Pengkajian dan Pembinaan Pelaksanaan MoU Helsinki Pada Lembaga Wali Nanggroe Aceh Tahun 2022. Foto: Ist



DIALEKSIS.COM | Opini - Artikel ini saya tuliskan bertepatan peringatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dalam rangka milad GAM ke 46 Tahun 2022. Jika seorang manusia yang sudah berumur 46 tahun maka ia sudah mapan dan bijak, 46 tahun adalah life begins at 46, perjuangan GAM yang bermigrasi ke Partai Aceh dan KPA menjadi tanda perjuangan yang stabil dan continuities. Perjuangan GAM yang sudah berumur 46 tahun sudah melekat human dignity dan membawa rakyat Aceh pada kemakmuran dan kesejahteraan secara bertahap.

Pemaknaan terhadap Bendera Aceh adalah marwah dan martabat bangsa Aceh, simbol kekhususan dan keistimewaan Aceh dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Persoalan bendera Aceh bukan lagi mengenai persoalan hukum tetapi sudah menjadi persoalan politis unitarian state. Sebenarnya Pemerintah Pusat sangat keberatan dengan hadirnya bendera Aceh karena berpegang pada konsep negara kesatuan yang kaku. 

Hal ini terbukti setahun disahkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh maka setahun setelah itu disahkannya Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2007 tentang Bendera Aceh. Norma dalam PP No. 77 Tahun 2007 langsung menjegal kehadiran Bendera Aceh. Teks norma itu menerangkan bahwa desain logo dan bendera daerah tidak boleh mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan desain logo dan bendera organisasi terlarang atau organisasi/perkumpulan/lembaga/gerakan separatis dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. 

Penjelasan norma PP No. 77 Tahun 2007 itu menegaskan bahwa yang dimaksud dengan desain logo dan bendera organisasi terlarang atau organisasi/perkumpulan/lembaga/gerakan separatis dalam ketentuan ini misalnya logo dan bendera bulan sabit yang digunakan oleh gerakan separatis di Provinsi Aceh.

Bendera Aceh itu adalah amanah MoU Helsinki, sejak dilakukan perundingan pertama dimulai pada tanggal 27 Januari sampai dengan 29 Januari 2005, perundingan kedua pada 21 Februari sampai dengan 23 Februari, perundingan ketiga pada tanggal 12 April sampai dengan 16 April 2005, perundingan keempat pada tanggal 26 Mei sampai dengan 31 Mei 2005, dan terakhir perundingan kelima pada tanggal 12 Juli sampai dengan 17 Juli 2005. 

Perundingan-perundingan di Helsinki membawa harapan baru bagi rakyat Aceh dengan ditandatanganinya Nota Kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dan GAM. Kesepakatan Helsinki ini dikenal sebagai MoU Helsinki. Salah satu frasa klausulnya butir 1.1.5.: Aceh memiliki hak untuk menggunakan simbol-simbol wilayah termasuk bendera, lambang dan himne.

Butir 1.1.5 MoU Helsinki menjadi norma Pasal 246 dan Pasal 247 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006. Pasal 246 ayat (4) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 menyatakan “Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk bendera sebagai lambang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Qanun Aceh yang berpedoman pada peraturan perundang-undangan.

Pembentukan Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh sudah disahkan namun hingga saat ini masih belum bisa dikibarkan. Seharusnya pemberlakuan Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2013 segera dituntaskan dan tidak dijadikan komoditas politik setiap menjelang milad GAM.

Pemerintah Pusat masih beranggapan bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah khususnya pada Pasal 250 dan 249. Pasal 250 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 menyatakan “Perda dan Perkada sebagaimana dimaksud dalam Pasal 249 ayat (1) dan ayat (3) dilarang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan.” 

Artinya ketentuan Pasal 250 undang-undang a quo melarang keras bahwa suatu qanun yang dibuat oleh pihak Pemerintah Aceh bertentangan dengan hukum nasional, karena sesuai dengan hirarki perundangan-undangan, qanun berada di bawah undang-undang secara otomatis Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2013 tidak boleh bertentangan dengan undang-undang. 

Secara asas hukum menyatakan peraturan yang lebih tinggi dapat mengalahkan peraturan yang lebih rendah (lex superior derogat lex inferior) dan ada pertentangan asas hukum lainnya yang menyatakan peraturan yang khusus dapat mengeyampingkan peraturan yang umum (lex specialis derogat legi genaralis) yang menegaskan keberadaan Pasal 246 dan Pasal 247 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006. 

Namun dilemanya, pihak Gubernur dan DPRA telah menyetujui secara bersama Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2013. Sejak disahkan hingga sekarang ini qanun a quo telah mengalami evaluasi akan tetapi hasilnya belum jelas, apakah qanun tersebut dibatalkan atau disetujui oleh Pemerintah Pusat.

Sebenarnya untuk apa Pemerintah Pusat melarang kehadiran Bendera Aceh, bukankah status hukum GAM sudah jelas dalam meja perundingan, setiap perundingan internasional yang dilakukan harus menjadi prasyarat setara. GAM adalah subjek hukum internasional dan sudah beralih menjadi Komite Peralihan Aceh (KPA) dan Partai Aceh. Dengan adanya nota MoU Helsinki, Pemerintah Indonesia secara lansgung maupun tidak langsung mengakui GAM sebagai subjek hukum internasional.

Apapun dampaknya ialah bahwa Pemerintah Pusat harus bersikap fair terhadap keberadaan Bendera Aceh. Seberapa manfaatkan bendera Aceh bagi rakyat Aceh? Apakah ketika bendera Aceh dikibarkan sudah pasti Aceh merdeka? Mengapa begitu kakunya pihak Pemerintah Pusat terhadap keberadaan bendera Aceh?

Dalam suatu ketika, pernah seorang nenek bernama Nek Maryam di Desa Pulo Blang Kecamatan Darul Ihsan Kabupaten Aceh Timur pada tahun 2017 dimintakan oleh aparat untuk mengibarkan bendera merah putih, tetapi yang dikibarkan adalah bendera Aceh. Artinya keberadaan bendera Aceh sudah mendarah daging bagi rakyat Aceh. Bendera Aceh bukan diperuntukkan untuk eksistensi suatu negara tetapi bendera Aceh memiliki fungsi sebagai pemersatu rakyat Aceh, menjunjung tinggi kehormatan rakyat Aceh. 

 Mengapa Pemerintah Pusat sampai sekarang tidak memberikan lampau hijau atas bendera Aceh? Hemat penulis adalah perlu adanya political will Pemerintah Pusat, bahwa setiap daerah desentralisasi asimetris sudah ada rekognisi khusus dalam UUD Tahun 1945. Kita harus pahami jangan lagi beranggapan Aceh sebagai Skotlandia, Aceh adalah penopang keberadaan Pemerintah Indonesia sejak awal kemerdekaan.

Bentuk dan warna bendera Aceh sejatinya menjadi lambang jiwa keberanian dan kepahlawanan rakyat Aceh itu sendiri. Polemik ini harus berakhir sebagai bentuk pengakuan terhadap keistimewaan dan kekhususan Aceh dengan diberikannya hak kepada Pemerintah Aceh untuk menentukan dan menetap bendera Aceh bulan bintang sebagai simbol keistimewaan dan kekhususan bagi rakyat Aceh.

Wallahu’alam.

(Muhammad Ridwansyah, M.H:  Ketua Harian DPP Muda Seudang dan Anggota Tim Pengkajian dan Pembinaan Pelaksanaan MoU Helsinki Pada Lembaga Wali Nanggroe Aceh Tahun 2022)

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda