Beranda / Opini / Bustami, Angkuh dan Sombong itu Penyakit Hati!

Bustami, Angkuh dan Sombong itu Penyakit Hati!

Sabtu, 23 November 2024 09:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Penulis :
Muhammad Ridwansyah

Muhammad Ridwansyah. Foto: Dialeksis.com


DIALEKSIS.COM | Opini - Setelah ricuh menyeruak dalam perhelatan debat calon gubernur dan calon wakil gubernur Aceh, pada Selasa, 19 November 2024, Bustami Hamzah melontarkan satu pernyataan yang sebenarnya tak elok untuk didengar publik: "ya mau gimana, mereka kan engga sekolah". Pernyataan di depan kamera dan lampu sorot yang kemudian diikuti gelak tawa orang-orang yang mengerubunginya. 

Semua orang yang mendengar kata-kata Bustami paham bahwa pernyataan itu menyasar calon gubernur yang menjadi lawan Bustami, yaitu  Muzakir Manaf atau Mualem. Mualem adalah Ketua Umum Partai Aceh, partai yang menaungi mantan pejuang Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Dengan mengatakan Mualem dan kelompoknya tidak sekolah, Bustami ingin menegaskan bahwa dia sendiri dan kelompoknya adalah orang-orang yang bergelimang dengan gelar dari sekolah. 

Video pernyataan itu beredar dan membuat masyarakat terbelah dalam bersikap. Mereka yang selama ini berada di belakang Bustami dan tidak menyukai Mualem tentu mengamini dan bersorak dengan apa yang disampaikan Bustami. 

Sedangkan yang lain tentu terkejut menyadari Bustami yang selama masa kampanye gubernur membangun citra sebagai orang yang berpendidikan justru mengeluarkan pernyataan yang merendahkan orang lain. 

Mendengar apa yang dikatakan Bustami, saya menyadari satu hal; Bustami memang pernah bersekolah, tapi dia belum tentu berpendidikan. Mengutip Rocky Gerung, ijazah yang dimiliki Bustami tentu menandakan dia pernah bersekolah, tapi belum tentu dia pernah berpikir. Ijazah yang dia miliki dan mungkin menjadi pajangan atau mengisi lemari rumahnya justru membuat dia angkuh dan congkak, dua penyakit hati yang paling dibenci oleh Rasulullah Muhammad SAW. 

Jika dia membersihkan hatinya dari penyakit itu, pasti dia tidak akan menggunakan lidahnya untuk menyerang Mualem. Toh, selepas ricuh itu, Mualem (yang oleh Bustami dan timnya dicitrakan sebagai orang yang tidak sekolah) tidak mengeluarkan pernyataan apapun. Mualem diam, merasa tak perlu beradu kata-kata yang akibatnya justru akan semakin membelah rakyat Aceh. 

Jika Bustami menggunakan pikirannya, seharusnya dia paham Mualem dan kelompoknya memang orang yang tidak mementingkan sekolah. Ketika Bustami sedang sibuk bersekolah, Mualem sedang berpikir bagaimana menuntut balas atas ketidakadilan yang dirasakan rakyat Aceh. Ketika Bustami sedang meniti karir sebagai abdi dalem Pemerintah Indonesia, Mualem justru sedang berjuang agar Pemerintah Indonesia memberikan keadilan kepada rakyat Aceh. Ketika Mualem sedang memilih jalan penuh duri sebagai pejuang, Bustami justru memilih jalan sebagai lamiet. 

Jika Bustami berpikir, seharusnya dia juga paham konflik berkepanjangan yang melanda Aceh. Konflik yang disebabkan oleh pemerintah tempat Bustami mengabdi saat itu. Konflik yang kemudian salah satu akibatnya adalah memutus akses pendidikan bagi rakyat Aceh. Gara-gara itu banyak rakyat Aceh tidak sempat bersekolah. Jika mau jujur, akibat konflik itu tidak hanya dirasakan oleh Mualem dan pendukungnya, tapi juga orang-orang yang dalam beberapa bulan ini sedang bersorak dan mengelu-elukan Bustami. 

Bustami tentu punya privilege untuk merasakan sekolah. Dia tidak merasakan apa yang dirasakan oleh rakyat banyak ketika itu, makanya dia tidak bisa berpikir dan memahaminya. 

Bustami tak elok mengucapkan kata-kata itu. Dia sedang ingin mendapatkan dukungan publik untuk menjadi gubernur Aceh. Pernyataan ini merendahkan orang banyak di Aceh, yang hari ini menjalani kehidupan dengan membawa luka lama dari konflik masa lalu. 

Pun, melabeli Mualem dan barisan GAM tidak sekolah justru salah. Puluhan tahun mereka melawan Republik, puluhan ribu tentara dan sumberdaya dikerahkan Pemerintah Indonesia, namun mereka tidak runtuh. Para pejuang Aceh yang tergabung dalam GAM tidak hanya mampu bertempur di palagan perang, mereka juga mampu membangun negosiasi di meja perundingan. Mereka bukan hanya melintasi kabupaten atau provinsi, tapi juga melampaui batas negara. Tak perlu saya sebutkan satu persatu, jika Bustami mampu berpikir dia pasti mengenali para tokoh-tokoh GAM itu. 

Bustami dan para pendukungnya harusnya sadar, serangan dalam bentuk hasutan dan fitnah yang mereka lontarkan tidak menyurutkan semangat Mualem dan pendukungnya. Justru itu membuat barisan Mualem semakin kokoh. Sebagai barisan yang dididik secara militer, semangat mereka membara. 

Bustami bukan orang yang tidak pernah berhubungan dengan Mualem. Sebagai birokrat dia pasti tahu bagaimana Mualem dan para pendukung yang dia sebut tidak sekolah itu. Bustami dan beberapa nama yang berada di lingkar terdekatnya saat ini adalah orang-orang yang pernah menikmati indahnya jabatan di pemerintahan yang pernah dipimpin oleh barisan GAM. 

Bustami tahu bahwa program revolusioner justru lahir ketika Aceh dalam masa damai dan pemerintahan dipimpin oleh barisan GAM. Jaminan kesehatan, beasiswa, dana gampong, adalah beberapa dari program revolusioner yang lahir dari tangan orang-orang yang menurut Bustami tidak sekolah. Program yang dulunya menjadi mimpi ketika Aceh dipimpin oleh boneka dari Jakarta. 

Walau dulunya memilih jalan sebagai lamiet, sebagai birokrat, Bustami juga menjadi orang yang paling menikmati limpahan uang otonomi khusus di Aceh. Ingat, uang itu bukan “hadiah” dari Jakarta. Uang itu adalah hak Aceh untuk kembali menata dirinya setelah ketidakadilan Indonesia memporak-porandakan Aceh. Ketidakadilan yang mempekerjakan Bustami di dalamnya. 

Tulisan ini cuma ingin mengingatkan Bustami dan para pendukungnya, jangan terlalu menyerang dengan angkuh dan congkak dalam berpolitik. Kebencian yang dibangun justru semakin membuat masyarakat Aceh terbelah. Kedamaian yang sudah dirasakan rakyat Aceh saat ini jangan lagi dikorbankan dengan ambisi jabatan politik sesaat. 

Keberhasilan seorang politisi tidak dilihat dari sekolah dan gelarnya. Politisi dikatakan berhasil jika mampu berjuang bersama-sama dengan rakyat menggapai apa yang telah dicita-citakan bersama. Jika ingin beradu gelar dan sekolah, jangan jadi pemimpin politik, jadilah akademisi. Itupun tak ada guna jika gelarnya tak bisa melahirkan karya-karya akademik. 

Jika Bustami ingin menampakkan diri menjadi orang yang paling layak dipilih menjadi gubernur Aceh, dekatilah rakyat. Karena rakyatlah yang punya kuasa dalam pada 27 November nanti. 

Mencemooh orang lain tidak sekolah dan bodoh merupakan sikap yang tidak baik. Cemoohan tidak menampakkan kita lebih baik dan lebih pintar dari orang yang kita serang, justru itu menampakkan rasa angkuh dan congkak.

Bagaimana cara merebut hati rakyat jika hati sendiri masih penuh dengan penyakit? Tak perlu sekolah untuk menjawabnya. Berpikirlah!.[]

Penulis: Muhammad Ridwansyah Sebagai Ketua Harian Dewan Pimpinan Pusat Muda Seudang

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda