kip lhok
Beranda / Opini / Cegah Kekerasan Seksual di Lingkungan Pendidikan

Cegah Kekerasan Seksual di Lingkungan Pendidikan

Kamis, 15 Juni 2023 21:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Penulis :
Nelliani

Nelliani, M.Pd, Guru SMA Negeri 3 Seulimeum Aceh Besar. [Foto: for Dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Opini - Akhir-akhir ini berita kekerasan seksual di lingkungan pendidikan semakin sering kita dengar. Tidak hanya di sekolah umum, di sekolah keagamaan juga demikian. Hal tersebut tentu mencoreng nama baik satuan pendidikan itu sendiri. Lembaga pendidikan yang seharusnya menghadirkan kenyamanan dan ramah anak, tanpa disangka menjadi tempat yang rawan terjadinya tindak kejahatan.

Tentu tidak semua, tapi kasus yang mencuat dari beberapa institusi pendidikan (sekolah, pesantren, perguruan tinggi) membuat kita khawatir. Masih adakah tempat aman bagi anak mempersiapkan masa depan?. 

Persoalan ini tidak boleh dibiarkan. Kekerasan seksual pada anak adalah bentuk pelanggaran moral dan hukum yang dapat melukai anak secara fisik, emosional maupun psikologis. Sekolah atau institusi apapun itu, harus mampu memutuskan mata rantai kejahatan ini.

Betapa mengerikan membayangkan anak-anak yang belum mengerti harus menjadi korban perilaku amoral dari sosok yang mereka kenal bahkan mereka hormati. Sebagaimana diberitakan media lokal, seorang guru pesantren di Aceh Besar ditangkap karena menyodomi 5 santrinya yang masih di bawah umur. Di Aceh Utara, oknum guru agama salah satu sekolah dasar melakukan pelecehan seksual terhadap 20 siswanya. Beberapa waktu lalu, kita dihebohkan berita oknum guru pesantren di Bener Meriah mencabuli 5 siswanya. Kasus itu terbongkar karena salah satu korban bersama orang tuanya membuat pengaduan ke Polisi.

Diduga, banyak permasalahan serupa yang tidak terungkap. Kasus kekerasan seksual pada anak ibarat fenomena gunung es. Hanya sedikit yang tampak ke permukaan. Karena korban enggan melapor, malu atau menganggapnya aib yang membuat kasus ini tertutup.

Kekerasan Seksual

Secara umum kekerasan seksual pada anak adalah segala bentuk aktivitas seksual dengan memanfaatkan anak untuk tujuan kesenangan seksual. Dilakukan secara paksa oleh orang dewasa atau oleh anak terhadap anak lainnya. 

Kekerasan seksual bisa terjadi secara fisik, seperti menyentuh area pribadi anak, mencium, memperkosa, sodomi dan sebagainya. Sedangkan secara non fisik, mempertontonkan gambar/video porno, memotret/memvideokan anak dalam keadaan tidak berbusana atau mengucapkan/ mengirimkan kata-kata bermuatan pornografi.

Kekerasan seksual dapat terjadi dimana dan kapan saja. Bahkan di tempat yang tidak pernah kita pikirkan. Pelakunya sulit dikenali karena lihai menyamarkan diri. Wijayanti dalam Melindungi Anak dari Pelecehan Seksual (2019) menyatakan, pelaku biasanya orang yang “mempesona” di lingkungannya, mudah dekat dan menjadi idola anak. Pelaku biasanya sudah memiliki ketertarikan seksual yang menyimpang, yaitu pada anak-anak.

Hal tersebut dikuatkan oleh berbagai riset bahwa pelaku merupakan orang yang dekat dengan korban dan perbuatan itu terjadi di lokasi dimana mereka sering berinteraksi. Di lingkungan pendidikan, sebagaimana kasus yang terungkap, kejahatan ini melibatkan pendidik, tenaga kependidikan atau peserta didik terhadap teman sebayanya.

Penyebabnya dapat dicermati dari beberapa faktor antara lain, pelaku adalah figur yang punya kekuasaan. Dengan kekuasaan itu dia merasa berhak sewenang-wenang termasuk melakukan perbuatan amoral terhadap peserta didik. Besarnya pengaruh yang dimiliki membuat korban tidak berdaya. Ancaman pelaku misal, jika memberitahu pihak lain maka tidak naik kelas, dikeluarkan atau sanksi lainnya membuat korban takut melapor.

Minimnya pendidikan seks dan etika pergaulan menjadi pemicu terjadinya kejahatan seksual. Sebagian orang tua beranggapan mengajarkan pendidikan seksual pada anak adalah tabu. Padahal, pengetahuan tersebut penting agar anak paham apa yang boleh dan tidak boleh diperlihatkan pada orang lain, termasuk melindungi diri dari tindakan yang tidak diinginkan.

Selanjutnya, tidak ada ketegasan hukum terhadap pelaku dan lemahnya perlindungan korban, tidak sedikit kasus yang ditutupi untuk menjaga reputasi dan nama baik serta rendahnya pengawasan lembaga membuka peluang terjadi tindak kejahatan.

Mengingat semakin banyak kasus ini yang muncul ke publik dan mirisnya orang tua terlambat menyadari, maka penting untuk mengenali ciri dan perilaku anak yang berbeda dari biasanya agar dapat membantunya lebih cepat keluar dari pengalaman pahit sekaligus memudahkan pemulihan trauma.

Kemdikbudristek dalam Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekeraan di Sekolah menggambarkan ciri anak yang mengalami kekerasan seksual sebagai petunjuk guru, orang tua serta pihak yang berkepentingan terhadap tumbuh kembang dan pendidikan anak. 

Dari ciri fisik dapat dikenali bila anak mengeluh sakit, gatal, luka atau pendarahan di area genital, sakit di perut, tidak nyaman saat berjalan atau duduk serta mengalami kehamilan. Sedangkan secara perilaku, anak menjadi agresif, menarik diri dari pergaulan, takut ditinggal dengan orang tertentu, mimpi buruk dan membolos sekolah. Dia mengetahui informasi seksual melebihi usianya, melukai diri sendiri bahkan mencoba bunuh diri, mengatakan punya rahasia tapi takut mengungkapkan, serta memiliki banyak uang yang tidak bisa dijelaskan.

Jika anak menunjukkan tanda-tanda tersebut, jangan panik, tetap tenang. Orang tua hanya perlu memberi kenyamanan agar anak mau bercerita dan tidak menyalahkannya. Jika dibutuhkan, berkonsultasi dengan psikolog/psikiater supaya mendapatkan penanganan lebih tepat. Demikian juga, orang tua harus berani melapor ke pihak berwajib untuk mencegah kejadian serupa kembali terulang.

Pencegahan

MendikbudRistek, Nadiem Anwar Makarim pernah mengingatkan tiga dosa besar di dunia pendidikan ,salah satunya yaitu kekerasan seksual. Menurut Nadiem, kekerasan seksual perlu mendapat penanganan serius karena tidak hanya menghambat terwujudnya lingkungan belajar yang baik, tetapi meninggalkan trauma mendalam yang dapat bertahan seumur hidup.

Melansir dari laman Inspektorat Jenderal Kemdikbudristek, 5 upaya dapat dilakukan satuan pendidikan untuk mewujudkan lingkungan bebas kejahatan seksual. 

Pertama, menciptakan lingkungan aman. Lingkungan aman akan menghadirkan kenyamanan peserta didik dalam belajar. Siswa merasa terlindungi. Jika terjadi pelecehan, pihak sekolah tidak menutupi, memberi perlindungan dan jaminan keamanan bagi korban serta mengawal kasus diselesaikan secara hukum. Sekolah perlu membuka layanan pengaduan bila ada praktik kekerasan. Melarang segala bentuk kegiatan yang berpotensi terjadinya tindakan pelecehan. Jika sekolah mampu menciptakan lingkungan aman maka tindakan kekerasan bisa dicegah.

Kedua, pembelajaran seksual (sex education) untuk peserta didik. Pendidikan seksual untuk memberikan pemahaman pentingnya menjaga diri, menghargai tubuh sendiri dan tidak membiarkan orang lain melecehkannya. Pendidikan seksual mengajarkan norma menjalani pergaulan yang sehat. Pelecehan bisa dihindari bila siswa punya etika dan adab dalam bergaul sesuai norma dan aturan agama.

Ketiga, meningkatkan keamanan lembaga pendidikan. Sistem keamanan di satuan pendidikan harus berfungsi dengan baik. Pemasangan CCTV, security, petugas piket, penjaga sekolah serta pengawasan oleh guru di setiap sudut yang memungkinkan terjadinya kejahatan seksual harus dilakukan terus menerus.

Keempat, seleksi guru/tenaga kependidikan secara ketat. Mencegah kekerasan seksual diawali dengan penerimaan tenaga pengajar atau staf sekolah secara ketat. Sekolah harus memastikan setiap guru tidak hanya memiliki kemampuan pedagogik yang baik, tapi  juga punya moral dan berakhlak mulia.

Kelima, menerapkan sanksi berat kepada pelaku. Lembaga pendidikan perlu memberikan sanksi tanpa pilih kasih terhadap pelaku kekerasan. Mulai dari melaporkan pada pihak berwajib hingga pemecatan secara tidak hormat. Jika aturan itu dilaksanakan, besar kemungkinan kekerasan seksual tidak akan terjadi.

Pencegahan kekerasan seksual akan terlaksana jika ada komitmen kuat pihak sekolah serta dukungan orang tua, masyarakat serta pemerintah sebagai pengambil kebijakan. Jangan biarkan ada lagi anak yang menjadi korban. Mari lindungi mereka dengan tidak memberikan tempat tindakan tersebut hadir di lingkungan pendidikan anak-anak kita. [**]

Penulis: Nelliani, M.Pd (Guru SMA Negeri 3 Seulimeum Aceh Besar)

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
Komentar Anda