DIALEKSIS.COM | Opini - Di banyak kesempatan, kita sering sekali mendengar kata “dakwah” seakan-akan cuma soal ceramah, khutbah, atau tabligh akbar di atas panggung. Seolah tugas mulia itu hanya sah dilakukan oleh mereka yang berpakaian gamis, bersorban, dan bersuara lantang dari balik mikrofon. Padahal, kalau kita mau jujur, sejak kapan agama dibatasi ruang geraknya hanya di atas mimbar? Sejak kapan dakwah hanya boleh dilakukan di forum formal yang penuh dengan kata “hadirin sekalian yang saya muliakan”?
Sebagai mahasiswa Fakultas Dakwah, penulis sering berpikir, sebenarnya tugas kita itu cuma mempersiapkan diri jadi penceramah dadakan di pengajian tujuh hari kematian atau benar-benar jadi agen perubahan sosial seperti yang sering dibanggakan dalam visi misi fakultas? Soalnya, realita di kampus lebih sering ngajarin kita cara ceramah yang retoris, lomba khutbah Jumat, atau teknik retorika. Oke lah, itu penting. Tapi umat bukan hanya butuh suara bagus dan dalil panjang lebar, mereka butuh solusi.
Sementara di luar sana, masyarakat berhadapan dengan problematika yang jauh lebih kompleks daripada sekadar perdebatan soal bid’ah atau tidaknya qunut subuh, masalah siapa yang duluan Hari Raya Idul Fitri dan yang belakangan. Masalah pengangguran, kemiskinan, kesehatan mental, ketimpangan pendidikan, dan krisis lingkungan menjadi masalah nyata yang sehari-hari dirasakan oleh masyarakat. Tapi sayangnya, hal-hal kayak gini masih sering dianggap bukan urusan dakwah. Dakwah seakan-akan dibatasi dalam wilayah teks-teks agama tanpa konteks sosial yang jelas.
Banyak yang lupa, dakwah itu lahir dari realitas sosial. Nabi Muhammad SAW pun memulai dakwah bukan dari podium, tapi dari lorong-lorong Makkah, tempat di mana kemiskinan, ketidakadilan, perbudakan, dan ketimpangan sosial jadi pemandangan sehari-hari. Dakwah itu tentang memberdayakan masyarakat, bukan sekadar memberitahu. Tentang merangkul yang terlupakan, bukan cuma menyenangkan mereka yang sudah alim.
Kalau kita baca literatur-literatur dakwah klasik maupun kontemporer, konsep dakwah itu seharusnya bisa menyesuaikan dengan kondisi masyarakat. Dakwah tidak boleh statis dan kaku, apalagi hanya mengikuti template ceramah dari buku panduan Khutbah Jum’at. Khususnya di Banda Aceh, permasalahan sosial yang terjadi tidak bisa diselesaikan hanya dengan ayat dan hadis tanpa aksi nyata.
Contoh kecil, fenomena maraknya anak muda yang melakukan pelanggaran syariat dengan yang bukan mahramnya di beberapa kawasan kota. Selama ini, solusi dakwah yang sering ditawarkan cuma sebatas pengajian, tabligh akbar, atau ceramah motivasi. Padahal, yang dibutuhkan adalah pembinaan peran orang tua, pendampingan psikologis, akses lapangan kerja, lingkungan sosial yang sehat, komunitas yang suportif ataupun kegiatan kepemudaan yang kreatif dan menghasilkan. Itu semua bagian dari dakwah, tapi sayangnya belum banyak disentuh secara serius oleh mahasiswa Fakultas Dakwah.
Ironinya, fakultas dakwah di kampus kita lebih sibuk melatih mahasiswa jadi penceramah ketimbang pendamping masyarakat. Seolah target utama itu bikin alumni yang bisa isi ceramah di bulan Ramadhan, bukan yang bisa advokasi masalah penggusuran warga, atau dampingi korban kekerasan seksual di lingkungan kampus. Padahal, kalau serius dibaca, Islam itu agama praksis sosial. Syariat bukan sekadar soal salat dan puasa, tapi soal menjaga nyawa, akal, keturunan, harta, dan martabat manusia.
Sementara itu, Fakultas Dakwah lebih sering sibuk dengan lomba-lomba khutbah antar mahasiswa, seminar dakwah internasional (yang peserta dan pembicaranya ya itu-itu aja), dan workshop retorika ceramah. Nggak salah sih, tapi kalau itu saja yang jadi fokus, kapan mahasiswa dakwah belajar soal advokasi sosial? Kapan mereka turun ke masyarakat buat melihat langsung problem umat?
Kalau kita berkaca ke era Nabi Muhammad SAW, dakwah itu bukan cuma soal mengajarkan akidah. Tapi juga soal membebaskan budak, melindungi anak yatim, memperjuangkan hak perempuan, dan melawan ketidakadilan. Artinya, dakwah harus hadir di ruang-ruang di mana ketimpangan dan ketidakadilan terjadi. Sayangnya, di kampus kita, hal kayak gini sering dianggap terlalu “aktivis” dan kurang “islami”. Padahal justru di situlah esensi dakwah berada.
Ada juga yang sering dilupain, penguatan fundamental sosial seperti pendidikan, kesehatan, solidaritas sosial, hingga keadilan ekonomi adalah bagian penting dari dakwah. Nggak percaya? Coba buka maqashid syariah. Di situ disebutkan, tujuan hukum Islam itu melindungi agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Nah, gimana mau melindungi jiwa kalau anak-anak muda di kampung mati overdosis? Gimana mau jaga akal kalau pendidikan mahal dan diskriminatif? Gimana mau pelihara keturunan kalau kekerasan seksual makin marak?
Semua itu tugas dakwah. Tapi entah kenapa, di kampus kita, hal-hal kayak gitu dianggap urusan LSM, urusan segelintir orang atau pemerintah yang tidak bisa kita harap. Mahasiswa Fakultas Dakwah sibuk lomba khutbah dan ceramah motivasi, sementara problem sosial di sekitar jalan terus tanpa pendampingan.
Penguatan fundamental sosial bisa dimulai dari hal-hal sederhana. Misalnya, bikin komunitas taman baca di kampung, dampingi ibu-ibu korban KDRT, atau edukasi soal kesehatan mental di kalangan pelajar SMA. Itu semua bentuk dakwah yang sangat dibutuhkan masyarakat hari ini, apalagi di kota-kota kayak Banda Aceh, di mana persoalan sosial bertumpuk di balik label “Serambi Mekkah.”
Kita perlu ingat, dakwah bukan cuma tentang menyampaikan kebenaran, tapi juga memastikan kebenaran itu bisa diakses dan dirasakan oleh masyarakat luas. Dakwah yang ideal bukan yang sekadar menyuruh orang berbuat baik, tapi yang juga menciptakan kondisi sosial di mana kebaikan itu mudah dilakukan.
Jadi, buat teman-teman Fakultas Dakwah, termasuk penulis sendiri, sudah saatnya kita keluar dari zona nyaman ceramah-ceramahan. Dakwah itu soal kerja sosial, soal hadir di ruang-ruang yang butuh keadilan, bukan cuma hadir di acara peringatan Isra' Mi’raj.
Kita harus paham isu sosial, harus jadi penggerak, bukan sekadar penyampai pesan. Karena di luar sana, banyak orang lapar yang butuh makan lebih dulu sebelum diajak ngaji. Banyak orang sakit yang butuh pengobatan sebelum disuruh salat.
Karena kalau dakwah hanya berhenti di mimbar, sementara masyarakat makin miskin, makin terpinggirkan, dan makin kehilangan harapan, Sarjana Fakultas Dakwah dan Komunikasi untuk apa?.[**]
Penulis: Rahmatal Riza (Mahasiswa Pengembangan Masyarakat Islam Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Ar-Raniry)