Minggu, 15 Juni 2025
Beranda / Opini / Dari Gerilya ke Meja Perundingan: Pelajaran dari Konflik Aceh

Dari Gerilya ke Meja Perundingan: Pelajaran dari Konflik Aceh

Sabtu, 14 Juni 2025 08:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Penulis :
Cut Syifa Ul Husna

Cut Syifa Ul Husna, Mahasiswa Program Studi Pengembangan Masyarakat Islam Fakultas Dakwah Dan Komunikasi UIN Ar-Raniry Banda Aceh. [Foto: dokumen untuk dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Opini - Penyelesaian konflik di Aceh lewat Perjanjian Helsinki tahun 2005 jadi titik balik yang sangat penting untuk perdamaian di Indonesia. Setelah puluhan tahun penuh ketegangan dan kekerasan, akhirnya kedua pihak bisa duduk berdiskusi bersama dan mencari jalan keluar lewat dialog dan kesepakatan. Tidak lagi menggunakan senjata yang membuat kerugian kedua belah pihak. Keberhasilan ini jadi bukti bahwa kedua pihak mau saling dengar dan saling menghargai, maka perdamaian itu bisa dicapai.

Dalam proses damai itu, pemerintah Indonesia memberikan otonomi khusus kepada Aceh, yang artinya Aceh punya wewenang lebih luas dari sebelumnya, termasuk dalam mengelola sumber daya alamnya. Sementara itu, pihak Gerakan Aceh Merdeka (GAM) setuju untuk berhenti angkat senjata dan memilih jalur damai demi masa depan yang lebih baik. Ini jadi contoh nyata jika damai bisa mungkin terjadi dengan ruang mediasi dan rekonsiliasi, asal ada niat dan kemauan buat berdiskusi dan berkompromi.

Tapi, perdamaian itu baru langkah awal. Tantangan ke depan justru lebih besar yaitu bagaimana agar perdamaian ini bisa bertahan lama. Pemerintah dan masyarakat Aceh harus bekerja sama untuk membangun ekonomi yang adil, memperbaiki hubungan sosial, dan menegakkan hukum dengan benar. Ini penting agar luka lama dari konflik masa lalu tidak terulang kembali seperti pada masa dulu . Membangun kepercayaan dan rasa kebersamaan menjadi kunci agar perdamaian ini tidak hanya bersifat sementara.

Secara keseluruhan, keberhasilan menyelesaikan konflik di Aceh menunjukkan bahwa kekerasan bukanlah cara yang tepat untuk menyelesaikan sebuah masalah. Dengan menggunakan cara berdialog dan menghargai hak-hak masyarakat, kedamaian dapat diwujudkan. Kisah Aceh ini bisa menjadi sebuah pelajaran kepada daerah-daerah lainnya yang sudah mengalami konflik, bahwa setiap masalah rumit sekalipun dapat diatasi jika ada niat baik dan kesabaran.

Konflik ini merupakan sebuah peristiwa paling menyedihkan dalam sejarah Aceh. Di balik konflik itu, sebenarnya ada keinginan kuat dari rakyat Aceh untuk diakui identitasnya, haknya, dan keadilannya yang selama ini mereka rasa diabaikan. Konflik ini juga menunjukkan betapa kompleksnya hubungan antara politik, budaya, agama, dan keadilan dalam negara yang beragam seperti Indonesia.

Akar dari permasalahan ini sebenarnya berasal dari rasa ketidakadilan yang dirasakan oleh masyarakat Aceh terhadap kebijakan pemerintah pusat, terutama tentang pembagian hasil kekayaan alam, seperti minyak dan gas, yang banyak di Aceh tapi hasilnya tidak banyak dapat dinikmatin oleh masyarakat lokal. Selain ekonomi, faktor budaya, sejarah, dan agama. Sehingga Aceh mempunyai keinginan otonomi lebih besar makin kuat.

Munculnya GAM sebagai bentuk protes terhadap ketidakadilan tersebut. Mereka tidak hanya ingin merdeka dari Indonesia, tapi juga ingin melawan sistem yang mereka anggap menindas. Tapi, perjuangan dengan senjata itu membawa dampak besar seperti banyak infrastruktur rusak, korban jiwa berjatuhan, dan trauma yang sampai sekarang masih dirasakan warga Aceh. Ini dapat menjadi pelajaran untuk kita betapa besar harga yang harus dibayar jika damai tidak segera dicari.

Yang menarik, konflik Aceh akhirnya bisa diselesaikan lewat proses yang panjang, penuh kesabaran, dan niat baik. Perjanjian Helsinki jadi titik terang yang membawa Aceh ke era baru, dengan otonomi khusus dan pengakuan atas hak-hak rakyatnya. Proses ini dapat menunjukkan bahwa konflik tidak harus diselesaikan dengan kekerasan, tetapi bisa melalui dialog dan penghormatan pada hak asasi manusia.

Perjuangan Aceh juga mengajarkan kita bahwa konflik yang muncul karena ketidakadilan sosial dan ekonomi itu tidak bisa dianggap remeh. Pemerintah pusat harus cepat dan peka terhadap aspirasi daerah, supaya gesekan yang merugikan semua pihak bisa dihindari. Di sisi lain, musyawarah dan dialog harus selalu jadi cara utama dalam menyelesaikan sebuah masalah.

Secara lebih luas, konflik Aceh mengingatkan kita soal pentingnya nilai-nilai kemanusiaan. Kemerdekaan dan keadilan bukan hanya soal wilayah atau politik, tetapi tentang menghargai hak hidup, martabat, dan kesejahteraan setiap orang. Menjaga perdamaian dan membangun masa depan yang lebih baik adalah tanggung jawab bersama, baik pemerintah maupun masyarakat.

Jadi, perjuangan Aceh bukan cuma cerita masa lalu yang penuh luka, tapi juga sumber pelajaran dan inspirasi buat kita semua tentang pentingnya keadilan, dialog, dan hidup damai. Kisah ini membuktikan bahwa setiap konflik bisa diselesaikan jika kita mau duduk bersama, saling dengar, dan kerja sama demi kehidupan yang lebih damai dan sejahtera. [**]

Penulis: Cut Syifa Ul Husna (Mahasiswa Program Studi Pengembangan Masyarakat Islam Fakultas Dakwah Dan Komunikasi UIN Ar-Raniry Banda Aceh)

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI