Epistola Buat Wakil Rakyat Aceh
Font: Ukuran: - +
Herman RN Dosen Universitas Syiah Kuala
ACEH tidak pernah kekurangan orang hebat. Sejarah mencatat bahwa diplomat pertama Asia untuk Eropa adalah orang Aceh. Penyumbang emas di puncak monumen nasional (Monas) adalah orang Aceh. Secara kolektif, penyumbang pesawat pertama bagi Indonesia adalah masyarakat Aceh.
Sudah semestinya semua orang Aceh memiliki kesadaran akan hal tersebut. Dalam kondisi kesadaran yang paling tinggi pula, saya coba tulis epistola ini, karena saya merasa masih Aceh. Epistola singkat ini tertuju buat para wakil rakyat Aceh, mulai yang di tingkat kabupaten/kota, provinsi, hingga tingkat pusat.
Sebagaimana diketahui, ada 13 orang hebat yang menjadi wakil rakyat Aceh di tingkat pusat. Mereka dipilih bukan dengan undian. Pada tingkat provinsi, tidak kurang dari 81 orang wakil rakyat Aceh berkantor di Jalan Tgk. Daud Beureueh. Selain itu, tercatat ratusan anggota dewan di tingkat kabupaten/kota seluruh Aceh.
Semua mereka adalah orang-orang hebat yang dipilih oleh rakyat Aceh. Mengutip lirik lagu Iwan Fals, semua wakil rakyat itu dipilih bukan dilotre. Wakil rakyat dipilih bukan untuk menjadi juara diam, jural eeh, juara hahaha, apalagi juara tidur saat sidang soal rakyat.
Selain para anggota legislatif yang merupakan tumpuan harapan suara rakyat, Aceh juga memiliki empat orang anggota dewan perwakilan daerah atau DPD. Mereka dipilih oleh raktat Aceh sebagai perwakilan daerah. Sudah semestinya pada mereka berempat juga tertumpu harapan dan suara rakyat Aceh.
Kita tahu, setiap bulan para wakil rakyat itu melakukan safari ke daerah-daerah, terutama ke daerah pilihan (dapil) masing-masing. Istilah kerennya, reses. Istilah hebatnya, kunjungan kerja (kunker). Setiap kunjungan, mereka mengaku menjaring aspirasi rakyat dan berjanji akan menyampaikan aspirasi tersebut di hadapan para wakil rakyat lain saat sidang.
Harapan dan impian rakyat harus berubah menjadi keluhan. Wakil rakyat lebih berpihak pada program-program yang mereka pikir sendiri. Pada akhirnya, wakil rakyat tersebut lebih menyukai kegiatan-kegiatan yang termaktub dalam pokok pikiran (pokir) karena dananya bisa ‘dicincai’. Tidak heran, pokir-pokir para wakil rakyat lebih banyak dititip pada dinas-dinas daripada bersentuhan langsung pada kebutuhan rakyat yang signifikan.
Lihat saja kasus baru-baru ini. Rencana pokir wakil rakyat Aceh mencuat ke publik. Dari sekian pokir yang terdata, publik dapat melihat seberapa banyak yang benar-benar berpihak kepada rakyat banyak dan seberapa banyak yang difokuskan kepada individu tertentu.
Beginilah realita. Setiap sidang soal rakyat, yang sering digodok program pokir. Sedikit sekali terdengar suara wakil rakyat yang memperjuangkan permintaan dan keluhan rakyat. Sudah rahasia umum, para wakil rakyat masa kini sedang berlomba-lomba menyampaikan pokir, bukan berlomba menyampaikan kebutuhan rakyat.
Terkadang, rakyat disuguhkan berita di media massa tentang berbagai macam lomba, terkadang pula tentang even seremonial seperti jalan santai, sepeda santai, dan entah santai apa lagi. Usut demi usut, ternyata kegiatan-kegiatan tersebut adalah pokir wakil rakyat. Nun di sana, ada sekumpulan rakyat yang tidak membutuhkan jalan santai, tidak memerlukan sepeda santai, karena istilah santai bagi rakyat adalah ketika jalan-jalan berlobang sudah berhasil dirapikan, tatkala lahan-lahan menganggur bisa digarap untuk makan sehari-hari, manakala harga gas, minyak makan, minyak tanah, hingga minyak kendaraan terjangkau dan mudah didapatkan.
Jika diurai satu per satu kebutuhan mendasar rakyat, tentu tidak cukup lembar epistola ini. Akan tetapi, paling tidak, wakil rakyat bisa hadir pada isu-isu yang sedang hangat dan urgen. Katakanlah tentang harga bahan bakar (BBM), bahan pokok sehari-hari, dan gas.
Bagi wakil rakyat yang sedang duduk sebagai anggota dewan terhormat, tentu perkara harga BBM dan bahan pokok tidak menjadi kendala. Harga gas tiga kilo pun tidak penting bagi wakil rakyat karena mereka bisa makan di restoran atau pesan catering. Para wakil rakyat bisa naik mobil dinas hasil uang rakyat. Para wakil rakyat bisa mengisi BBM dari jenis apa pun dan berapa pun, tinggal catat dan remburs. Jika dirasa kurang, bisa diusulkan dalam rapat bahwa wakil rakyat perlu penambahan dana transportasi dan komunikasi. Dalam rapat, tinggal sebutkan kebutuhan penambahan dana transportasi dan komunikasi itu semua demi rakyat.
Pernahkah para wakil rakyat yang terhormat memikirkan bahwa naiknya harga BBM berimbas pada naiknya harga bahan pokok? Bahwa naiknya harga BBM berimbas pada kurangnya aktivitas tukang becak berlalu-lalang karena semakin banyak mereka lalu-lalang mencari penumpang atau angkutan, semakin banyak minyak kendaraan yang dihabiskan?
Pernahkah para wakil rakyat memikirkan bahwa hanya di Aceh terjadi kelangkaan BBM sehingga menimbulkan antrean pada setiap SPBU? Pernahkah para wakil rakyat Aceh membaca berita di media bahwa hanya di Aceh ada program yang sengaja membuat rakyat malu, mencoreng muka sendiri dengan menempelkan stiker ‘rakyat kurang mampu’ pada setiap kendaraan?
Wahai para wakil rakyat Aceh yang terhormat, Anda sudah bersafari ke seluruh pelosok negeri ini. Anda sudah menjejaki kaki dari Sabang hingga Merauke. Coba sebutkan, adakah daerah lain seperti Aceh, yang membuat pembatasan BBM subsidi per hari? Adakah SPBU seperti di Aceh, yang antreannya hingga berkilo-kilometer? Adakah kelangkaan minyak seperti di Aceh, yang pada SPBU tertentu Pertalite dan Solar hanya ada sore, hilang pagi; atau ada hari hari Sabtu hilang di hari Minggu?
Sekarang terjadi pula soal gas 3kg. Harga di pengecer dua kali lipat dari harga yang ditetapkan oleh pemerintah. Mengapa hal ini bisa terjadi? Karena langka tentunya. Apakah para anggota dewan tidak pernah melihat betapa pentingnya gas 3kg bagi rakyat kurang mampu?
Wahai wakil rakyat, bersuaralah dengan lantang, jangan ragu untuk menghadang. Doa rakyat bersama para wakilnya. Apa Anda tidak malu pada emak-emak yang lebih berani turun ke jalan, berteriak untuk rakyat? Apa para wakil rakyat tidak malu pada abang-abang becak yang berkumpul di halaman gedung pemerintah dan gedung dewan untuk menyuarakan aspirasi rakyat?
Manakala para wakil rakyat Aceh bersuara secara kompak, bersatu, satu suara demi Aceh, bukan lagi satu suara demi pokir masing-masing, tentu rakyat Aceh tidak lagi tergolong sebagai rakyat termiskin di Sumatera. Di saat para wakil rakyat Aceh berani bersuara untuk rakyat, di situlah marwah Aceh terangkat.
Tamparan Pusat Terkadang saya berpikir, mengapa Pemerintah Pusat lebih menghargai Papua daripada Aceh sekarang? Dalam kabinet kementerian, ada perwakilan Papua. Wakil menteri juga ada dari Papua. Bahkan, sebagai ‘tamparan’ bagi Aceh, salah seorang wakil menteri dari Papua beberapa waktu lalu bertandang ke Aceh. Alih-alih membawa dan menyerahkan bendera Merah Putih untuk Aceh, sebenarnya Pemerintah Pusat sedang memperlihatkan kepada Aceh bahwa Aceh tidak memiliki perwakilan dalam kabinet kementerian, baik sebagai wakil menteri maupun sebagai menteri. Makanya wakil menteri dari Papua yang dikirim ke Aceh.
Sampai di sini, apakah wakil rakyat Aceh belum paham juga? Sekali lagi, ada 13 orang wakil rakyat Aceh di pusat, ditambah empat orang DPD, apa yang sudah mereka berikan untuk rakyat Aceh? Ada 81 orang wakil rakyat Aceh di DPRA, apa yang sudah mereka ‘kembalikan’ untuk mengganti suara-suara rakyat Aceh yang sudah memilih para nggota dewan terhormat itu? Ada ratusan wakil rakyat tingkat kabupaten/kota, apa yang sudah mereka berikan untuk rakyat di dapil mereka? Berbenahlah wahai wakil rakyat.
Oleh
Herman RN
Berkhidmah pada dunia literasi, mengabdi di Universitas Syiah Kuala