DIALEKSIS.COM | Opini - Pidie, salah satu kabupaten tertua di Aceh, memiliki warisan budaya yang kuat dan terus hidup dalam kehidupan masyarakat hingga hari ini. Di tengah berbagai perubahan sosial dan ekonomi, budaya masyarakat Pidie seperti tradisi peusijuk, seumapa, meuleukan, serta adat perkawinan dan gotong royong masih dipraktikkan secara turun-temurun.
Ini bukan sekadar kebiasaan, melainkan bukti bahwa jati diri masyarakat Pidie tetap kokoh berdiri.Di tengah arus modernisasi dan globalisasi yang deras, masyarakat Pidie di Provinsi Aceh menunjukkan ketangguhan budaya yang patut diapresiasi. Warisan budaya yang mereka miliki bukan hanya sekadar tradisi yang diwariskan turun-temurun, tetapi telah menjadi identitas kolektif yang membentuk karakter, nilai, dan perilaku sosial masyarakat Pidie hingga hari ini.
Fakta bahwa budaya ini masih bertahan merupakan peluang besar untuk menjadikannya sebagai landasan pemberdayaan masyarakat yang berakar pada nilai-nilai lokal.
Sebagai contoh, tradisi peusijuk atau tepung tawar, yang dilakukan dalam setiap momen penting seperti kelahiran, pernikahan, hingga memulai usaha baru, mencerminkan filosofi kebersamaan dan keberkahan. Nilai ini bisa dikembangkan dalam program pemberdayaan berbasis komunitas, seperti koperasi adat atau pelatihan usaha kecil yang dimulai dengan ritual peusijuk sebagai simbol restu bersama.
Selain itu, seni dabus dan syair Aceh yang berkembang di Pidie merupakan kekayaan yang bisa diangkat dalam konteks ekonomi kreatif. Sanggar seni, pertunjukan budaya, hingga pelatihan bagi generasi muda bisa menjadi sarana pemberdayaan yang tidak hanya menjaga tradisi, tetapi juga membuka lapangan kerja dan menumbuhkan rasa bangga terhadap identitas lokal Sudah saatnya kita berhenti melihat budaya hanya sebagai sesuatu yang perlu dilestarikan secara simbolis.
Budaya adalah alat pemberdayaan yang sangat potensial. Ketika pemberdayaan dilakukan dengan pendekatan berbasis budaya lokal, maka masyarakat lebih mudah menerima, memahami, dan terlibat secara aktif.
Tradisi seni seperti Dabus, Rapai, dan Saman bisa dikembangkan menjadi kegiatan ekonomi kreatif berbasis sanggar budaya. Melalui pembinaan dan promosi, seni ini bisa menjadi sumber penghasilan bagi generasi muda tanpa harus meninggalkan nilai-nilai budaya mereka.
Kerajinan bordir khas Pidie, yang banyak ditekuni oleh perempuan, dapat menjadi pilar ekonomi rumah tangga jika didukung dengan pelatihan desain modern dan pemasaran digital. Hal ini bisa menjadi solusi pemberdayaan ekonomi perempuan yang tetap menjaga akar tradisinya.
Kuliner tradisional Pidie seperti keumamah, eungkot kayee, atau manisan rumbia, memiliki potensi pasar luar daerah maupun luar negeri. Jika UMKM lokal diberdayakan dengan teknologi pengemasan dan distribusi, produk ini bisa bersaing di pasar nasional bahkan ekspor.
Uniknya, Pidie tidak bisa dilepaskan dari dua pilar utama masyarakatnya: adat dan syariat. Majelis Adat Aceh (MAA) dan para Imum Mukim masih memiliki peran strategis dalam kehidupan sosial. Program pemberdayaan akan jauh lebih efektif bila melibatkan tokoh adat dan agama sebagai fasilitator perubahan. Mereka bukan hanya dihormati, tetapi memiliki pengaruh langsung terhadap masyarakat.
Pemberdayaan yang berhasil bukanlah yang datang dari luar lalu memaksakan skema, tetapi yang tumbuh dari dalam -- berakar pada nilai, bahasa, simbol, dan tokoh-tokoh lokal yang dipercayai masyarakat. Pidie memiliki semua itu. Menguatkan Masa Depan Lewat Akar Budaya Masyarakat Pidie telah membuktikan bahwa di tengah perubahan zaman, budaya lokal tetap menjadi perekat yang kuat. Ini adalah kekayaan yang tidak ternilai, yang justru harus dijadikan fondasi dalam proses pemberdayaan.
Pemerintah daerah, akademisi, pelaku usaha, dan masyarakat sipil perlu bekerja bersama untuk membangun sistem pemberdayaan yang berbasis budaya.Jika dilakukan dengan pendekatan yang tepat, Pidie tidak hanya akan dikenal sebagai daerah yang kuat dalam adat dan agama, tetapi juga sebagai contoh sukses daerah yang membangun masyarakatnya dari akar budayanya sendiri -- dengan mandiri, bermartabat, dan berkelanjutan. [**]
Penulis: Makbul (mahasiswa Prodi Pengembangan Masyarakat Islam UIN Ar-Raniry Banda Aceh)