Evaluasi Kegagalan Otsus dan Pesan untuk Pemerintah Pusat
Font: Ukuran: - +
[Foto: For Dialeksis]
Sejak diberlakukannya Otonomi Khusus di Aceh dengan terbitnya UU No. 11 tentang Pemerintah Aceh tahun 2006, penerimaan dana Otonomi Khusus Aceh sejak 2008 hingga 2019 sudah mencapai 73, 326 triliun (data BAKN DPR-RI, 2020).
Rencana Induk Otonomi Khusus Aceh bertujuan: (1) Integrasi program pembangunan berdasarkan fungsi pemerintah, pemerintah provinsi serta pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan wilayah, ruang, dan waktu; (2) keterkaitan dan konsistensi pembangunan antara perencanaan, penganggaran dan pelaksanaan, dan (3) pewujudan penggunaan sumber daya secara efektif, efisien, serta berkeadilan dan berkelanjutan.
Salah satu kelemahan yang ada dalam pelaksanaan Otsus adalah tidak terserapnya seluruh anggaran Otsus tiap tahunnya (terdapat SiLPA jumlah dana Otsus yang tinggi tiap tahunnya), yang harus dikembalikan ke pemerintah pusat. Hal ini merupakan poin penting yang perlu digarisbawahi, yang menunjukkan kelemahan Pemerintah Aceh dalam mengelola dana Otsus secara maksimal.
Selama berlakunya Otonomi Khusus di Aceh, Pemerintah Aceh begitu bergantung dengan dana Otsus untuk belanja konsumtif pemerintah (baik provinsi maupun Kabupaten/Kota) seperti belanja pegawai. Hal ini meminimalisir penggunaan dana Otsus untuk pembangunan dan peningkatan kesejahteraan.
Berdasarkan analisis dari Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN DPR-RI) kita dapat mengetahui bahwa, penggunaan dana Otsus masih dominan pada pembangunan infrastruktur dibandingkan untuk bidang-bidang yang lain. Padahal sejak proses rehab-rekon oleh BRR pasca tsunami, tidak sedikit dana infrastruktur yang telah digelontorkan di Aceh.
Dari ketujuh bidang prioritas dana otonomi khusus Aceh, bidang infrastruktur memperoleh porsi yang paling besar dari enam bidang yang lain. Alokasi infrastruktur rata-rata per tahun dari 2014—2018 sebesar Rp3,39 triliun atau 45,34% dari keseluruhan dana Otsus dibelanjakan untuk infrastruktur.
Pemberdayaan ekonomi sebesar Rp798,86 miliar atau 10,57 persen, pengentasan kemiskinan sebesar Rp278,64 miliar atau 3,63 persen, pendidikan sebesar Rp1,69 triliun atau 22,56 persen, sosial sebesar Rp175,28 miliar atau 2,35 persen kesehatan sebesar Rp1,02 triliun atau 13,52 persen dan keistimewaan Aceh sebesar Rp156,77 miliar atau 2,03 persen.
Secara teori ekonomi memang pembangunan infrastruktur seperti jalan dan jembatan, menjadi prasyarat pembangunan yang mendorong berputarnya roda perekonomian. Namun tanpa pembangunan sumberdaya manusia yang masif maka pembangunan infrastruktur akan menjadi tidak berarti.
Selain itu, tersinyalir ada pemborosan dalam belanja infrastruktur seperti bangunan gedung-gedung yang terbengkalai dan tidak tepat guna di beberapa kasus, yang apabila ditilik dari segi efisiensi dapat dikatakan pembangunannya tidak efisien, dipaksakan dan boros anggaran.
Dari segi pembangunan manusia, gedung-gedung perkantoran di tiap-tiap Kabupaten/Kota di Aceh apabila tidak diisi oleh sumberdaya manusia yang kompeten, maka tidak akan memberikan dampak apa-apa bagi kemakmuran rakyat. Wajar saja apabila dana Otsus yang besar yang digelontorkan di Aceh tidak membawa dampak langsung bagi peningkatan kesejahteraan dan kemajuan Aceh.
Problem Kemiskinan
Salah satu poin penting yang luput dari alokasi dana Otsus adalah minimnya alokasi dana Otsus untuk program-program pengentasan kemiskinan. Hanya sekitar 3,63 persen dana Otsus yang dibelanjakan secara khusus untuk pengentasan kemiskinan. Hal ini menunjukkan keadaan yang ironi di tengah fakta bahwa Aceh masih merupakan provinsi termiskin di Sumatera. Harusnya agenda pengentasan kemiskinan menjadi perhatian yang diprioritaskan oleh Pemerintah Aceh.
Naik turunnya angka kemiskinan di Aceh secara statistik tidak terjadi secara signifikan. Bahkan masih mencatat rekor buruk. Hal ini wajar terjadi karena tidak adanya program khusus pengentasan kemiskinan yang diikuti dengan penyediaan anggaran yang cukup untuk menyelesaikan masalah kemiskinan. Kita dapat menilai bahwa beberapa rezim pemerintahan di Aceh menggunakan dana Otsus secara tidak tepat guna, tidak efisien bahkan bisa dikatakan gagal.
Masalah lain yang kita hadapi adalah tingkat pengangguran. Pengangguran yang masih tinggi di Aceh dipengaruhi oleh kenaikan jumlah penduduk usia kerja, banyaknya pekerjaan musiman (informal), rendahnya penyerapan anggaran pemerintah serta rendahnya tingkat pertumbuhan ekonomi yang menyerap tenaga kerja. Jumlah dana Otsus yang besar gagal menumbuhkan perekonomian dan dunia usaha yang dapat menyerap jumlah angkatan kerja dan meminimalisasi jumlah pengangguran.
Catatan Khusus bagi Pemerintah Pusat
Dari kegagalan beberapa era Gubernur Aceh dalam pelaksanaan Otonomi Khusus, harus menjadi catatan khusus bagi pemerintah pusat sebelum berakirnya Otsus di tahun 2027 nanti. Selain memperjuangkan untuk diperpanjangnya pemberlakuan Otsus di Aceh, pemerintah pusat juga perlu memperhatikan bahwa agenda pembangunan Aceh di sisa masa Otsus perlu menitikberartkan pada efisiensi alokasi penggunaan dana yang memang benar-benar menyasar pada isu-isu kesejahteraan.
Di saat berakhirnya masa jabatan Gubernur Nova di tahun ini, pemerintah pusat perlu menunjuk pejabat Gubernur yang dapat memperbaiki kesalahan manajemen tata kelola pemerintahan yang telah berlangsung lama.
Pemerintah pusat perlu memperbaiki kesalahan pengelolaan anggaran, perlu menunjuk pejabat gubernur yang punya basis visi ekonomi yang baik guna menyelesaikan permasalahan ekonomi Aceh yang tak kunjung berkembang sejak pertama kali diberlakukannya Otsus.
Tentu memperbaiki keadaan yang rumit di Aceh tidak mudah. Kita berharap pemerintah pusat punya iktikad baik untuk setidaknya dalam dua tahun hingga 2024 sebelum dilaksanakannya Pilkada, dapat membenahi PR besar Aceh akibat kesalahan tata kelola pemerintahan yang sudah berlangsung lama sejak pertama kali diberlakukannya Otsus.
Oleh: Jabal Ali Husin Sab