kip lhok
Beranda / Opini / Figur Keteladanan Pemimpin Bangsa

Figur Keteladanan Pemimpin Bangsa

Minggu, 28 Januari 2024 11:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Penulis :
Alif Alqausar

Alif Alqausar, Mahasiswa Komunikasi Penyiaran Islam (KPI), Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Ar-Raniry Banda Aceh. [Foto: for Dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Opini - Aspek etika dan keteladanan pemimpin bangsa menjadi salah satu isu menarik dalam narasi kampanye pemilu pada kontestasi pemilihan presiden 2024. Menemukan tokoh teladan dan panutan di masa kini kian sulit karena jejak digital dan kisah masa lalu yang kelam banyak dieksploitasi dengan tujuan menghancurkan karakter oleh lawan politiknya.

Dalam etika politik, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menyatakan, setiap pejabat dan elite politik untuk bersikap jujur, amanah, sportif, siap melayani, berjiwa besar, memiliki keteladanan, rendah hati dan siap mundur apabila terbukti melanggar ketentuannya.

Pemimpin sebagai kepala negara harus menunjukkan keteladanan karena akan menjadi kompas moral yang menjaga konsistensi posisi etis bagi rakyatnya. Berdasarkan kajian antroprologi terkini dari Prof Joel Robbins dari University of Cambridge yang memfokuskan pada “studi antropologi nilai” menjelaskan, kita bisa mengidentifikasi nilai dari suatu masyarakat dengan mencari tahu bagaimana suatu masyarakat membangun sosok suri teladan (moral exemplar).

Dalam sejarah, kita mengenal sosok-sosok pemimpin yang menjadi inspirasi dari berbagai latar belakang. Pada tulisan ini, penulis akan menyuguhkan keteladanan sosok pemimpin dari dunia timur dan barat yang bisa menjadi patokan moral exemplar. Dari mereka, kita mungkin bisa memetik pelajaran berharga. Bahwa kekuasaan yang digenggam tak membuatnya lupa diri dari pertanggungjawaban bagi mereka yang punya etika dan moralitas.

Dalam sejarah Islam, gaya pemerintahan Umar bin Abdul Aziz memang selalu menjadi teladan bagi umat, terutama untuk para pejabat negara dalam memegang amanah sebagai pemimpin rakyat. Sikap zuhud khalifah dari Bani Umayyah ini merupakan teladan yang paling menonjol dan sering disampaikan dalam beberapa kesempatan. Menjadi pejabat tertinggi di pemerintahan justru membuatnya sangat khawatir bersentuhan dengan uang rakyat Yang tidak kalah penting untuk disampaikan di sini adalah sifat zuhudnya. Menjabat sebagai khalifah tidak dijadikan dia sebagai kesempatan untuk menikmati kemewahan fasilitas negara.

Salah satu kisahnya, ketika Umar bin Abdul Aziz menerima anaknya untuk berdiskusi masalah keluarga cukup populer dalam masyarakat Islam. Umar bertanya kepada anaknya apakah masalah yang akan dibicarakan menyangkut negara atau keluarga. Saat anaknya menjawab hendak membicarakan masalah keluarga, Umar mematikan lampu penerangan. Lalu ketika anaknya bertanya kenapa lampu dimatikan, Umar menjawab: “Anakku, lampu itu ayah pakai untuk bekerja sebagai pejabat negara. Lampu itu dibeli dengan uang negara, sedangkan engkau datang ke sini untuk membahas urusan keluarga kita.”

Khalifah Umar bin Abdul Aziz benar-benar sosok yang arif dan bijaksana. Karakter terpuji lain dari Umar bin Abdul Aziz adalah suka mendengarkan petuah dan nasihat kebaikan dari siapa pun. Kisah ini tebersit saat mendengar pengamat politik saat itu Eep Saefulloh Fatah dalam satu wawancara menyampaikan betapa seorang pemimpin diharapkan meninggalkan legasi dengan nama yang terhormat, bermartabat, dan khusnul khatimah. Dia diharapkan dapat memilah hal yang menjadi kepentingan keluarga dengan kemaslahatan masyarakat banyak. Eep menyampaikan, sekiranya hal itu belum disadari, dia berdoa agar sang pemimpin memperoleh hidayah dan menyadari kedudukannya sebagai pemangku amanah masyarakat banyak.

Setiap pemimpin pasti akan dibandingkan dengan pendahulu-pendahulunya, baik dari sisi kebaikan maupun kekurangannya. Di dunia barat kolaborasi antar pemimpin dikenal dengan President Club. Presidents Club ada di Amerika Serikat, di mana mantan presiden duduk bersama membicarakan masalah kebangsaan. Dalam buku The Presidents Club: Inside the World Most Exclusive Fraternity digambarkan bagaimana hubungan kaku dan dingin Presiden Amerika Serikat dan pendahulunya tidak menjadi halangan bagi para tokoh untuk saling berkomunikasi dan saling memberi masukan.

Kenyataan politik kontemporer menyadarkan kita semua. Ego personal elite pemimpin dominan dan mengalahkan kepentingan kebangsaan. Praksis politik bergerak dari satu pengkhianatan ke pengkhianatan lain yang kian menggerus kepercayaan publik pada pemimpin. Praksis politik ditandai dengan gejala kian tersingkirnya etika dan moral. Dan, bangsa ini masuk pada situasi yang menormalkan ketidakwajaran serta hilangnya keteladanan serta tidak satunya lisan dan perbuatan.

Modal integritas dan kapabilitas pemimpin sangat sakral untuk diperhatikan. Perlu disadari, orientasi politik dan eksistensi negara adalah sebagai wadah mewujudkan keadilan, kebajikan, dan kesejahteraan hidup warganya. Dalam proses pengambilan keputusan pada model pembangunan tak hanya menguntungkan elite dengan mengabaikan jeritan masyarakat yang menuntut kesejahteraan. Elite penguasa perlu menyadari bahwa tak ada seorang pun, bahkan anaknya sendiri, yang lebih besar dari kepentingan bangsa. Sikap teladan dibutuhkan agar menjadi wahana pendidikan politik dan pemahaman mencerahkan.

Pemilu 2024 mendatang menjadi pesta demokrasi, seharusnya menjadi momentum bagi kita untuk menghidupkan kembali etika kehidupan berbangsa dan bernegara Pemilu harus dipastikan bermartabat agar siapa pun nanti yang memenangi kontestasi memiliki legitimasi kuat. Mari memilih pemimpin yang orientasi kebijakannya berlandaskan pada kemakmuran, keadilan, dan kecukupan yang berkelanjutan. [*]

Penulis: Alif Alqausar [Mahasiswa Komunikasi Penyiaran Islam (KPI), Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Ar-Raniry Banda Aceh]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
Komentar Anda