DIALEKSIS.COM | Opini - Di Amerika Serikat, partai politik bisa berganti, tetapi arah kebijakan negara tetap konsisten. Sebaliknya di Tiongkok, partai tidak bisa diganti, namun kebijakan negara dapat dengan mudah berubah demi kemakmuran rakyat. Pernyataan ini disampaikan oleh Eric Xun Li, seorang kapitalis ventura sekaligus ilmuwan politik dari Universitas Fudan, Tiongkok. Pemikiran Li menggarisbawahi efektivitas pemerintahan satu partai dalam mendorong pembangunan yang berkelanjutan dan responsif terhadap kebutuhan publik.
Model ini mengingatkan kita pada sistem satu partai yang dianut oleh Partai Komunis Tiongkok sejak dibentuk pada 1922 oleh Mao Zedong, yang mendasarkan ideologinya pada Marxisme. Dalam pandangan Karl Marx, kapitalisme menghasilkan ketimpangan antara kaum kapitalis dan proletar, di mana kaum buruh hidup dalam kemiskinan meski menjadi penggerak utama produksi. Gagasan Marx menolak kepemilikan pribadi atas alat produksi dan mendorong sistem egaliter sebagai solusi atas eksploitasi ekonomi.
Dalam konteks Aceh, wacana pembentukan partai politik tunggal bukanlah hal baru. Gagasan ini sempat muncul dalam proses awal perundingan damai Helsinki antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Indonesia. Saat itu, delegasi GAM mengusulkan pembentukan partai politik lokal tunggal di Aceh, namun usulan tersebut ditolak oleh Pemerintah Indonesia karena dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Sebagai solusi, anggota GAM diizinkan bergabung dengan partai nasional. Namun, delegasi GAM menolak, menyatakan bahwa mereka enggan “menumpang di mobil orang lain” tanpa arah yang berpihak pada kepentingan Aceh.
Mediator perdamaian, Martti Ahtisaari, menunjukkan dukungannya terhadap argumen GAM. Hasilnya adalah lahirnya frase dalam MoU Helsinki yang memungkinkan pembentukan partai politik lokal di Aceh. Hal ini tercermin dalam Butir 1.2.1 MoU Helsinki yang menegaskan bahwa Pemerintah Indonesia akan memfasilitasi pembentukan partai lokal di Aceh, dengan ketentuan sesuai hukum nasional dan hasil konsultasi dengan DPR.
Namun demikian, klausul ini menyisakan dilema. Pertama, partai politik nasional tetap memiliki legitimasi konstitusional untuk beroperasi di Aceh. Kedua, partai lokal diberi ruang sebagai ekspresi khas dari aspirasi politik masyarakat Aceh. Ketentuan ini kemudian diterjemahkan dalam Pasal 75 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), yang tidak secara eksplisit membuka ruang untuk partai politik tunggal di Aceh.
Meski demikian, eks kombatan GAM tetap mendorong pembentukan partai politik yang merepresentasikan perjuangan mereka. Pada 19 Februari 2007, Teungku Malik Mahmud memberi mandat kepada Teungku Yahya Mu’ad untuk membentuk Partai GAM, yang kemudian berubah nama menjadi Partai Aceh. Dalam Pemilu 2009, Partai Aceh keluar sebagai pemenang dengan dukungan mayoritas rakyat Aceh.
Menariknya, euforia politik lokal saat itu mendorong lahirnya berbagai partai lokal lain. Setidaknya, terdapat 13 partai lokal yang terdaftar di Kanwil Depkumham NAD, antara lain Partai Rakyat Aceh, Partai SIRA, Partai Pemersatu Muslimin Aceh, hingga Partai Bersatu Atjeh (PBA). Namun seiring waktu, hanya segelintir yang bertahan dan relevan secara elektoral.
Gagasan partai politik tunggal kembali mengemuka pada tahun 2019 melalui almarhum Kamaruddin Abubakar (Abu Razak) dalam kegiatan pendidikan politik Muda Seudang. Menurutnya, hanya satu partai seharusnya eksis di Aceh untuk memperkuat agenda nasional Aceh secara utuh dan terkoordinasi. Gagasan ini mirip dengan semangat nasionalisme radikal yang diusung oleh Soekarno pada awal kemerdekaan Indonesia, ketika PNI dijadikan kendaraan politik utama untuk mengonsolidasikan kekuatan nasional.
Secara konseptual, ide partai politik tunggal di Aceh bertujuan untuk menyatukan visi politik dalam kerangka Aceh National Interest, mengurangi fragmentasi ideologi, dan meminimalkan konflik internal antar partai lokal. Namun, agar gagasan ini tidak jatuh pada otoritarianisme, perlu dipastikan bahwa partai tunggal tersebut tetap mengedepankan prinsip demokrasi substantif, transparansi, serta akuntabilitas publik.
Merujuk kembali pada model Tiongkok, partai politik tunggal telah mampu mendorong transformasi ekonomi dan peningkatan taraf hidup rakyat secara signifikan. Menurut Fareed Zakaria, sistem otoriter yang adaptif dan pragmatis bisa lebih cepat dalam pengambilan kebijakan strategis dibandingkan sistem demokrasi yang penuh kompromi. Namun Zakaria juga memperingatkan bahwa sistem seperti ini rawan disalahgunakan jika tidak ada mekanisme pengawasan dan partisipasi publik.
Dalam kerangka hukum di Aceh, gagasan ini menuntut revisi Pasal 75 UUPA dan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2007. Revisi ini bertujuan untuk mengatur bahwa masyarakat Aceh hanya membentuk satu partai politik yang menyatukan unsur partai nasional dan lokal, dengan platform perjuangan berbasis Islam, Pancasila, UUD 1945, dan nilai-nilai lokal seperti Qanun Meukuta Alam.
Bila berhasil, partai politik tunggal ini dapat menjadi instrumen legislasi dan eksekusi yang solid dalam memperjuangkan hak-hak Aceh, termasuk; kepastian dana otonomi khusus, pembagian hasil sumber daya alam secara adil, kewenangan lelang blok migas, pengakuan simbol bendera dan lambang daerah, hingga penuntasan isu batas wilayah Aceh yang belum sepenuhnya terealisasi sebagaimana diamanatkan dalam MoU Helsinki.
Selain itu, partai tunggal ini juga diharapkan mampu memperkuat posisi Aceh dalam diplomasi politik nasional dan internasional, sebagaimana pernah dilakukan GAM dalam memperjuangkan isu Aceh di tingkat global.
Gagasan ini sejatinya merupakan upaya intelektual untuk menggali kemungkinan-kemungkinan baru dalam tata kelola politik Aceh. Ia bukan untuk mengekang demokrasi, tetapi justru memformulasikan demokrasi dengan karakter dan identitas lokal.
Sebagaimana dikatakan oleh Benedict Anderson, nasionalisme adalah komunitas yang dibayangkan (imagined community). Maka Aceh juga berhak membayangkan bentuk komunitas politiknya sendiri.
Semoga tulisan ini menjadi refleksi bagi generasi muda Aceh, khususnya yang tengah menekuni ilmu hukum tata negara dan ilmu politik, agar terus berpikir progresif dan tidak berhenti hanya pada narasi "provinsi", tetapi mulai membangun gagasan tentang bentuk pemerintahan sendiri dalam kerangka self-government yang konstitusional. Wallahu a'lam bish-shawab.
Penulis: Muhammad Ridwansyah, Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Sains Cut Nyak Dhien