kip lhok
Beranda / Opini / Idul Fitri, Momen Silaturahmi dan Bernostalgia

Idul Fitri, Momen Silaturahmi dan Bernostalgia

Kamis, 11 April 2024 10:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Penulis :
Alif

Penulis: Alif Alqausar Mahasiswa KPI, Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Ar-Raniry Banda Aceh. Foto: For Dialeksis.com


DIALEKSIS.COM | Opini - Hari raya 1 Syawal Idul Fitri 2024, atau lebaran telah tiba. Saatnya silaturahmi dan bermaafkan, Tindakan ini tidak hanya bermakna religi sebagai sarana penghapus dosa, tetapi juga penting untuk ketenangan dan kesejahteraan jiwa serta kerukunan kehidupan bersama.

 Momen Idul Fitri adalah hari yang ditunggu oleh kaum Muslim di seluruh dunia. Idul Fitri merupakan hari ketika umat Islam berbahagia dan bergembira karena mereka berhasil menyempurnakan ibadah puasa Ramadhan. Idul Fitri merupakan hari besar, yang dimaknai kaum Muslim kembali ke fitrahnya sebagai manusia yang bersih tanpa dosa. Momentum ini diwarnai dengan ibadah shalat Idul Fitri, kemudian bersilaturahmi saling memaafkan, dan juga menjadi ladang amal untuk berbagi kepada sesama manusia. Dari makna Idul Fitri inilah banyak kegiatan, baik ibadah maupun tradisi, dilakukan kaum Muslim.

Tradisi silaturahmi dan saling mengunjungi untuk bermaaf - maafan sesama kaum Muslim atau di beberapa daerah juga diikuti oleh umat agama lain.Tradisi yang jamak dilakukan di banyak daerah di Indonesia ini menggambarkan kuatnya kekeluargaan di masyarakat. Ada yang dilakukan secara bersama, ada pula yang dilakukan hanya di lingkungan tetangga atau keluarga kecil. Di platform media sosial, setiap orang mengunggah postingan ungkapan permintaan maaf sebagai penanda kerendahan hati dan kebesaran jiwa.

Saat silaturahmi biasanya akan ada interaksi personal dan bahkan bisa memancing emosi dan perasaan. Apalagi jika silaturahmi terjadi pada warga atau orang yang sudah lama tak saling ketemu, Lebaran bisa menjadi ajang reuni dan perjumpaan penuh emosi.

Hal ini dilakukan agar aura sosial kehidupan, baik di lingkup interaksi dalam jaringan, (dunia maya) maupun luar jaringan (dunia nyata) dipenuhi oleh benih-benih perdamaian dan kebahagiaan. Pada momen ini, narasi kesantunan ditunjukkan setiap orang berkenaan meminta maaf terlebih dahulu untuk mengikis egoisme kediriannya.

Ajang silaturahmi biasanya juga diisi kegiatan saling berbagi. Untuk yang memiliki rezeki lebih, biasanya ada momen berbagi rezeki kepada kaum yang tidak beruntung atau kepada saudara-saudara serta kerabat sekitar untuk berbagi kebahagiaan.

Silaturahmi dan berkumpul saat Lebaran juga terkadang diisi dengan makan bersama keluarga atau kerabat dekat. Pada momen ini kita bisa menemukan beragam menu khas yang hanya ada saat Lebaran.

Lebaran juga lekat dengan makanan. Dari kue hingga manisan yang membangkitkan nostalgia. Tiap daerah punya kekhasannya, tiap keluarga pun ada memorinya. Mengutip filsuf Jerman, Ernst Cassirer, soal manusia adalah makhluk budaya yang menyukai simbol. Kita menyimbolkan apa-apa yang mewujudkan kesukacitaan hari raya. Dari dulu sampai sekarang, kesukacitaannya tak bisa dipisahkan dari kue

Sastrawan Perancis, Marcel Proust, saat mengunyah madeleine yang sudah lama tak dicicipinya. Kue itu dicelupkan ke dalam teh hangat. Spontan, ia terhanyut dalam ingatan saat neneknya melakukan cara serupa. Memori bekerja ketika kita menikmati kue-kue buatan ibu yang sering terasa lebih enak daripada produk massal.

Dalam kue-kue, termasuk penganan khas Lebaran, penikmatnya tak hanya menikmati kelezatan, tetapi juga nostalgia. Makanan pun menyimpan memori. Kenangan soal masa lalu, entah kerinduan terhadap putri salju, nastar, kastengel, dan lidah kucing buatan nenek atau ibu, mengendap dalam kue lebaran. Kemasan kue-kue pabrikan acap kali lebih cantik, tetapi sensasi saat mengecap kue buatan ibu tercinta taka da duanya.

Beragamnya suku dan budaya di Indonesia membuat kue-kue yang tersaji bisa berbeda di tiap daerah. Di Aceh, misalnya, Banyak kuliner pada masa lampau yang menjadi hidangan saat Lebaran. Selain timphan dan kue seupet, ada juga kue bhoi dan dodoi yang tak kalah lezat dari kue modern.

Namun, pada kenyataannya akhir-akhir ini, kue-kue tradisional tersebut semakin sulit dijumpai di rumah-rumah saat lebaran, terutama kalangan anak muda. Justru, yang lebih mendominasi adalah kue-kue kekinian. Salah satu tantangan pelestarian kue tradisional adalah pada keengganan anak muda untuk memproduksi atau membuatnya. Hal itu tak lepas dari pembuatannya yang terkadang sedikit ribet.

Semoga saja dengan romantisme kenangan masa kecil yang hangat di hari raya, generasi masa kini bersedia menjajaki cara pembuatan yang panjang. Semoga Idul Fitri menjadi momentum yang dimanfaatkan untuk meredakan emosi dan melapangkan dada.Karena sejatinya nilai-nilai yang terkadung saat Idul Fitri harus dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari untuk menegakkan perdamaian.

Penulis: Alif Alqausar Mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI), Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Ar-Raniry Banda Aceh.

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
Komentar Anda