Kearifan Lokal, Pilkada Aceh, Kedamaian dan Kesejukan
Font: Ukuran: - +
Penulis : Zakyyah
Zakyyah, Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala. [Foto: dokpri untuk dialeksis.com]
DIALEKSIS.COM | Opini - Artikel ini berupaya untuk melihat bagaimana sebenarnya kearifan lokal Aceh menjadi penentu kedamaian dan kesejukan di Aceh pasca pilkada 27 November 2024 ini. Apa yang harus dijaga supaya pasca pemilihan pilkada Aceh damai bagi rakyat Aceh dan sekaligus akan berdampak pada kesejahteraan? Apa yang harus dilakukan oleh pemimpin terpilih supaya pilkada Aceh sejuk bagi rakyat Aceh dan berdampak pada kemakmuran rakyat?
Pilkada Aceh secara umum diatur dalam konstitusi menjelaskan bahwa Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 menjelaskan bahwa Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis. Makna frasa pemilihan secara demokratis dipilih langsung oleh rakyat, salah satu upaya menciptakan pemerintahan Aceh yang definitif, yang kuat, yang eligble dan memiliki mandate langsung dari rakyat sebagai penguasa Aceh. Tapi dibalik itu harus ada kearifan lokal supaya tidak terjadi gesekan-gesekan konflik pasca kemenangan kandidat nantinya.
Suara rakyat Aceh harus dijaga supaya digunakan untuk kedaulatan rakyat karena secara hakikat pilkada Aceh merupakan perwujudan bahwa rakyat memiliki kedaulatan, tanggungjawab, hak dan kewajiban secara demokratis untuk memilih pemimpin secara langsung, bebas, rahasia, tanpa intervensi dari pihak manapun.
Salah satu kearifan lokal yang sangat mahsyur di Aceh antara lain: “Adat bak poe teu meurehom, hukum bak syiah kuala, qanun bak putroe phang, reusam bak laksamana”. Pengertian adat bak poe teu meurehom, adat seperti tumpukan awan, konsep ini sama hal dengan kedalaman dan kompleksitas hukum adat tradisional Aceh yang seperti awan yang tebal dan mendalam.
Adat Aceh yang kuat menjadi prinsip hidup rakyat Aceh untuk selalu menjaga keseimbangan antara insan Aceh satu dengan satu lainnya. Adat di Aceh menjadi penuntun rakyat Aceh secara abad ber-abab. Bagaimana para endatu kita menjaga Aceh dari koloniallisme untuk menjadi penguasa di Aceh, namun para indatu rakyat Aceh mengusir mereka, karena pada saat itu kekuatan rakyat Aceh ada pada adat yang kuat. Lazimnya adat Aceh bagaikan adat ngon hukum lagee zat ngon sifeut. Definisi adat dan hukum adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Kekuatan adat bagaikan kekuatan Islam di Aceh, maka rakyat Aceh harus dijaga dari indikasi-indikasi konflik saudara pasca pilkada ini.
Siapapun yang akan menang di Aceh, maka diperumpamakan pemimpin yang terpilih adalah bagian dari kehendak rakyat Aceh. Pemimpin harus mampu merekognisi yang kalah nantinya. Aceh butuh pemimpin yang sejuk sehingga kedamaian rakyat Aceh akan terjaga dengan baik dan hubungan Aceh dengan Jakarta juga terus terjalin dengan semangat membangun Aceh yang sejahtera dan makmur.
Hukum bak syiah kuala, adagium ini merupakan acuan dan prinsip yang diilhami oleh ajaran dan pemikiran ulama besar yakni ulama Syech Abdurauf as-Singkili berkontribusi dalam bidang agama, filsafat, Islam dan pernah menjadi penasihat kerajaan Aceh dan tercatat sebagai penulis yang produktif dikala itu.
Konteks ulama dalam adagium ini pasca pilkada Aceh, ulama-ulama Aceh harus mampu menyejukan tidak ikut sebagai politikus praktis, ulama harus memberikan kedamaian sehingga Aceh sejuk dan nyaman, rakyat Aceh tidak boleh terpolarisasi pasca pilkada Aceh ini, kita harus kembali dalam satu rumah besar yakni Aceh Bermartabat, tidak boleh meruntuhkan rumah besar ini gara-gara kepentingan politik praktis. Aceh harus dijaga oleh ulama-ulama yang tulus dan ikhlas tanpa kepentingan transaksional.
Qanun bak putroe phang, adagium ini menjelaskan bagaimana kodifikasi hukum tradisional Aceh yang diatur oleh Ratu Putroe Phang seorang ratu legendaris Aceh yang mendunia menjadikan qanun bagian dari hukum yang berbasis pada hukum Islam dan adat istiadat. Konteks pilkada Aceh harus kembali juga kepada norma cita-cita Qanun Aceh No. 7 Tahun 2024 yakni sebagai perwujudan hak demokratis, partisipatif dan aspiratif untuk mendapatkan pemimpin Aceh yang legitimasi dan paham MoU Helsinki, sebagai basis utama perdamaian Aceh dan Jakarta.
Reusam bak laksamana, adagium ini dipahami sebagai gambaran kedisiplinan dan kepatuhan yang tinggi terhadap hukum dan peraturan yang ditetapkan oleh seorang laksamana atau panglima laut yang memiliki otoritas tinggi di perairan Aceh. Artinya, pemimpin yang sudah diplenokan oleh KIP Aceh nantinya harus dimaknai sebagai kepemimpinan dan otoritas yang sah. Pemimpin terpilih harus mampu mempertahankan kedamaian dan kestabilan dalam masyarakat, menghormati tradisi dan menjaga fleksibitas rakyat Aceh.
Pemenang Pilkada Aceh: Kedamaian dan Kesejukan
Pemenang Pilkada Aceh harus menjaga dengan hati yang tulus bagaimana merawat kedamaian di Aceh dan kesejukan bagi seluruh rakyat Aceh di 23 kabupaten/kota. Siapapun yang akan menjadi pemenang, rakyat Aceh harus terus berjalan, rakyat Aceh harus segera disejahterakan, memberikan kemakmuran yang seluas-luasnya bagi rakyat Aceh.
Pemimpin terpilih tidak boleh pilah memilah dalam program gubernur ke depannya. Ia harus mampu menaikan angka pertumbuhan ekonomi di atas 5%, menurunkan angka penangguran di Aceh, membuka industrilisasi di Aceh, melanjutkan program tol Aceh dan memindahkan kebagian tengah Aceh sehingga akan terhubung di ke sumatera, membuka pedalaman rakyat Aceh.
Semua program-program di Aceh, pemimpin Aceh terpilih harus membangun dengan prinsip kedamaian dan kesejukan. Rakyat Aceh pasca pilkada 2024 harus segera berdampak, pemimpin tidak boleh bermain mata dengan kepentingan transaksional, ada jutaan rakyat Aceh menunggu program andalan mereka, Aceh harus dihantarkan ke depan pintu kesejahteraan dengan isian kemakmuran.
Perdamaian abadi yang hakikat dan makrifat yang tinggi adalah memperjuang kepentingan rakyat dengan tulus, memberikan kehidupan rakyat Aceh yang ideal, memberikan rumah-rumah kepada rakyat Aceh, memberikan fasilitas umum kepada rakyat Aceh, memberikan kemerdekaan hakiki bagi rakyat Aceh.
Semoga, Wallauhu’alam bishawab. [**]
Penulis: Zakyyah (Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala)