kip lhok
Beranda / Opini / Kedai Kopi Mengantar Aceh Ke Meja Perundingan, Patani ?

Kedai Kopi Mengantar Aceh Ke Meja Perundingan, Patani ?

Kamis, 14 Maret 2019 16:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Tiga mahasiswa Patani yang sedang magang di Aceh. (ki-ka: Muhammadrofee Maming, Buraidah Chelong, Mudasseer Salatasoh).

Aceh terletak di ujung pulau Sumatera, kedua sisinya berbatas langsung dengan Selat Melaka dan Samudera Hindia, makanya secara geografis memiliki potensi maritim yang strategis. Sejarah sudah membuktikan kejayaan dan kegemilangannya dalam perdagangan dunia sejak abad 16. 

Penduduk Aceh 100 persen adalah muslim taat. Selain itu, Aceh mempunyai 13 ethnik yang terbagi 7 ethnik yang besar. Dari keragaman entnik ini melahirkan budaya yang berbeda. Namun walau berbeda budaya, satu satu perkara bagi orang Aceh tetap sama, yakni mematuhi hukum Islam.

Budaya di Aceh konsisten dengan Islam. Kalaulah budaya di Aceh tidak konsisten dengan Islam, budaya itu bukanlah budaya asal Aceh, mungkin budaya itu dari urbanisasi yang tinggal di Aceh.(Nurdin: 2019)

Dalam amatan penulis selama di Aceh, ada salah satu budaya yang menarik, berkenaan dengan budaya minum kopi. Ini salah satu budaya yang terkenal di bumi Aceh. Sebelum budaya minum kopi Eropa masuk dan berkembang di Aceh, orang Aceh sudah mengenal bibit kopi dari orang Arab yang datang ke Aceh untuk berniaga sambil menyebar agama Islam.

Pada saat itu orang-orang Aceh tidak tahu minun kopi, selain belum memeluk Islam, rasa pahit kopi i tidak biasa dengan orang di Asia Tenggara. Oleh karena itu orang barat dianggap sebagai pihak yang membawa budaya minum kopi modern masuk ke tanah Aceh ini .(Usman: 2019)

Pada awalnya budaya minum kopi ala barat belum lagi kembang di Aceh. Di era jaman pemerintahan Belanda, imprialis ini menyuruh penduduk lokal untuk menanam kopi. Namun mereka tidak diijinkan untuk meminumun, mereka hanya boleh menanam tapi tidak boleh menikmati kopi.

Kaum penjajah ini menikmati kopi untuk kalangan mereka sendiri. Namun perlahan lahan orang Aceh pada saat kolonial ini mulai mencoba coba menikmati buah dengan kulit merah ketika masak ini. Ahirnya budaya meminum kapein ini membudaya di tanah palang ujung barat Sumatra ini.

Paska era kolonial, masyarakat Aceh mulai menanam kopi. Pada waktu bersamaan kedai kopi mulai bermunculan di Aceh. Lama kelamaan budaya meminum kopi ini ahirnya menjadi bahagian kehidupan masyarakat. Kopi menjadi minuman yang popular.(Kamaruzzaman : 2019 ). Kedai kopi sudah dijadikan tempat berhimpun rakyat untuk membahas apa saja yang dianggap menarik.

Pada masa konflik Aceh, budaya minum kopi di warung mengalami penurunan. Masyarakat tidak berani keluar untuk duduk berlama lama di kedai kopi. Tembak menembak di kedai kopi juga terjadi. Dampaknya orang Aceh tidak lagi dapat menikmati hidup seperti biasa, yang senantiasa ramai di kedai kopi. Berbagi cerita, membual bersama.

Perdamaian Aceh tidak terlepas dari bual membual di warung kopi. Banyak sumber menyebutkan, ide perdamaian Aceh karena adanya perbincangan di kedai kopi. Makanya setelah perdamaian Aceh di Helsinky, kehidupan masyarakat Aceh dengan memanfaatkan kedai kopi sebagai tempat berinteraksi kembali populer.Kedai kedai kopi di Aceh terus bermunculan, maka muncul sebutan "A thousand of Coffee shop City".

Arus globalisasi dengan tehnologinya merambah bumi Aceh, telah menyebabkan budaya pengisaran kopi tradisionil yang merakyat terkikis dan hilang. Wifi bertaburan, sehingga masing masing penikmat kopi disibukan dengan persoalan sendiri.

Namun masih ada juga kedai kopi yang mempertahankan budaya yang sudah mengakar di rakyat ini. Mereka tidak memasang Wifi, memberikan kesempatan kepada penikmat kopi untuk berinteraksi sesama mereka, berbincang, bercengkrama sambil mengupas berbagai persoalan.

Demikian dengan citarasa kopi Aceh. Kini di kedai kedai sudah menyediakan berbagai citarasa kopi, sehingga rasa kopi yang sudah merakyat sejak dari dulu, citarasa kopi asli tidak lagi popular di kalangan peminum kopi Aceh.

Boleh dikatakan konflik juga menyebabkan beberapa budaya hilang. Kerana konflik menyebabkan orang tidak dapat hidup seperti biasa. Tetapi apabila orang telah berada dalam keadaan konflik berpanjangan, identitas manusia akan ditelan oleh budaya baru yang dibuat oleh manusia. Akibatnya budaya yang sudah mengakar di rakyat tidak ada lagi generasi yang melestarikan dan mempertahankan budaya "purba" sehingga budaya pendahulu itupun berahir.

Patani dengan kedai Teh

Ada catatan sejarah. Apabila timbul konflik di satu kawasan, budaya asal yang telah diamalkan sudah cukup lama perlahan lahan akan memudar. Patani misalnya, juga mengalami nasip yang sama dengan pudarnya budaya itu. Di Patani banyak dengan kedai Teh dan itu dianggap sebagai bagian budaya Patani.

Setiap kampung atau Bandar banyak ditemui kedai teh. Hampir sama seperti di Aceh yang kedainya didominasi kopi. Ada kedai teh dan ada kedai kopi. Kedai teh atau kopi di Patani menjadi tempat himpuni manusia , seperti kalangan anak anak dan remaja untuk berkumpul berbagi cerita.

Tetapi selepas tahun 2004 , konflik pergeseran itu juga terjadi di Patani. Membuat orang Patani tidak lagi berani duduk duduk di warung untuk membuat berbagi cerita. Karena kedai teh atau kedai kopi menjadi sasaran pemerintah, bahkan ada kalanya terjadi penembakan di kedai. Mengakibatkan suasana kedai jauh berubah dari keadaan aman sebelumnya.

Konflik tidak hanya membawa kepada kehilangan nyawa dan harta benda. Tetapi konflik itu juga mengakibatkan beberapa budaya hilang. Kebiasaan yang sudah tumbuh dalam masyarakat hilang tertelan bumi. Konflik telah menorehkan catatan sejarah baru pada budaya.

Saya masih menaruh harapan dan juga masih menyakini bahwa budaya dapat merubah segalanya. Budaya untuk berhimpun, berbagi dan saling berinteraksi di warung kopi (Aceh) dan kedai teh (Patani) dapat menjadi sumber inspirasi dan kekuatan masyarakat untuk bertukar pikiran. Mencari solusi dalam menyelesaikan masalah. Semoga damainya Aceh menjadi damai Patani pula.**: Muhammadrofee Maming. Buraidah Chelong, Mudassar Salatasoh, . Ketiga Mahasiswa Patani sedang magang di Aceh.

Keyword:


Editor :
Bahtiar Gayo

riset-JSI
Komentar Anda