Kehendak Rakyat Aceh: Mualem dan Referendum?
Font: Ukuran: - +
Penulis : Muhammad Ridwansyah
Muhammad Ridwansyah. [Foto: for dialeksis.com]
DIALEKSIS.COM | Opini - Artikel ini adalah pengalaman berharga yang harus saya tuliskan dan persembahkan untuk rakyat Aceh, bahwa kemenangan Teungku H. Muzakir Manaf dan Fadhulullah, S.E., adalah kehendak rakyat Aceh dengan basis suara murni rakyat untuk pemerintahan Aceh ke depannya.
Bagaimana tidak, pemilihan kepala pemerintahan Aceh sepanjang Republik Indonesia ada maka pilkada Aceh 2024 kali ini merupakan wujud kemurnian suara rakyat Aceh itu sendiri. Rakyat Aceh ingin mengembalikan posisi pemerintahan Aceh ke tangan Panglima GAM yakni Muzakir Manaf yang kita kenal sebagai Mualem.
Mualem sebagai pemimpin tinggi Aceh kedua setelah Wali Nanggroe Aceh Teungku Malik Mahmud sebagai pemimpin Aceh utama akan membawa kapal Aceh yang luar biasa ini ke pintu kesejahteraan dan kemakmuran dalam bingkai self-government.
Kedaulatan rakyat dalam konteks pilkada Aceh sejatinya mendudukan kekuasaan kedautalan rakyat kepada Mualem sebagai Kepala Pemerintah Aceh 2025-2030 nantinya. Konsekuensi dari kedaulatan ini bahwa Pemerintah Aceh ke depan dibawah Mualem Dek Fadh harus dilaksanakan sesuai dengan MoU Helsinki dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Aceh.
Kedaulatan rakyat yang akan dilaksanakan oleh Mualem harus ditempatkan sejajar dengan prinsip constitutional democracy yang pada pokoknya demokrasi Aceh berdasarkan atas hukum dan negara hukum yang demokratis.
Ketika berbicara constitutional democracy atau demokrasi konstitusional maka konsep demokrasi positif dalam arti diputuskannya sebagai konsep yang berlaku di sebuah wilayah khusus sesuai Pasal 18B ayat (1) UUD 1945 yang keberadaanya dilegalkan melalui konstitusi negara induk.
Demokrasi konstitusional yang akan dijalankan oleh Mualem sebagai sistem pemerintahan Aceh yang khusus dan istimewa yang menjunjung kedaulatan rakyat dan supremasi hukum. Kedaulatan rakyat yang diamanahkan kepada Mualem harus mampu membawa Aceh sejahtera, makmur, bermartabat, Islami, dan berkelanjutan.
Lalu rumusan pertanyaan besarnya adalah dimana cita-cita referendum yang harus digelorakan? Apakah makna referendum yang Mualem sampaikan pada tahun 2019 lalu? Apakah Aceh harus berpisah dengan Pemerintah Indonesia dalam kekuasaan 6 pokok utama negara induk? atau apa landasan pemikiran Mualem harus kembali kepada cita-cita awal pembentukan Partai Aceh yakni secara teori dapat memerdekakan wilayahnya sendiri dengan referendum legislatif?
Aksi referendum Aceh sudah terjadi pada tahun 1999, tepatnya 8 November 1999 bagaimana perjalanan sejarah referendum Aceh kala itu menjadi salah satu aksi terbesar, ribuan rakyat Aceh hadir untuk menyatakan sikap berpisah dengan Republik Indonesia, keinginan itu didorong oleh ketidakpuasan rakyat Aceh atas ketidakadilan pemerintah pusat yang menggerus Aceh sejak lama, konflik yang berpanjangan, pengambilalihan sumber daya secara terpusat dan perlakuan represif Pemerintah Soeharto. Aspirasi ini muncul secara grassroot dari Panglima GAM Teungku Abdullah Syafi’I dengan beberapa tokoh-tokoh Aceh yang ingin menuntut diadakannya referendum untuk menentukan masa depan Aceh, apakah tetap menjadi bagian dari Indonesia atau merdeka.
Harapan rakyat Aceh adalah mendapatkan hak yang serupa, untuk menentukan nasib sendiri secara damai, meskipun aksi berjalan damai, tuntutan referendum kala itu tidak dikabulkan oleh Pemerintah Pusat. Cita-cita referendum kala itu sudah muncul, rakyat Aceh begelora ingin melakukan perubahan radikal terhadap Aceh, yakni Aceh harus lepas dari NKRI, maka konflik pada tahun 1999 s/d 2005 semakin menjadi-jadi, rakyat Aceh kala itu semakin sedih dan tersisa. Sungguh sangat miris.
Kemudian, publik dikejutkan kembali saat Mualem menyatakan ingin referendum pada saat peringatan ke-9 wafatnya Wali Neugara Aceh Paduka Yang Mulia Tgk. Hasan Di Tiro di Gedung Amel, Banda Aceh. Salah satu alasan Mualem saat itu adalah bahwa posisi Indonesia sudah diambang kehancuran, dan tak lama lagi Indonesia akan kembali dijajah oleh asing, Aceh pun menurut dia lebih baik melakukan referendum seperti Timor Timur. Jakarta pun terkejut, sekelas Wiranto dan Moeldoko meyambut pernyataan Mualem kala itu, Wiranto mengatakan bahwa pernyataan Mualem tersebut akibat kekalahannya di pentas pemilu, Mualem kalah bertanding sebagai Gubernur dan Prabowo yang ia menangkan sebanyak 85% di Aceh dalam kontestan pilpres di Aceh. Namun Moeldoko menyatakan dengan keras bahwa ada resiko yang harus ditanggung Aceh apabila benar-benar memutuskan untuk melakukan referendum. Ujarannya kala itu “Kalau sudah niat dan menuju keluar dari NKRI, risikonya yuridisnya wajib ditanggung”.
Namun selang beberapa minggu kemudian, Mualem menarik pernyataan beliau: bahwa saya menyadari bahwa rakyat Aceh cinta damai dan pro-NKRI. Saya berharap Aceh ke depan harus lebih maju dan membangun Provinsi Aceh dalam bingkai NKRI. Bahwa pernyataan Mualem pada tahun 2019 itu mengembalikan memori rakyat Aceh akan prinsip kemerdekaan adalah hak segala bangsa. Aceh harus kembali kepada prinsip konstitusi tersebut sehingga membangun Aceh harus benar-benar meningkatkan taraf hidup rakyat Aceh itu sendiri. Sejalan dengan pernyataan sikap Mualem tersebut para loyalis terutama KPA kabupaten/kota seluruh Aceh juga siap dengan pernyataan Panglima, begitu juga Partai Aceh. Namun sikap itu tetap atas perintah Mualem sebagai Panglima pengguna operasi di Aceh dan diundurkan demi menjaga Aceh damai.
Aceh harus ‘berpisah’ dengan Pemerintah Indonesia dalam kekuasaan 6 pokok utama negara induk. Ide ini adalah hal mutlak secara yuridis karena Pasal 7 ayat (2) UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Kekuasaan 6 pokok utama itu mengenai politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan urusan tertentu dalam bidang agama. Kemudian, Pasal 7 ayat (3) UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh bahwa Pemerintah Aceh dalam melaksanakan kewenangannya dapat melaksanakan sendiri.
Artinya, Mualem dan Dek Fadh selaku Kepala Pemerintah Aceh dan Wakil Kepala Pemerintah Aceh harus benar-benar menjadi leader untuk rakyat Aceh dan dapat membawa Aceh sesuai visi misi Mualem Dek Fadh dengan pelaksanaan otoritas sendiri. Kekuasaan Mualem sebagai Gubernur sama halnya dengan kekuasaan Perdana Menteri di Pemerintahan Skotlandia yang menerapkan pemerintahan sendiri dengan sistem common law.
Aceh dan Skotlandia memiliki banyak hal persamaan, Skotlandia tidak menggangu kekuasaan negara induk Britania Raya, Skotlandia mandiri menjalankan pemerintahannya dan yang paling penting dalam kekuasaan struktur Skotlandia, jiwa nasional rakyat Skotlandia terus dipupuk oleh kekuasaan otoritas setempat yakni Scottish National Party. Begitu dengan Pemerintah Aceh dapat melaksanakan kewenangannya sendiri dengan kekuasaan orotitas Partai Aceh berserta koalisi pengusung dan pendukung Mualem-Dek Fadh.
Terakhir, basis pemikiran Mualem harus kembali kepada cita-cita awal pembentukan Partai Aceh yakni secara teori dapat memerdekakan wilayahnya sendiri dengan referendum legislatif. Jelas, cita-cita ini kembali tujuan partai politik lokal diciptakan. Cornelis Lay salah satu guru besar ilmu politik Universitas Gadjah Mada, dan pemikir utama di dapur PDIP sudah pernah mewanti-wanti agar tidak disetujuinya pendirian partai politik lokal di Aceh karena ia paham salah satu tujuan yang radikal partai politik lokal adalah mencapai kemerdekaan, partai politik lokal yang memperjuangkan kemerdekaan wilayahnya dan pembentukan negara baru. Khusus untuk Aceh hhal ini dikunci oleh Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2007 tentang Partai Politik Lokal di Aceh.
Semoga. Wallahulam bishawab.
Penulis: Muhammad Ridwansyah (Direktur Isu dan Propaganda Badan Pemenangan Aceh Mualem-Dek Fadh)
- PDA: Kemenangan Muzakir Manaf-Fadhlullah, Bukti Kepercayaan Rakyat
- Ucapkan Selamat kepada Mualem-Dek Fadh, Abuya Mawardi Wali Beri Pesan Bijak
- Tanggapi Klaim Kecurangan Paslon 01, Jubir Mualem-Dek Fadh: Hargai Kerja Keras Penyelenggara dan Aparat
- Mantan Ketua DPR Muhammad Sulaiman: Kemenangan Mualem untuk Semua Masyarakat Aceh