Kemampuan Menghadapi Krisis
Font: Ukuran: - +
Penulis : Jabal Ali Husin Sab
Jabal Ali Husin Sab
DIALEKSIS.COM | Opini - Amerika Serikat di tahun 1930 mengalami gejolak krisis ekonomi besar yang dikenal dengan Great Depression. Tragedi krisis ekonomi ini secara tiba-tiba menghilangkan banyak lapangan kerja dan membuat jutaan orang masuk dalam jurang kemiskinan. Tak lama setelah peristiwa itu, Amerika Serikat masuk dalam kancah Perang Dunia II setelah pangkalan militer AS Pearl Harbour di Hawai, diluluhlantakkan Jepang di tahun 1941. 15 tahun setelah Great Depression di tahun 1945, Amerika Serikat bersama dengan sekutu berhasil menjadi pemenang di Perang Dunia II dan menjadi negara adidaya nomor satu dunia.
Pasca dibombardir dengan bom atom oleh pasukan Amerika Serikat di tahun 1945, Jepang berhasil ditaklukkan. Jepang sebagai sebuah bangsa begitu ambisius untuk menjadi sebuah kekuatan dunia baru pasca Restorasi Meiji, sebuah gerakan sosial politik dan kebudayaan yang merevolusi pandangan dunia Kekaisaran Jepang yang membuka diri pada dunia, menerima kemodernan dan memacu semangat negara untuk berubah dan maju.
Di tahun 1904 setelah Restorasi Meiji, armada militer pasukan Jepang berhasil mengalahkan militer Rusia di Port Arthur. Setelah sederet peristiwa pertempuran, akhirnya di tahun 1905 pada pertempuran Tsushima, Jepang akhirnya mengalahkan Rusia dan menjadi pemenang pada perang antar kedua negara. Jepang praktis menjadi kekuatan dunia baru yang diperhitungkan pasca mengalahkan Kekaisaran Rusia. Ambisi Jepang untuk mendominasi dan menjadi sebuah negara besar makin menggebu-gebu.
Puncaknya ketika Jepang terlibat di Perang Dunia II, namun akhirnya takluk melalui sederet pertempuran di Asia Pasifik dan berakhir lewat bom atom yang dijatuhkan Amerika Serikat di Nagasaki dan Hiroshima pada Agustus 1945.
Kerusakan infrastruktur Nagasaki dan Hiroshima dan jumlah korban jiwa yang mencapai angka jutaan orang tewas ini begitu menghancurkan Jepang sebagai sebuah bangsa. Banyak perwira militer Jepang yang melakukan Harakiri, bunuh diri dengan merobek bagian perut sebagai bentuk kematian terhormat dalam kultur Jepang untuk mempertahankan harga diri.
Jepang kala itu yang luluhlantak dan hancur mampu berjuang untuk bangkit. Di tahun 1970’an Jepang melakukan perubahan ekonomi melalui industrialisasi yang masif. 25 tahun pasca kalah perang, Jepang bergerak maju. Jepang mendorong gerakan industrialisasi yang dahsyat sehingga menjadi pusat industri dan teknologi, khususnya industri manufaktur terkemuka dunia.
Di tahun 1980’an hingga penghujung abad 20, Jepang tak tersaingi sebagai negara industri. Dalam industri manufaktur kendaraan bermotor, mobil-mobil Jepang dengan jenama Toyota, Honda, Mitsubishi, Suzuki, Daihatsu membanjiri pasar otomotif dunia. Jepang menjadi produsen mobil nomor wahid dunia bahkan melampaui Jerman dengan jenama seperti Volkswagen, Mercedes-Benz, BMW dan Audi dan Amerika Serikat dengan Ford dan Chevrolet dalam jumlah angka produksi penjualan mobil di seluruh dunia. Bahkan pasar otomotif di Eropa dan Amerika Serikat sendiri dibanjiri mobil-mobil Jepang.
Belum lagi dengan penjualan mobil dan sepeda motor di negara-negara berkembang yang mayoritasnya didominasi oleh mobil dan sepeda motor Jepang. Jepang juga merajai produksi alat elektronik seperti TV, AC, mesin cuci, komputer dan mesin-mesin lainnya. Kita tentu tak asing dengan jenama seperri Sharp, Sony, Toshiba dan yang sebagainya. Setelah menjadi negara kalah perang di pertengahan abad 20, 50 tahun setelahnya Jepang telah menjadi kekuatan ekonomi dunia.
Dari kasus yang dialami Amerika Serikat dan Jepang, juga negara-negara lain seperti Jerman, juga kekuatan ekonomi baru negara-negara Asia seperti Singapura, Korea dan China, kita dapat mengambil pelajaran bahwa, setelah mengalami krisis, mereka mampu menghadapi krisis dengan baik sehingga mampu bangkit dan melakukan lompatan besar sehingga menjadi lebih kuat dan digdaya dari sebelumnya.
Jika kita melihat pada alur panjang narasi sejarah bangsa-bangsa, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa untuk menjadi bangsa yang besar adalah memiliki kemampuan untuk menghadapi krisis dan mengubah tantangan menjadi peluang.
Menghadapi Krisis dalam Kehidupan
Hal tersebut juga tak jauh beda apabila kita coba melihat dalam perspektif yang lebih mikro, yaitu pada kisah kehidupan manusia. Dalam kehidupan manusia, krisis berupa tantangan hidup dan masalah adalah bagian dari sunnatullah kehidupan, hal yang alamiah dalam hidup manusia. Dengan menghadapi krisis dan masalah, manusia belajar untuk mendayagunakan akal dan kemampuan rasionalnya menjadi sebuah tindakan untuk menghadapi krisis dan tantangan tersebut.
Setelah berhasil melewati krisis, dia bukan lagi dirinya yang dulu. Manusia yang berhasil melalui krisis menjadi manusia yang lebih kuat, tangguh dan berpengalaman. Dengan menghadapi suatu krisis, manusia mampu mengasah kemampuan rasional dan daya kreativitasnya untuk melangkah dan menyelesaikan berbagai persoalan sederhana, bahkan cukup kuat untuk menghadapi krisis dan tantangan yang lebih besar kedepannya.
Tentu terlalu panjang hal yang akan dibahas apabila kita menguraikan kisah-kisah sederet tokoh dunia yang mampu tumbuh, bangkit dan berkembang setelah melewati fase-fase krisis dalam hidupnya.
Apabila kita bercermin pada sejarah kehidupan Nabi Muhammad Saw. Tentu kita akan mampu mengambil hikmah yang cukup besar, salah satunya adalah bagaimana Nabi mampu menghadapi krisis dan tantangan dalam hidupnya, yaitu dalam dakwah menyebarkan Islam, hingga Islam menjadi tersebar dan diterima oleh hampir sebagian penduduk bumi.
Allah SWT. Sendiri mendidik Nabi melalui proses yang dinamakan ta’dib (mengajarkan adab) yang tak terlepas dari mengajarkan Nabi untuk bertindak dalam menghadapi berbagai krisis, tantangan dan permasalahan dalam menyebarkan dakwah Islam. Nabi bersabda di dalam hadist: “addabani rabbi fa ahsana ta’dibi” (Tuhanku telah mendidikku, sehingga terididiklah aku dengan sebaik-baik pendidikan).
Kita tahu bahwa Nabi menghadapi krisis ketika secara terang-terangan menyuarakan dakwah Islam. Beliau mendapatkan penolakan dari warga Makkah, bahkan dari salah satu pamannya sendiri. Nabi mengalami serangan verbal bahkan fisik, namun Nabi dapat melewatinya. Dengan mengandalkan kesabaran, kegigihan dan utamanya adalah berserah diri kepada Allah, akhirnya Nabi berhasil membentuk komunitas muslim di Madinah saat berhijrah. Tak lama setelah itupun, Makkah menjadi wilayah Islam. Hingga akhirnya Islam tersebar dan mejadi agama besar di dunia.
Dari kisah Nabi, juga yang ditunjukkan oleh para sahabat, kita belajar bahwa krisis, tantangan dan masalah adalah sunnatullah, bagian yang tak mungkin dilewatkan dalam kehidupan manusia. Dalam setiap krisis dan masalah, Nabi telah melakukan sejumlah cara dalam merespons berbagai hal. Misalnya dengan bersabar dari cacian, tetap konsisten menyampaikan dakwah, bersandar dan bergantung pada pertolongan Allah sebagai esensi utama sikap seorang muslim, sembari mencari solusi dan alternatif dalam menghadapi krisis, salah satu solusi fundamental yang dilakukan dalam menghadapi krisis kala itu adalah dengan hijrah ke Madinah.
Setelah Islam mampu tumbuh dan berkembang di Madinah dalam tatanan masyarakat yang Islami dan penuh kedamaian, sampai juga masa dimana akhirnya dakwah Nabi diterima penduduk Makkah.
Dari sejumlah cerita yang telah dipaparkan, khususnya bagi generasi muda yang akhir-akhir ini dikaitkan dengan masalah hidup seperti kesehatan mental, krisis dalam fase kehidupan tertentu seperti midlife-crisis dan lainnya, maka sangat penting untuk membentuk mindset bahwa krisis adalah bagian tak terelakkan dalam kehidupan, menghadapi krisis adalah seni menjadi manusia. Bahkan krisis sebenarnya adalah tahap dimana manusia mampu mengeluarkan segala potensi terbaiknya untuk menghadapi apapun dan menjadi manusia yang lebih baik lagi.
Dengan krisis, manusia menjadi dewasa, tangguh dan bijaksana. Hal yang harus ditanamkan bagi setiap generasi muda bahwa; tanpa keberanian menghadapi krisis, kita tak akan menjadi apa-apa.
Penulis : Jabal Ali Husin Sab
Esais, penikmat kajian sejarah, sosial budaya dan keislaman.