Minggu, 12 Oktober 2025
Beranda / Opini / Kepiawaian Politik Mualem: Dari Harmoni ke Aceh Interest

Kepiawaian Politik Mualem: Dari Harmoni ke Aceh Interest

Minggu, 12 Oktober 2025 13:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Penulis :
Aryos Nivada
Mualem. [Foto: Net]

DIALEKSIS.COM | Opini - Di tengah lanskap politik Aceh yang kerap bergelombang antara harapan dan kekecewaan, sosok Muzakir Manaf--akrab disapa Mualem--muncul sebagai figur yang tak hanya menguasai medan, tetapi juga piawai menata ulang arah angin politik demi kepentingan Aceh.

Kepiawaiannya bukan sekadar soal strategi elektoral, melainkan tentang bagaimana merawat harmoni antara Aceh dan Jakarta, antara sejarah dan masa depan, antara simbol dan substansi.

Mualem bukan tipe politisi yang gemar menabuh genderang konflik. Ia memilih jalur harmonisasi--sebuah pendekatan yang memungkinkan negosiasi strategis tanpa kehilangan marwah Aceh. 

Lewat pendekatan ini, Mualem berhasil mempertahankan empat pulau yang sempat terancam lepas dari wilayah Aceh, merintis jalan mengembalikan status tanah wakaf Masjid Raya Baiturrahman, serta membuka jalan lebih pasti revisi Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) agar lebih selaras dengan semangat MoU Helsinki.

Langkah-langkah ini bukan sekadar pencapaian administratif, melainkan simbol dari keberhasilan politik yang berakar pada rekonsiliasi dan diplomasi. Dalam konteks Aceh, ini adalah bentuk baru dari “perjuangan” yang tidak lagi bersenjata, tetapi bersandar pada kecerdasan dan ketekunan.

Salah satu manifestasi dari politik harmonisasi Mualem adalah kemampuannya menggalang kekuatan intelektual lintas kampus dan kalangan profesional. Dewan Ekonomi Aceh dibentuk bukan sebagai etalase akademik, tetapi sebagai laboratorium gagasan untuk menata ulang jalan pemajuan ekonomi Aceh. Di sinilah Mualem menunjukkan bahwa politik tidak harus anti-intelektual; sebaliknya, ia menjadikan para pakar sebagai mitra strategis dalam merumuskan arah kebijakan.

Di ranah birokrasi, Mualem perlahan tapi pasti mengikis sekat-sekat blok politik yang selama ini membelenggu efektivitas pemerintahan. Ia mendorong birokrasi Pemerintah Aceh menuju model yang lebih meritokratis dan responsif terhadap kebutuhan publik. Perubahan ini tidak terjadi secara revolusioner, tetapi melalui proses evolusi yang konsisten dan terukur--sebuah pendekatan yang justru lebih tahan uji.

Jika Irwandi Yusuf dikenal dengan orientasi pelayanan publik, maka Mualem menempatkan dirinya pada spektrum yang lebih luas: kepentingan publik atau Aceh Interest. Dalam bahasa politik Aceh, istilah ini merujuk pada kebijakan yang tidak hanya melayani, tetapi juga melindungi dan memperjuangkan hak-hak kolektif masyarakat Aceh. Kembalinya empat pulau, penguatan status tanah wakaf Baiturrahman, dan revisi UUPA adalah wujud konkret dari Aceh Interest yang diperjuangkan Mualem.

Namun, bukan berarti pelayanan publik diabaikan. Justru Mualem memperluasnya dengan proyek-proyek strategis seperti pembangunan Terowongan Geurutee dan penataan kiblat ekonomi ke Malaysia--langkah yang menunjukkan bahwa Aceh tidak hanya menoleh ke masa lalu, tetapi juga menatap masa depan dengan percaya diri.

Kepiawaian politik Mualem bukan semata soal taktik, tetapi tentang bagaimana menjadikan politik sebagai seni menata harapan. Ia tidak menjanjikan surga, tetapi membuka ruang bagi Aceh untuk berdiri lebih tegak dalam percaturan nasional. Dalam konteks ini, Mualem bukan hanya pemimpin, tetapi juga simbol dari transformasi politik Aceh: dari rimba pergolakan menuju taman rekonsiliasi yang membuka jalan menuju masa hadapan. [**]

Penulis: Aryos Nivada (Pengamat Politik dan Keamanan; Akademisi FISIP USK]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
bank aceh