DIALEKSIS.COM | Opini - Dari Athena, Plato mengisahkan gurunya, Socrates. Sang filsuf menghadapi kematian dengan tenang setelah dipaksa meneguk racun hemlock Conium maculatum, tanaman beracun yang umum di daratan Turki.
Socrates tak membawa pedang, tak menulis manifesto, dan tak memimpin kudeta. Ia hanya bertanya. Namun pertanyaan - pertanyaannya dianggap subversif, berujung pada hukuman mati dari penguasa.
Di dunia yang takut pada keraguan dan perbedaan pikiran, yang tumbuh justru kultus dan fanatisme buta. Socrates mewariskan pemahaman bahwa keraguan dan pertanyaan adalah awal dialektika. Berabad - abad kemudian, sikap ini bergema dalam ucapan René Descartes: dubito, ergo cogito, ergo sum "aku ragu, aku berpikir, maka aku ada".
Socrates tewas bukan oleh senjata, melainkan oleh pikiran yang dianggap membahayakan penguasa zamannya. Pembungkamannya menjadi titik balik pergulatan abadi antara kekuasaan dan sikap kritis.
Kerap terasa kegetiran menyergap mereka yang menulis bukan sekadar untuk bercerita, tapi untuk menggugat dan mengkritik. Jose Rizal, pahlawan Filipina, adalah contoh nyata. Ia menulis novel Noli Me Tangere yang secara realis menggambarkan perlawanan terhadap kolonialisme Spanyol.
Novel yang dianggap "kitab suci" karena membangkitkan kesadaran rakyat Filipina itu menjadikannya bukan hanya pengarang, tapi juga terpidana yang kelak dikenang sebagai tokoh bangsa. Rizal memilih bersuara lantang dan membayar harga tertinggi: nyawanya.
Di era modern, kisah serupa terulang dalam wujud berbeda. Liu Xiaobo, penyair dan aktivis Tiongkok, tak mengangkat senjata atau menghasut kerusuhan. Ia hanya menulis tentang demokrasi dan kebebasan.
Kritik tajamnya cukup untuk memenjarakannya. Liu kemudian dibebaskan bersyarat karena alasan medis kanker yang menggerogoti tubuhnya perlahan. Ia wafat pada 2017. Dunia menganugerahinya Nobel Perdamaian, sementara negaranya memberinya penjara dan keterasingan.
Fenomena ini bukan kebetulan. Dalam pemerintahan otoriter, fasis, atau kolonial yang menindas, kontrol atas bahasa dan narasi menjadi instrumen utama kekuasaan. Ini bukan sekadar upaya mengekang tindakan, tapi juga mengatur cara berpikir dan berkomunikasi masyarakat.
Michel Foucault, filsuf Prancis, mengingatkan: kekuasaan tak hanya memaksa dari atas, tapi juga menyusup dalam wacana—menentukan apa yang boleh diucapkan, siapa yang berhak bicara, dan bagaimana kebenaran dibentuk.
Melalui Alegori
Di era keterbukaan global sekalipun meski banyak diktator telah lengser kebebasan berpendapat kerap sulit pulih sepenuhnya. Bahaya laten otoritarianisme masih menghantui rezim yang menekan oposan, mengkritik sensor bahasa dan pikiran.
Sejarah bisa menjadi cermin masa depan. Jalan menuju sensor ketat atas bahasa dan pikiran kian terasa, bukan karena munculnya diktator yang terang-terangan menindas, melainkan karena rasa takut hal manusiawi bagi penulis tanpa "beking" jaminan keselamatan.
Menulis di banyak negara bahkan yang disebut paling demokratis kini kerap menghadapi sensor media sosial yang berujung delik, atau opini media yang dianggap ancaman. Tak jarang penulis mengalami intimidasi melalui tindakan surat kaleng ancaman anonim, atau "kecelakaan" misterius di jalanan. Kebebasan berpendapat yang semestinya hak fundamental kini bagai bunga plastik: tampak cantik tapi hampa, ada namun tak bernyawa.
Menulis dengan pertimbangan "keselamatan hidup" bukan bentuk ketundukan atau kelemahan, melainkan kewaspadaan agar tak terjebak kenaifan dan gagal membaca realitas politik. Dalam situasi seperti ini, penulis dituntut kecerdikan dan kreativitas tinggi—tanpa konfrontasi langsung yang menggoyang fondasi penindasan.
Menulis secara alegoris, simbolis, atau dengan sindiran halus menjadi strategi bertahan sekaligus menabur benih perubahan. Alegori dan metafora adalah bahasa rahasia yang mampu menyusup ke ruang publik tanpa mudah dideteksi penguasa paranoid.
Sejarah membuktikan, selalu ada upaya menulis di balik bayang ketakutan. Melalui sastra, kata-kata diselundupkan, berpindah-pindah, lalu muncul menyentuh pikiran dan jiwa menjadi abadi, melampaui waktu dan kekuasaan fana yang silih berganti.
Kekuatan alegori terlihat pada karya Albert Camus, sastrawan Prancis. Dalam The Plague (La Peste), ia menggambarkan wabah misterius di Kota Oran tanpa menyebut nama diktator atau rezim fasis seperti Hitler atau Vichy.
Camus hanya melukiskan tikus-tikus pembawa sampar yang menyusup di balik tembok rumah warga. Tokoh utamanya, Dr. Rieux, bukan revolusioner bersenjata, melainkan dokter yang bertahan merawat kehidupan.
Selain Camus, ada George Orwell dari Inggris. Dalam *1984*, ia memperingatkan bahaya kekuasaan yang menyensor pikiran dan bahasa. Dengan gaya satiris penuh ironi, Orwell menciptakan "Kementerian Kebenaran" yang justru mempreteli bahasa dan menghapus kata "kebebasan", serta "Kementerian Cinta" yang menyiksa dan memaksa pengakuan palsu.
Secara tak langsung, Camus dan Orwell menyampaikan pesan: menulis tak selalu harus kontradiktif dan heroik. Kritik melalui jembatan alegori dengan nuansa melankolis atau kepedihan hidup bukan gaya maskulin justru menjadi saksi bisu zaman sekaligus pemantik perubahan saat waktunya tiba. Inilah yang disebut Steven Pinker, psikolog kognitif, sebagai "ledakan empati" dalam The Better Angels of Our Nature.
Pinker berargumen bahwa novel dan fiksi berperan penting menumbuhkan kepedulian terhadap penderitaan sesama. Banjirnya karya sastra di Eropa kala itu mendorong perubahan sosial - politik sehingga terjadi penghapusan hukuman kejam, pengakuan HAM, dan abolisi perbudakan.
Karena itu, menulis adalah tindakan politik kompleks, dan tulisan menjadi gangguan potensial bagi kekuasaan. Penulis bukan sekadar perangkai kata pemberi informasi, melainkan pengacau tatanan, pemantik kesadaran, penjaga kebebasan berpikir, dan pelestari ingatan kolektif. Di banyak negeri, pengkritik terus diganggu dan dibungkam—tapi tak pernah lenyap. Sebab tulisan, sekali lahir, tak pernah benar-benar mati.
Penulis: Akhsanul Khalis, Direktur Bidang Politik dan Kebijakan Publik, Lembaga ESGE Study Center dan Alumni Ilmu Politik Fisip USK dan Magister Administrasi Publik UGM