Selasa, 22 April 2025
Beranda / Opini / Ketika Pembangunan Dianggap Haram dan Kemiskinan Serasa Jadi Takdir

Ketika Pembangunan Dianggap Haram dan Kemiskinan Serasa Jadi Takdir

Sabtu, 19 April 2025 09:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Penulis :
Teuku Alvi Hadyatul Rahmat

Ilustrasi kemiskinan. [Foto: BeritaBeta]


DIALEKSIS.COM | Opini -  Aceh, negeri yang dijuluki Serambi Mekkah, menyimpan ironi pahit, syariat Islam ditegakkan dengan ketat, tetapi kemiskinan dibiarkan merajalela. Di sini, warung kopi lebih mudah ditemukan daripada pabrik, dan pengemis lebih banyak daripada investor. Rakyat diajari menghindari riba, tetapi tidak diajari cara menghindari kelaparan. Pemerintah sibuk mengatur panjang jilbab, tetapi abai terhadap panjang antrean pengangguran.

Di Aceh, makanan haram dikecam habis-habisan, tapi kebijakan yang menghambat pembangunan seolah dibiarkan menjadi bagian dari keseharian. Investor asing? Diusir. Proyek nasional? Ditolak. Masyarakat miskin? Biarkan saja. Syariat kerap dijadikan tameng, tapi substansi keadilan sosial yang harusnya diperjuangkan justru tersingkir oleh kepentingan segelintir elite. Inilah ironi negeri Serambi Mekkah, lebih mudah mengurus halal-haram kuliner ketimbang halal-haramnya kesejahteraan rakyat.

Di Aceh, haram bukan hanya perkara makanan. Bahkan upaya pembangunan dan perbaikan ekonomi pun seolah harus melewati sidang istimewa moralitas. Ambil contoh Kilang Arun di Lhokseumawe. Membiarkan kilang yang telah menghasilkan APBN triliunan untuk daerah dan negara, kini sudah berkarat, mungkin karena lebih terasa halal. ExxonMobil kabur, Pertamina angkat tangan, dan ribuan pekerja kehilangan mata pencaharian. Alasannya? "Bagi hasil tidak adil," kata pemerintah Aceh. Tentu, keadilan dalam pembagian hasil adalah prinsip dasar yang harus ditegakkan. Tapi bahkan jika kesepakatan baru bisa diraih, apakah mentalitas kita sudah siap menerima pembangunan sebagai jalan keluar dari kemiskinan struktural? Atau justru kita lebih nyaman menjadi penonton di panggung investasi, sambil berpegang pada prinsip-prinsip yang hanya menjamin status quo?

Fasilitas megah, jalan lebar, tapi sepi dari geliat industri. Beberapa orang menyebut cadangan gas sudah hampir menipis. Tapi bukankah seharusnya kawasan industri tidak hanya bergantung pada satu komoditas? Apalagi, potensi transformasi fasilitas itu menjadi terminal logistik atau pusat energi alternatif belum juga terwujud. Masih segar dalam ingatan, semburan api yang indah dan menawan, disertai sedikit aroma gas yang dikeluarkan dari cerobong pabrik, kini hanya menjadi cerita legendaris warga setempat, yang saat ini mungkin sedang merantau keluar negeri karena tidak ada pekerjaan di tanah sendiri.

Data BPS Aceh (2023) menunjukkan, Lhokseumawe, kota yang seharusnya makmur dari kilang ini masih menyandang angka pengangguran tertinggi di Aceh (8,5%). Tapi memang sih, sepertinya lebih mudah membahas kuliner haram daripada membahas tentang produktifitas dan kualitas hidup masyarakat.

Jika kegagalan Kilang Arun adalah cerita tentang sumber daya yang terbuang, maka penolakan geothermal di Gayo Lues adalah kisah tentang peluang yang sengaja ditolak.

Di Gayo Lues, Aceh menolak panas bumi sumber energi bersih bernilai triliun dengan alasan "menjaga alam". Ironisnya, penolakan ini justru memaksa warga bergantung pada generator solar yang mencemari udara. Kita semua mungkin sama-sama setuju, apabila lingkungan harus dijaga, itu tak terbantahkan. Tapi apakah membiarkan masyarakat tetap mengandalkan genset berbahan bakar solar adalah pilihan yang lebih ramah lingkungan? Jika memang hutan adalah harga mati, maka diskusi harus dibuka: mana solusi energi terbaik yang tidak menyandera masa depan masyarakat pedalaman?

Atau barangkali, romantisme mempertahankan status quo lebih diprioritaskan, sementara produktivitas masyarakat dibiarkan meredup bagai cahaya lilin. Padahal, studi LPEM UI (2023) membuktikan, proyek geothermal ini bisa menyerap 2.300 tenaga kerja dan mengurangi biaya listrik hingga 40%. Tapi, sekali lagi, "mengharamkan" kemajuan sepertinya lebih mudah daripada memberantas mentalitas korup yang menggerogoti dana desa.

Aceh memang unik, di Gayo Lues, listrik bersih ditolak demi 'alam lestari', sementara di Singkil, pembangunan dicanangkan dengan jargon 'ekonomi hijau'. Nyatanya, yang lestari hanya kemiskinan, dan yang hijau hanya warna dokumen MoU yang mlai pudar.

Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Singkil-Subulussalam, proyek fantastis digadang-gadang bernilai Rp20 triliun yang dijanjikan akan mengubah Aceh menjadi "Dubai baru". Investor Dubai datang, MoU ditandatangani, pesta digelar, tapi yang dibangun? Nihil. Rakyat Singkil hanya dapat cerita, sementara jalan menuju pasar tetap berlubang.

Mungkin KEK yang di maksud tuh Kawasan Ekonomi Kegagalan kali ya, bukan malah Kawasan Ekonomi Khusus. Padahal, Bappenas mencatat, Aceh Singkil adalah salah satu daerah termiskin di Sumatra, dengan 28% penduduk hidup di bawah garis kemiskinan. Tapi, sekali lagi, lebih mudah menyalahkan investor "yang tidak paham Aceh" daripada mengakui bahwa masalah terbesar adalah tata kelola yang amburadul.

Ironi sekali, Aceh menjalankan syariat Islam dengan ketat, tetapi lupa bahwa membiarkan rakyat sengsara itu lebih merugikan daripada larangan yang bersifat pribadi. Sebab ini menyangkut hak dasar rakyat: hidup layak dan bermartabat. Kilang Arun mati, geothermal ditolak, KEK jadi fantasi, semua karena ego politik dan mentalitas-mentalitas "takut kemajuan". Masyarakat miskin? Dibungkus dengan dalih "kesabaran bagian dari iman." Sementara elite politik sibuk berdebat halal-haramnya hiburan, jalan-jalan di pedesaan tetap berlubang, listrik padam bergantian, dan anak muda merantau karena tak ada lapangan kerja. "Syariat untuk rakyat, atau syariat untuk melanggengkan kekuasaan?"

Rakyat Aceh tidak butuh belas kasihan, tapi keberanian pemerintah mengubah paradigma, menciptakan kehidupan yang layak dan bermartabat. Sebagai penulis, saya tidak bermaksud meminta babi dilegalkan, saya hanya minta pembangunan, kesejahteraan dan kemajuan dihalalkan. Jika elite politik masih sibuk berdebat hal-haram investasi, sementara rakyat antri beras bantuan, maka Aceh akan tetap menjadi Serambi Mekkah yang pintunya tertutup untuk kemajuan.

Pertanyaannya, Berapa lama lagi Aceh akan terjebak dalam lingkaran kegagalan ini? Dan kapan kita akan sadar bahwa "haram" sebenarnya bukan pada investasi, tapi pada kebijakan yang membunuh masa depan anak cucu kita sendiri? Mungkin jawabannya terletak pada keberanian mengubah paradigma, dari menolak investor menjadi mengelola investasi dengan transparansi. [**]

Disclaimer: 'Haram' disini bukan soal agama, tapi metafora untuk kebijakan yang merugikan rakyat Aceh itu sendiri.

Penulis: Teuku Alvi Hadyatul Rahmat (Mahasiswa Ekonomi UIN Ar-Raniry Banda Aceh)

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
dinsos
inspektorat
koperasi
disbudpar