kip lhok
Beranda / Opini / Ketika Suara Rakyat Ingin Dibeli

Ketika Suara Rakyat Ingin Dibeli

Kamis, 04 Januari 2024 20:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Penulis :
Sofyannur

Sofyannur, M.Sos. [Foto: for Dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Opini - Memasuki tahun politik di tahun 2024 ini, hal yang paling mudah dilihat, yakni semakin bertambah banyaknya kebaikan dari para calon pemimpin bangsa kepada rakyat. Lewat pamflet, gambar-gambar, baliho yang dipasang dipinggir-pinggir jalan atau tempat-tempat strategis. Mereka menawarkan diri agar dipilih sebagai calon wakil rakyat pada pemilu legislatif dan atau presiden yang sebentar lagi akan datang.

Selain melalui media tersebut, para calon juga menggunakan media lain seperti televisi, media sosial (Facebook, Instagram, Tiktok). Bahkan juga secara langsung mengadakan kunjungan ke daerah-daerah calon pemilih. Sedemikian banyak jumlah calon itu, semuanya mendatangi warga masyarakat. Sudah barang tentu, berbagai strategi, penunjukkan sukarelawan, atau disebut sebagai tim sukses semua digerakkan secara maksimal.

Itulah sebabnya, menjadi calon wakil rakyat tidak mudah dan juga sekaligus tidak murah. Bagi orang yang tidak punya modal cukup, kiranya tidak akan mampu berkompetisi memperebutkan simpati rakyat. Dulu ketika masing-masing partai politik masih menyandang ideologi yang jelas dan berbeda dari partai politik lainnya, masyarakat bisa digerakkan melalui kekuatan ideologi itu. Para pendukungnya dengan suka rela dan bahkan bersedia berkorban ikut berjuang memenangkan calon wakil rakyat tersebut. 

Pada saat sekarang, keadaannya sudah berbalik. Para pemilih merasa dimanjakan. Rakyat sudah semakin tahu, bahwa berpolitik juga terkait dengan ekonomi. Dahulu ideologi dan politik menyatu. Dalam suasana seperti itu, rakyat mau berkorban untuk tokoh politik yang didukungnya. Namun berbeda dengan dulu, sekarang ini terasa sekali bahwa ekonomi dan politik yang sedang berjalan beriringan. karena itu, konsep berjuang juga berubah menjadi bertransaksi. Tatkala harus memilih seseorang sebagai calon wakilnya, maka pertanyaan yang harus dijawab secara jelas terlebih dahulu yaitu mereka akan mendapatkan apa dan berapa. Dan bahkan rakyat meminta suaranya untuk dibeli. 

Wajah perpolitikan bangsa ini sepertinya menuju masa kritis dalam demokrasi. Para calon wakil rakyat masih mencari-cari dan bahkan memperebutkan dengan berbagai cara mendapatkan suara rakyat. Padahal semestinya rakyat yang mencari siapa yang layak diidolakan untuk mewakilinya. Keadaan berbalik seperti itu, tentu tidak sehat. Manakala kondisi itu diteruskan, maka bangsa ini akan semakin jauh dari tujuan yang ingin diraih. Proses politik seperti itu, tidak akan menghasilkan pemimpin atau wakil yang berkualitas, melainkan akan jatuh kepada siapa saja yang memiliki uang.

Akibatnya Rakyat tidak menjadi suara Tuhan, tapi seperti sapi perah yang diperjualbelikan. Sebagai komoditas, terserah mau dijual kemana tergantung siapa pemiliknya. Toh suaranya juga sudah dijual. 

Sebagai pembelajaran politik, maka seharusnya politik tidak hanya diserahkan hanya kepada rakyat. Akan tetapi elit dan calon wakil rakyat harus mencerdaskan apa makna dan esensi politik yang sebenarnya, sehingga politik tidak hanya menjadi transaksi yang ujungnya menimbulkan korupsi, kolusi, nepotisme (KKN) dalam berdemokrasi. [**]

Penulis: Sofyannur, M.Sos (Fungsionaris KAHMI Aceh Timur)

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
Komentar Anda