kip lhok
Beranda / Opini / Kewenangan Pengelolaan Hutan Aceh Tinggal Nama

Kewenangan Pengelolaan Hutan Aceh Tinggal Nama

Sabtu, 16 September 2023 18:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Penulis :
Dedy Fitriandi

Dedy Fitriandi, S.Hut., M.Sc, Analis kerjasama Kehutanan KPH Wilayah III Aceh. [Foto: for Dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Opini - MoU Helsinki adalah sebuah peristiwa sosial politik, yang mengawali babak baru hubungan Aceh dan Indonesia. Dalam perundingan tersebut, kedua belah sepakat untuk duduk bersama, membicarakan jalan terbaik untuk menyelesaikan konflik yang telah terjadi selama bertahun-tahun yang telah merenggut nyawa ribuan manusia. 

Pada akhirnya, GAM sepakat untuk tetap berada dalam bingkai NKRI, namun sebagai kompensasinya, Indonesia memberikan sejumlah kewenangan bagi Aceh untuk mengatur dirinya sendiri dalam bidang pemerintahan, sosial budaya serta sumberdaya alam. Kemandirian dan kewenangan yang di dapat Aceh dalam mengatur SDA-nya bertujuan agar terjadi percepatan pembangunan ekonomi, membuka lapangan kerja serta peningkatan taraf hidup masyarakat.

Sebagai bentuk keseriusan kedua belah pihak untuk memulai babak baru perdamaian, maka  disusun dan diterbitkanlah UU Nomor 11 tahun 2006 Tentang Pemerintah Aceh

Undang undang ini pada dasarnya berisi tentang kewenangan yang dimiliki Aceh. Kewenangan tersebut, hanya berlaku dan diberikan kepada Provinsi Aceh. Oleh karena itu, sifat undang-undang ini adalah lex specialis derogat lex generalis atau maknanya hukum yang bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex generalis)”.

UU Nomor 11 tahun 2006, pada pasal 156 ayat 1, 2 & 3, intinya menyatakan bahwa bidang kehutanan adalah salah satu bidang yang wewenang pengelolaan sumber daya alam nya diberikan kepada Pemerintah Aceh. Atas dasar ini, maka muncul lah turunan aturan hukumnya yaitu Qanun Nomor 7 tahun 2016 tentang Kehutanan Aceh

Qanun ini mengatur lebih detail tentang hal-hal teknis terkait pengelolaan sumberdaya hutan Aceh. Salah satu poin penting dalam qanun tersebut adalah pasal 53 yang berisi tentang adanya bentuk Kerjasama Pengelolaan Hutan yang bertujuan untuk mengoptimalkan pengelolaan hutan serta pemberdayaan masyarakat disekitar kawasan hutan. Pasal 53 ini menjadi dasar semua Perjanjian Kerjasama Pengelolaan Hutan yang dilakukan di Provinsi Aceh.

Kerjasama pengelolaan hutan ini memberikan dampak yang sangat signifikan dalam menggenjot Penerimaan Asli Aceh (PAA) & PAD (kabupaten) . Disamping itu, masyarakat desa yang ingin berpartispasi dalam mengelola hutan secara lestari, sangat terbantukan dengan adanya mekanisme Kerjasama Pengelolaan Hutan ini. Hal ini dikarenakan proses pengurusan izin yang mudah, cepat dan simpel, yaitu hanya di lakukan di Kantor Kesatuan Pengelolaan Hutan yang ada di beberapa kabupaten di Aceh. Bandingkan dengan mekanisme pengelolaan hutan versi Kementerian Lingkungan Hidup & Kehutanan (KLHK) yang proses pengurusan izinnya hingga ke Jakarta dan memakan waktu yang panjang, bahkan hingga 2 tahun. 

Kekisruhan pengelolaan hutan di Aceh mulai terjadi pasca terbitnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Undang-undang ini memicu munculnya berbagai turunan produk hukum di bidang kehutanan yaitu berupa Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup & Kehutanan, Peraturan Dirjen dan juga Surat Edaran. Semua aturan ini, sejatinya dikeluarkan secara umum bagi panduan pengelolaan hutan di Indonesia. Namun, pemerintah pusat lupa (atau pura-pura lupa) bahwa Provinsi Aceh mempunyai kekhususan dalam hal kewenangan pengelolaan hutan , yang sifatnya Lex Specialis , yang kewenangannya merupakan bagian dari proses perdamaian. 

Jika dilihat, semua produk hukum kehutanan yang merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, mengebiri hampir semua kewenangan Aceh dalam hal pengelolaan hutan. Salah satunya adalah tidak diperbolehkannya pengelolaan hutan dilakukan dengan Kerjasama Pengelolaan Hutan versi Qanun nomor 7 tahun 2016. Hal yang lebih menyakitkan lagi, kewenangan-kewenangan krusial lainnya juga dicabut....Menyakitkan..!

Yang lebih parah lagi, masuknya perusahaan-perusahaan dari luar Aceh yang berebut konsensi pengelolaan hutan Aceh dalam kompetisi perdagangan karbon, tanpa mampu dicegah oleh pemerintah Aceh. Semua proses perizinan ini, kepengurusannya dilakukan di KLHK. 

Padahal, potensi karbon yang ada di hutan-hutan Aceh nilainya triliunan. Bayangkan, jika semua potensi karbon Aceh dapat dikelola oleh Pemerintah Aceh melalu mekanisme BLUD (Badan Layanan Umum Daerah), maka akan ada potensi PAA triliunan yang kiranya dapat digunakan untuk kesejahteraan masyarakat Aceh yang merupakan substansi terpenting dari lahirnya MoU Helsniki dan UU Nomor 11 tahun 2006 Tentang Pemerintah Aceh. 

Ironis..Pemerintah Aceh yang menjaga hutan, tapi yang menikmati hasilnya adalah orang dari luar melalui perusahaan-perusahaan swasta yang berebut konsesi pengelolaan hutan dalam perdagangan karbon. 

Kebijakan terbaru dari KLHK kembali diterbitkan pada bulan Mei kemarin, yaitu Nomor SE.5/MENLHK/SETJEN/HPL.2/5/2023 Tentang Penyesuaian Kerjasama Pemanfaatan Hutan pada KPH Menjadi Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) atau Persetujuan Perhutanan Sosial (PS). Surat edaran ini memberikan tenggat waktu sampai 31 Desember 2023 bagi pemegang kerjasama pengelolaan hutan versi Qanun Nomor 7 tahun 2016 untuk berubah menjadi pengelolaan hutan versi KLHK, yaitu PBPH dan PS

Menyikapi hal ini, Pemerintah Aceh & DPRA telah menyurati KLHK. Terakhir adalah pada bulan Juli dan Agustus kemarin. Namun, KLHK sama sekali tidak membalas. Faktanya dilapangan, proses perubahan ini terus di dorong dengan sangat agresif oleh UPT-UPT KLHK yang ada di Aceh, semisal BPHL Aceh. 

KLHK dengan sangat brutal terus mengamputasi kewenangan Aceh tanpa sedikit pun respek terhadap proses perdamaian Aceh, MOU Helsinki dan UU Tentang Pemerintah Aceh. Bahkan, dalam satu satu forum zoom, dengan pongahnya , salah satu kepala Balai dari UPT KLHk yang ada di Aceh , mengatakan bahwa Qanun Nomor 7 tahun 2016 Tentang Kehutanan Aceh tidak lagi relevan. Pernyataan ini sama saja dengan tidak menghormati Pemerintah dan Masyarakat Aceh yang hari masih dalam proses berjalan beriringan dalam bingkai NKRI. 

Agresivitas KLHK dalam mengamputasi kewenangan Aceh dalm hal pengelolaan hutan bisa kita artikan sebagai sebuah tindakan yang akan berpotensi merusak perdamaian dan jauh dari nilai-nilai penghormatan terhadap Aceh. KLHK lupa, bahwa kewenangan pengelolaan SDA yang di dapat Aceh adalah salah satu instrumen penting dalam perdamaian kedua bangsa ini. 

Terkait Surat Edaran Nomor SE.5/MENLHK/SETJEN/HPL.2/5/2023 diatas, yang memberikan tenggat waktu hanya sampai 31 Desember 2023 terkait kerjasama pengelolaan Hutan di Aceh, maka seyogyanya Pemerintah Aceh berusaha semaksimal mungkin menggunakan semua saluran yang ada dalam kurun waktu tinggal 3 bulan lagi. Seluruh elemen harus menyatukan sikap untuk menjaga marwah Aceh. Salah satu lembaga yang hari ini belum bersuara banyak terkait “amputasi” kewenangan Aceh di bidang Kehutanan ini adalah Wali Nanggroe. Padahal, salah satu tugas penting dari Wali Nanggroe adalah memastikan terimplementasikannya butir-butir kesepahaman MoU Helsinki dan kewenangan Aceh yang ada di UU Nomor 11 tahun 2006 Tentang Pemerintah Aceh. Semoga Wali Nanggroe segera terbangun dan ikut bersuara. 

Mari semua menyatukan Sikap. Jika terlambat, maka Dinas Lingkungan Hidup & Kehutanan Aceh hanya akan menjadi “tamu & turis” di kawasan hutannya sendiri. [**]

Penulis: Dedy Fitriandi, S.Hut., M.Sc (Analis kerjasama Kehutanan KPH Wilayah III Aceh)

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
Komentar Anda