kip lhok
Beranda / Opini / Kongres Peradaban Aceh 2024, Momentum Kebudayaan Jadi Landasan Pembangunan

Kongres Peradaban Aceh 2024, Momentum Kebudayaan Jadi Landasan Pembangunan

Jum`at, 10 Mei 2024 14:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Penulis :
Alif Alqausar

Alif Alqausar, mahasiswa komunikasi penyiaran Islam pada FDK UIN Ar-Raniry Banda Aceh. [Foto: dok. pribadi untuk Dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Opini - Kongres Peradaban Aceh (KPA) 2024 yang berlangsung di Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Aceh di Jantho, Aceh Besar, 6-8 Mei 2024 mengangkat tema “Pemerkasaan Seni dan Budaya Aceh di Era Kecerdasan Buatan” membahas seni dan budaya di era kecerdasan buatan (artificial intelligence). 

Kongres Peradaban Aceh kali ini merupakan kongres kedua dan merupakan kelanjutan dari Kongres Peradaban Aceh pada 2015. Pada edisi sebelumnya, isu yang dibahas adalah penguatan bahasa-bahasa lokal di Aceh. Salah satu rekomendasinya yaitu membuat ejaan bahasa Aceh dan bahasa-bahasa lokal lainnya di Aceh.

Kegiatan KPA 2024 diisi oleh konferensi internasional dengan pembicara dari dalam dan luar negeri juga dihadiri Wali Nanggroe Aceh, Para Pejabat Pemerintah Provinsi Aceh dan Kabupaten seluruh Aceh, para rektor dan budayawan. Kongres Peradaban Aceh kali ini diisi oleh konferensi internasional dengan pembicara dari dalam dan luar negeri.

Salah satu pembicara dalam acara Wildan Abdullah, yang juga menjabat sebagai rektor ISBI Aceh mengatakan dunia digital dan kecerdasan buatan seperti mata pisau yang bisa menjadi alat untuk mendukung kesenian dan kebudayaan, tapi jika salah digunakan bisa menjadi mesin pembunuh kreativitas. 

Para seniman dan pegiat kebudayaan, menurutnya, tidak boleh apatis terhadap perubahan yang begitu dahsyat ini, melainkan perlu siap dan menyesuaikan diri.

Lewat penyelenggaraannya KPA 2024 diharapkan juga menjadi sarana edukasi untuk melestarikan adat budaya Aceh terutama kepada generasi muda. Budaya adalah identitas bangsa yang didalamnya terkandung nilai luhur yang harus disebarluaskan ke generasi muda.

Manfaat pembangunan/pendidikan kebudayaan

Gempuran modernisasi dan perkembangan teknologi tidak selamanya memberikan dampak positif, banyak anak menjadi kecanduan gawai dan semakin melupakan asal usul budayanya. Kebudayaan yang dimaksud mencakup warisan budaya, warisan alam dan kehidupan, ekspresi budaya, serta industri budaya dan kreatif.

Kebudayaan lahir dari relasi-relasi dari berbagai nilai yang disepakati sebagai hal-hal yang dianggap baik sesuai moral kelompok. Isu kebudayaan kerap luput dari perhatian. Padahal, kebudayaan perlu dijadikan landasan pembangunan. Bukan semata-mata pelestarian, melainkan menjadi landasan dan penggerak untuk pembangunan mengingat potensinya yang sangat besar.

Melalui riset yang dipublikasi Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim pada pembukaan Kongres Kebudayaan Indonesia 2023 lalu, menunjukkan keterkaitan antara Indeks Pembangunan Kebudayaan (IPK) dengan indeks-indeks lain yang mencerminkan kondisi ekonomi,sosial, dan politik negara. Melalui penelitian tersebut, terbukti tiga implikasi penting.

Pertama, semakin tinggi dimensi ekonomi budaya IPK, maka semakin rendah tingkat kemiskinan, begitupun sebaliknya. Kedua, semakin tinggi dimensi ketahanan sosial budaya IPK, maka semakin tinggi dimensi pula indeks kerukunan umat beragama. Ketiga, semakin tinggi dimensi ekspresi budaya IPK, maka semakin tinggi pula aspek kebebasan sipil indeks demokrasi Indonesia.

Selain itu, berdasarkan penelitian dari Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) menunjukkan pendidikan seni dan budaya membantu siswa mengembangkan kecerdasan emosional, kreativitas, dan pemikiran kritis. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan prestasi akademik dan non-akademik para peserta didik.

Audrey Azoulay, Direktur Jenderal UNESCO menyatakan pendidikan seni dan budaya dapat memupuk keterampilan, seperti observasi, kolaborasi, dan refleksi yang bermanfaat bagi kreativitas dan kemampuan beradaptasi, yang semakin dihargai di pasar kerja modern.

Pembelajaran mengenai keragaman budaya sangat penting untuk mengatasi perpecahan dan menumbuhkan rasa saling pengertian. Hal ini menggarisbawahi perlunya penekanan yang lebih besar pada budaya lokal khususnya pada lembaga pendidikan seni dan budaya perlu diprioritaskan.

Pendidikan seni dan budaya juga membangun keterampilan sosio-emosional yang penting untuk berkembang di dunia masa depan. Penelitian menunjukkan bahwa pendidikan dengan pendekatan budaya dapat menumbuhkan empati dan rasa kasih sayang terhadap lingkungan sekitar.

Hal ini memungkinkan pelajar melakukan introspeksi, berani mengemukakan pandangan yang berbeda dalam memahami dunia. Partisipasi dalam kegiatan seni dan budaya juga berkaitan dengan keterlibatan masyarakat yang lebih tinggi, toleransi sosial, dan perilaku menghormati keberagaman.

Kebudayaan memungkinkan individu untuk mengkritik, merefleksikan, dan memberikan pandangan mereka tentang berbagai isu sosial melalui beragam bentuk karya. Dengan adanya, kebebasan ekspresi di sektor budaya, masyarakat menjadi lebih terbuka serta mampu berpartisipasi dalam pembentukan kebijakan publik.

Pemerintah daerah harus memastikan bahwa kebebasan ekspresi dalam sektor budaya harus dilindungi. Caranya dengan mengadakan festival seni, pameran, dan diskusi publik yang melibatkan seniman lokal dan masyarakat umum dapat menjadi wadah untuk berkreasi dan dan berpartisipasi dalam diskursus sosial dan kebudayaan.

Pentingnya menaruh perhatian di sektor budaya bukanlah kesia-siaan. Dari berbagai riset yang dirilis, dapat menjadi landasan bahwa kebudayaan memiliki dampak langsung dalam pembangunan bangsa. Dengan investasi yang memadai, kebudayaan dapat menjadi penggerak keberlangsungan pembangunan yang inklusif. Sebagai bangsa yang memiliki kekayaan budaya sudah semestinya kita kita memanfaatkan anugerah ini untuk kemaslahatan bersama.

Akhir kata, pelaksanaan KPA 2024 harus diapresiasi karena menjadi agenda yang menunjukkan pemangku kepentingan mempunyai perhatian terhadap upaya melestarikan adat budaya dan menumbuhkan kebanggaan generasi muda terhadap khazanah warisan leluhurnya yang menjadi identitasnya. 

Seperti sebuah adagium legendaris Aceh “mate aneuk ka meupat jeurat, gadoeh adat han pat ta mita" (mati anak ada kuburan, mati adat dimana kita cari).

Penulis: Alif Alqausar (Mahasiswa komunikasi penyiaran Islam pada Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Ar-Raniry Banda Aceh]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
Komentar Anda