Jum`at, 04 Juli 2025
Beranda / Opini / Koperasi Merah Putih dan Risiko Sistemik: Harapan Besar, Ancaman Nyata

Koperasi Merah Putih dan Risiko Sistemik: Harapan Besar, Ancaman Nyata

Kamis, 03 Juli 2025 15:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Penulis :
Nasrul Zaman & Syukriy Abdullah

Nasrul Zaman, Pengajar Pascasarjana FK USK, Banda Aceh (kiri) dan Syukriy Abdullah, Pengajar Pascasarjana FEB USK, Banda Aceh (kanan). [Foto: dokumen untuk dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Opini - Program pembentukan Koperasi Merah Putih di seluruh desa di Indonesia sedang digulirkan secara masif. Saat ini saja di Aceh sudah terbentuk hampir 7.000 unit koperasi merah putih tersebut yang rencananya setiap koperasi digelontor dana besar hingga Rp4 miliar. 

Di atas kertas, ini adalah terobosan besar dalam penguatan ekonomi desa. Namun di balik semangat kemandirian itu, tersimpan persoalan mendasar karena koperasi dibangun lebih cepat dari kesiapan struktur, kapasitas SDM, dan tata kelola kelembagaannya. Risiko kegagalan dan penyimpangan terbuka lebar.

Sejarah mencatat bahwa hanya sekitar 1% koperasi di Indonesia yang benar-benar bertahan dan berkembang setelah didirikan. Ini bukan karena kekurangan modal, tetapi karena tidak adanya ekosistem yang menopang koperasi agar bisa tumbuh secara sehat. Program Koperasi Merah Putih justru berpotensi mengulang pola kegagalan tersebut jika tidak dirancang dengan kerangka kelembagaan yang kokoh sejak awal.

Pendirian koperasi yang ideal dimulai dari identifikasi kebutuhan dan potensi anggota koperasi, yang bertujuan untuk memastikan bahwa koperasi yang dibentuk dapat memberikan manfaat bagi anggotanya. Pembentukan tim inti yang terdiri dari individu dengan pengetahuan, keahlian, dan komitmen terhadap pengembangan koperasi dibentuk. Selanjutnya, koperasi perlu menyusun Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART). 

AD mencakup visi, misi, tujuan, dan struktur organisasi koperasi, sementara ART menjelaskan lebih rinci mekanisme operasional koperasi, termasuk hak dan kewajiban anggota serta pengelolaan internal koperasi. Kemudian mempersiapkan modal awal koperasi yang berasal dari kontribusi anggota yang dapat berupa uang atau barang. Selain modal awal, koperasi juga dapat mencari sumber pembiayaan lain dari lembaga keuangan atau pemerintah untuk mendukung pengembangan usaha koperasi.

Idealnya juga pemilihan pengurus dan pengawas secara demokratis melalui rapat anggota. Pengurus bertanggung jawab untuk menjalankan operasional koperasi, sementara pengawas bertugas memastikan bahwa pengelolaan koperasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Selain itu, pengurus dan anggota koperasi harus diberikan pelatihan yang cukup agar dapat menjalankan tugas mereka dengan efektif dan efisien. 

Selanjutnya, koperasi perlu menyusun rencana bisnis yang jelas, mencakup produk atau layanan yang akan disediakan, strategi pemasaran, dan perencanaan keuangan yang realistis. Rencana ini harus didasarkan pada analisis potensi pasar dan kebutuhan anggota.

Pada tataran bentuk usaha maka seyogianya koperasi harus selalu memfokuskan kegiatannya pada kesejahteraan anggota. Setiap program yang dijalankan harus mengutamakan manfaat langsung bagi anggota, baik dalam aspek ekonomi, sosial, maupun pendidikan. Dengan mengikuti mekanisme tersebut, koperasi yang didirikan dapat berfungsi dengan baik, memberikan manfaat yang signifikan bagi anggotanya, dan bertahan dalam jangka panjang

Namun hal ideal ini diterabas habis dalam pembentukan Koperasi Merah Putih yang lebih layak disebut pembentukan perusahaan milik desa. Kita ketahui bahwa pemberian dana hingga miliaran rupiah ke koperasi tingkat desa tanpa kesiapan organisasi, sistem rekrutmen, manajemen risiko, dan perangkat pengawasan adalah resep bencana. Banyak koperasi sebelumnya yang berakhir sebagai proyek gagal karena dipimpin oleh individu yang tidak memiliki kapasitas manajerial maupun pemahaman tentang prinsip koperasi.

Ketiadaan mekanisme tata pilih pengurus dan pengawas yang objektif dan transparan menjadikan pengelolaan koperasi rawan disusupi kepentingan politik lokal. Tanpa seleksi berbasis integritas dan kompetensi, dana besar tersebut bisa jatuh ke tangan yang salah -- bukan menjadi motor ekonomi, melainkan jebakan korupsi.

Aspek pengawasan juga belum menunjukkan kesiapan sistemik. Koperasi yang mengelola dana negara sebesar itu harus tunduk pada standar akuntabilitas dan transparansi yang setara dengan lembaga keuangan formal. Sayangnya, audit internal maupun eksternal belum terstruktur secara nasional.

Masalah lainnya adalah lemahnya kapasitas sumber daya manusia di desa untuk mengelola koperasi secara profesional. Belum ada program pelatihan terstandarisasi secara nasional bagi calon pengelola koperasi. Tanpa pemahaman mengenai manajemen keuangan, perencanaan bisnis, dan prinsip koperasi, koperasi-koperasi ini akan kesulitan bertahan dalam jangka panjang.

Minimnya partisipasi anggota juga menjadi titik lemah yang selama ini tidak mendapat perhatian cukup. Banyak koperasi dijalankan secara elitis oleh segelintir orang, sementara para anggota hanya hadir sebagai pelengkap administrasi. Padahal, koperasi adalah organisasi yang seharusnya tumbuh dari, oleh, dan untuk anggotanya.

Koperasi Merah Putih membutuhkan sistem digitalisasi pengelolaan keuangan dan program. Di era keterbukaan informasi, transparansi bisa dijaga dengan penggunaan aplikasi berbasis daring untuk pencatatan, pelaporan, dan pemantauan. Tanpa digitalisasi, pengawasan akan menjadi rumit dan manipulasi data akan lebih mudah dilakukan.

Pelibatan perguruan tinggi, LSM, dan lembaga profesional dalam mendampingi koperasi desa menjadi keharusan. Negara tidak bisa hanya mengandalkan perangkat desa yang kerap belum terlatih. Pendampingan harus dilakukan secara serius dan berkelanjutan.

Gagasan besar seperti ini berisiko tereduksi menjadi proyek politis semata. Jika keberadaan koperasi hanya dimaknai sebagai pemenuhan target jumlah atau serapan anggaran, maka kita hanya akan menciptakan institusi kosong yang tidak membawa perubahan nyata.

Koperasi Merah Putih adalah ide yang progresif, tapi ide besar tanpa desain kelembagaan yang cermat hanya akan menjadi beban anggaran dan sumber baru praktik koruptif. Pemerintah harus belajar dari kegagalan koperasi sebelumnya dan tidak mengulangi kesalahan serupa dalam skala nasional.

Yang dibutuhkan bukan hanya kucuran dana, melainkan reformasi sistem koperasi dari hulu ke hilir: regulasi yang ketat, manajemen berbasis kompetensi, pengawasan berlapis, dan pendidikan koperasi yang terstruktur. Jika tidak, Koperasi Merah Putih bisa menjadi simbol kegagalan kolektif berikutnya dalam sejarah kebijakan pembangunan desa di Indonesia. [**]

Penulis:

1. Nasrul Zaman (Pengajar Pascasarjana FK USK, Banda Aceh; Pengamat kebijakan publik dan penggerak koperasi berbasis komunitas)

2. Syukriy Abdullah (Pengajar Pascasarjana FEB USK, Banda Aceh; Pengamat kebijakan publik dan penggerak koperasi berbasis komunitas)

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI