DIALEKSIS.COM | Opini - Ketika suara reformasi birokrasi menggema lebih lantang dari sebelumnya dan anggaran negara mengalami pengetatan dalam berbagai sektor, nasib para pendamping desa bak berada diambang persimpangan jalan.
Mereka yang selama ini menjadi ujung tombak pembangunan di tingkat akar rumput kini menghadapi ketidakpastian di tengah huru hara efisiensi dana yang digencarkan pemerintah.
Presiden Prabowo Subianto menyebutkan bahwa Indonesia akan di atas Jepang dan Inggris tahun 2050. Pernyataan itu cukup menarik atensi dan mengundang seribu tanya, ambisi besar atau hanya sekedar mimpi di siang hari?
Data menunjukkan kenyataan berbeda, gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) terjadi di sejumlah kementerian dan lembaga, salah satu yang terkena imbasnya adalah tenaga pendamping desa. Berbagai pertanyaan mencuat apakah pendamping desa masih menjadi bagian penting dari pembangunan desa, ataukah peran mereka akan berakhir secara perlahan?
Di satu sisi, efisiensi dana yang digaungkan pemerintah pusat ingin memangkas beban fiskal. Di sisi lain, peran pendamping desa yang sangat krusial dalam menjaga akuntabilitas dan mengawal pembangunan desa yang begitu vital terutama di daerah tertinggal. Jumlah mereka tidak sedikit. Saat ini, ada sekitar 35.000 tenaga pendamping desa yang mereka menyebar diseluruh pelosok negeri.
Pendamping Desa: Pilar Pembangunan Dari Pinggiran
Pendampingan merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam upaya pengembangan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat desa. Sejak digulirkannya UU No. 6/2014 tentang desa, pemerintah bertanggung jawab untuk menyediakan tenaga profesional yang bertugas mendampingi desa dalam pemberdayaan dan pembangunan di desa.
Sejak awal digagas, pemerintah berkomitmen untuk memberikan perhatian lebih kepada desa sebagai pusat pembangunan. Pendamping desa menjadi tulang punggung dalam implementasi pembangunan desa. Mereka berperan dalam perencanaan, penganggaran, hingga pendampingan langsung kepada msyarakat desa (Sumardjo, 2017)
Dalam pelaksanaannya, kehadiran pendamping desa menjadi instrument yang sangat vital dalam menjembatani pemerintah daerah dan masyarakat desa. Mereka bertugas untuk memastikan bahwa anggaran desa digunakan secara efektif, transparan, dan tepat sasaran.
Pendamping desa bukan hanya fasilitator program, melainkan juga mentor, penyuluh, bahkan tidak jarang pula pendamping desa menjadi aktor dalam memediasi konflik yang terjadi ditengah masyarakat.
Pendamping desa bukan sekedar fasilitator atau pelengkap administrasi. Mereka adalah garda terdepan dalam menyentuh nadi kehidupan desa yang sesungguhnya. Tugas pendamping desa juga menuntut ketangguhan emosional dan kesiapan fisik.
Selalu menyuguhkan banyak cerita menarik tiap kali bertugas, ketika mereka harus bekerja di daerah rawan bencana, terisolasi, bahkan ke daerah yang minim fasilitas. Berjalan kaki menembus belukar, menyeberangi sungai tanpa jembatan dan menginap di tempat yang tidak punya aliran listrik. Mereka hadir dan menyaksikan langsung permasalahan yang dihadapi masyarakat.
Peran mereka semakin nyata saat menyangkut urusan pemberdayaan, terlebih di daerah yang masih membutuhkan.
Aceh, dengan segala dinamikanya yang kompleks membutuhkan sentuhan ekstra dalam pembangunan yang tidak bisa disamaratakan. Wilayah yang pernah mengalami konflik berkepanjangan ini sedang membangun kembali rasa percaya kepada negara. Kehadiran pendamping menjadi alat pemulihan sosial.
Disini pendamping desa menjadi mata dan telinga sekaligus tangan negara di tengah masyarakat. Tanpa mereka, pembangunan tidak hanya melambat, tapi juga kehilangan arah. Mereka bukan hanya sekedar menjembatani desa dengan program pemerintah tapi juga menjembatani harapan dan masa depan desa.
Masa depan pendamping desa di Aceh bukan hanya tentang nasib individu mereka, tetapi juga tentang keberlanjutan denyut pembangunan di Gampong-Gampong. Ini tentang memastikan bahwa masyarakat desa, yang seringkali menjadi kelompok paling rentan, tetap memiliki akses terhadap bimbingan dan dukungan untuk membangun masa depan yang lebih baik.
Tanpa Mereka, Desa Bisa Gagal Fungsi
Pendamping desa muncul dengan konstribusi nyata dibalik layar pembangunan gampong. Mereka mendampingi mulai dari musyawarah desa, penyusunan RAPBG, hingga memonitoring pelaksanaan program penggunaan Dana Desa, termasuk BLT sebesar Rp 300 ribu per KPM per bulan selama 12 bulan.
Data dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menunjukkan bahwa sejak adanya pendamping desa, terjadi penurunan signifikan dalam kasus penyalahgunaan dana desa. Meski masih terjadi, tingkat akuntabilitas meningkat.
Selain itu, program-program berbasis pemberdayaan seperti Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), pemberdayaan perempuan, dan pelatihan wirausaha lokal banyak mendapat dorongan dari para pendamping desa.
Ironisnya, meskipun tanggung jawab mereka besar, gaji pendamping desa rata-rata hanya sekitar Rp 2,5-3 juta per bulan, dengan beban kerja yang sering melebihi 8 jam per hari.
Di tengah transformasi teknologi yang kini digalakkan pemerintah pusat, pendamping juga diandalkan untuk memastikan masyarakat tidak tertinggal. Mereka menjadi penghubung digitalisasi yang ramah. Pemerintah pusat mulai menggaungkan penggunaan Aplikasi Siskeudes dan E-Village Budgeting, dengan harapan bisa memangkas kebutuhan SDM lapangan.
Namun realita di Aceh berkata lain. Di banyak desa terpencil, sinyal internet nyaris tak ada. Operator desa banyak yang belum mahir IT. Bahkan listrik pun belum stabil di sebagian wilayah pedalaman.
Peran pendamping desa ini tidak bisa digantikan dengan aplikasi, algoritma, atau formulir daring. Peran ini hanya bisa dijalankan oleh mereka yang hadir secara nyata, yang tahu seluk-beluk medan, dan yang dikenali masyarakat sebagai bagian dari mereka.
Digitalisasi desa bisa jadi solusi masa depan. Tapi tanpa infrastruktur dan pendamping sebagai jembatan, aplikasi hanya akan menjadi ikon di layar tanpa makna.
Dalam konteks Aceh, menjaga pendamping desa berarti menjaga semangat rekonsiliasi, mengawal keadilan sosial, dan memastikan bahwa pembangunan benar-benar berangkat dari akar rumput.
Wacana Efisiensi: Realita yang Menghantui
Pada awal 2025, pemerintah pusat mengumumkan rencana efisiensi anggaran hingga Rp 300 triliun, termasuk rasionalisasi belanja kementerian dan lembaga. Sinyal ini juga dirasakan Kementerian Desa PDTT dan Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM), lembaga yang menaungi para pendamping desa.
Meskipun banyak daerah mengalami pemangkasan, Aceh justru menjadi pengecualian Dana Desa tidak mengalami pemotongan, tetap di angka Rp 4,73 triliun, namun anggaran pendampingan desa disebut-sebut sebagai bagian dari skema efisiensi operasional.
Menurut sumber internal Kemendes, terdapat rencana untuk merasionalisasi jumlah pendamping, khususnya di daerah yang dianggap sudah “mapan secara kelembagaan”.
Namun, wacana ini justru menimbulkan kekhawatiran di lapangan. Banyak desa di Aceh, terutama yang jauh dari akses kota, masih sangat bergantung pada bimbingan pendamping.
Pembangunan desa adalah proyek jangka panjang, tanpa pendamping yang memadai, desa-desa bisa mengalami stagnasi. Jika honor pendamping berkurang, banyak kemungkinan pahit terjadi mereka akan mencari pekerjaan lain, tentu hal ini sangat mengancam keberlanjutan program pembangunan desa yang selama ini sudah berjalan.
Pada kondisi ini, suara para pendamping desa perlu didengar,mereka telah menunjukkan konstribusi besar. Pendamping desa di seluruh pelosok Indonesia berhak mendapatkan apresiasi yang sama, mereka bekerja dlam kondisi yang tidak selalu mudah.
Pemotongan honorarium pendamping desa bisa menjadi keputusan yang kontraproduktif. Jika ingin pembangunan desa berjalan optimal, pemerintah harus mencari solusi lain dalam efisiensi anggaran.
Dukungan terhadap pendamping desa harus menjadi perhatian utama. Jika merapa kehilangan motivasi, siapa yang akan memastikan desa tetap berkembang? [**]
Penulis: Silvia Febrina Akmal (mahasiswi program studi Pengembangan Masyarakat Islam UIN Ar-Raniry Banda Aceh)