kip lhok
Beranda / Opini / Melawan Pragmatisme Kosong: Ulama Sebagai Benteng Terakhir Moralitas Politik Aceh

Melawan Pragmatisme Kosong: Ulama Sebagai Benteng Terakhir Moralitas Politik Aceh

Minggu, 25 Agustus 2024 18:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Penulis :
Khairul Amri Ismail

Khairul Amri Ismail, Mahasiswa Program Doktor Filsafat Hukum Universitas Islam Sultan Syarif Ali (UNISSA) Brunei Darussalam. [Foto: dokumen untuk dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Opini - Di tengah panggung politik Aceh saat ini, kita menghadapi momen krusial yang lebih dari sekadar pilihan elektoral. Ini adalah pertaruhan terhadap nilai-nilai moral dan spiritual yang akan mengarahkan Aceh di masa depan. 

Pilihan antara merangkul ulama seperti Tu Sop atau memilih pendekatan pragmatis adalah ujian sejauh mana kita berkomitmen pada prinsip-prinsip yang telah lama menjadi inti dari identitas kita.

Aceh, sebagai tanah yang kaya akan tradisi keislaman, memerlukan pemimpin yang tidak hanya mengerti teknis pemerintahan tetapi juga mendalam dalam nilai-nilai moral yang membentuk masyarakat kita. Keterlibatan ulama dalam politik bukan sekadar langkah strategis, tetapi deklarasi tegas bahwa nilai-nilai keislaman akan tetap menjadi landasan keputusan publik. Ini adalah jaminan bahwa kebijakan akan selaras dengan prinsip keadilan, kebijaksanaan, dan kebajikan nilai-nilai yang merupakan tiang penyangga kehidupan kita.

Dalam ranah filsafat politik, kekuasaan yang tidak memiliki dasar moral akan mengarah pada ketidakadilan dan penyelewengan. Ulama, dengan peran mereka sebagai penjaga moral, memainkan fungsi vital dalam memastikan bahwa kekuasaan tetap berfokus pada kepentingan bersama, bukan pada pragmatisme yang dangkal. 

Pemisahan ulama dari politik mungkin dijanjikan sebagai solusi profesionalisme, tetapi hal itu berisiko menghapus dimensi moral yang esensial. Ini adalah ancaman nyata terhadap stabilitas sosial dan kepercayaan publik yang telah lama terjaga.

Ulama seperti Tu Sop bukan hanya membawa pengetahuan agama; mereka menghadirkan hikmah yang diperlukan untuk menghadapi tantangan politik modern. Mereka adalah penyeimbang yang memastikan bahwa kekuasaan tidak tergelincir ke dalam kesewenang-wenangan, melainkan diorientasikan untuk kebaikan bersama. 

Dalam konteks demokrasi sejati, keterlibatan ulama memastikan bahwa kebijakan tidak hanya mencerminkan kepentingan segelintir orang, tetapi aspirasi seluruh masyarakat. Ini adalah inti dari demokrasi yang berintegritas di mana setiap keputusan politik diukur dengan standar moral yang tinggi.

Saat kita menghadapi pilihan ini, kita harus bertanya: Apakah kita akan mempertaruhkan warisan moral demi janji-janji pragmatis yang belum terbukti? Atau, apakah kita akan berdiri teguh pada nilai-nilai yang telah membimbing kita? Merangkul ulama seperti Tu Sop adalah lebih dari sekadar keputusan politik, ini adalah komitmen untuk menjaga agar Aceh tetap berada di jalur moral yang benar, berpandukan pada keadilan dan kebijaksanaan.

Pilihan ini bukan hanya tentang siapa yang memimpin, tetapi tentang bagaimana Aceh akan dipimpin. Memilih untuk melibatkan ulama dalam politik merupakan langkah bijak yang tidak hanya memperkuat legitimasi pemerintahan, tetapi juga memastikan bahwa Aceh terus menjadi teladan masyarakat yang berkembang secara material sekaligus spiritual.

Ini adalah pilihan untuk mempertahankan landasan moral yang abadi, melawan pragmatisme kosong, dan memastikan bahwa nilai-nilai keislaman tetap menjadi pilar dalam setiap keputusan politik yang kita ambil. [**]

Penulis: Khairul Amri Ismail (Mahasiswa Program Doktor Filsafat Hukum Universitas Islam Sultan Syarif Ali (UNISSA) Brunei Darussalam)

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
Komentar Anda