kip lhok
Beranda / Opini / Mengapa Anak-anak Membully?

Mengapa Anak-anak Membully?

Minggu, 17 Maret 2024 18:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Penulis :
Nelliani

Nelliani, M.Pd, Guru SMA Negeri 3 Seulimeum, Aceh Besar. [Foto: dok. pribadi untuk Dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Opini -  Alarm “darurat kekerasan” di lingkungan pendidikan makin nyaring terdengar. Setiap tahun terus saja bermunculan kasus-kasus perundungan, baik dilakukan guru, siswa senior terhadap junior maupun oleh teman sebaya.

Bulan Februari 2024 menjadi awal kelam kasus perundungan di sekolah. Sebagaimana dilansir banyak media, aksi bullying menimpa pelajar sebuah SMA International di Tangerang Selatan. Korban diduga mengalami kekerasan oleh senior sampai harus dilarikan ke rumah sakit. Polisi menyelidiki peristiwa itu yang disebut sebagai syarat masuk geng di sekolah elit tersebut.

Belum selesai dengan itu, viral santri sebuah pesantren di Kediri meninggal dianiaya senior. Dalam kasus ini polisi menetapkan empat kakak kelas sebagai tersangka. Motif pelaku memukul korban karena jengkel, sebab korban susah dinasehati untuk shalat berjemaah. Bullying ibarat fenomena gunung es, hanya sedikit yang nampak, pada kenyataannya banyak yang belum terungkap.

Perilaku bullying

Bullying/perundungan adalah perilaku tidak menyenangkan baik secara verbal, fisik maupun sosial di dunia nyata maupun di ranah maya yang membuat seseorang tidak nyaman, sakit hati, tertekan, yang dilakukan perorangan maupun kelompok. Perundungan di kalangan siswa tidak terjadi hari ini saja, anak-anak tahun 1980-an juga pernah mengalami perilaku serupa. Hanya saja, di zaman teknologi bullying dilakukan dengan cara yang lebih canggih melalui perangkat digital.

Bullying dapat terjadi dimana saja dan kapan saja. Di sekolah, ketika ekstrakurikuler, atau tempat bermain. Lebih mengkhawatirkan lagi, di era media sosial serangan bisa dilakukan bertubi-tubi bahkan saat anak di kamar tidur. Anak yang mengalami perundungan media sosial memiliki dampak psikologis yang sama dengan korban bullying di dunia nyata.

Menurut penelitian, sebagian besar perundungan terjadi di arena pendidikan. Mungkin kita menyangkal sekolah keagamaan yang sarat dengan nilai karakter, sekolah unggul yang tertib disiplin tidak akan ada perundungan. Yang harus diketahui, perundungan tidak mengenal tempat, selama anak terhubung dengan temannya, menjalin relasi dalam circle sosialnya selama itu pula potensi bullying akan terus ada.

Di sekolah, siswa datang dari berbagai tempat dengan beragam karakter, kebiasaan dan latar belakang. Perilaku mereka di sekolah sedikit banyak merupakan cerminan bagaimana mereka bersikap di rumah. Dengan kata lain, apa yang ditunjukkan di luar rumah berkorelasi dengan apa yang sering mereka dapatkan ketika di rumah.

Jika di rumah orang tua menumbuhkan relasi positif (empati, saling menghargai, cinta kasih) anak akan mudah membangun hubungan positif dalam pergaulan. Sebaliknya, jika di rumah sering disuguhi pengalaman negatif (pertengkaran, amarah, adu fisik) bukan tidak mungkin hal itu terbawa dalam keseharian. Ada anak yang sopan, patuh dan penyayang. Anak-anak ini mudah bergaul dengan semua kalangan, tidak membeda-bedakan dan menghargai perbedaan. Tidak sedikit yang emosian, pendiam, suka mengasingkan diri dan melanggar aturan. Kelompok terakhir inilah yang memiliki kecenderungan menjadi pelaku atau korban perundungan.

Sebagian orang tua tidak mengetahui anaknya telah menjadi korban bully. Anak akan menutup rapat apa yang dialami karena takut diancam, malu atau tidak mau keadaan bertambah rumit. Untuk itu, penting bagi orang tua mengenali tanda-tanda anak telah mengalami bullying supaya dapat mencegah atau meminimalkan dampak buruknya dikemudian hari.

Beberapa tanda sebagai penunjuk awal yaitu turunnya prestasi belajar. Jika sebelumnya selalu meraih nilai tinggi, tiba-tiba nilai merosot, anak mulai malas sekolah tanpa alasan yang jelas. Anak suka menyendiri, minta pindah sekolah, menjadi penakut, gelisah, menangis, sering ditemukan luka atau memar di badan, menjadi pendiam serta mudah marah. Bila anak tiba-tiba berubah dari kebiasaannya, ada baiknya orang tua mengamati lebih lanjut, bisa jadi ia sedang mengalami perundungan.

Mengutip dari buku Hanlie M & Robert P, Why Children Bully? (2018), perilaku bullying memiliki empat karakteristik. Pertama, melibatkan tindakan agresif baik secara fisik seperti dipukul, ditendang, dijambak maupun secara verbal seperti, menyebut korban dengan kata-kata kasar, memaki yang membuat korban malu. Tindakan secara sosial berupa menghasut teman menjauhi korban atau korban tidak dianggap oleh lingkungan. Tindakan psikis seperti korban diberi tatapan sinis, dijauhi dan didiamkan dalam pergaulan.

Ciri kedua, melibatkan kekuatan yang tidak seimbang. Pelaku mempunyai kekuatan lebih tinggi dari korban. Ketiga, adanya pengulangan. Bullying terjadi dengan pelaku yang sama terhadap korban yang sama secara berulang. Terakhir, kepuasan bagi pelaku. Pelaku bullying merasa puas setelah menindas korban. Sebelum kasus terungkap karena korban tidak berani melapor selama itu pula pelaku leluasa mengintimidasi.

Mengapa membully?

Dengan informasi yang beredar cepat, anak mulai mengetahui setiap perilaku menyakiti atau membuat orang lain tidak nyaman adalah perbuatan salah dan dilarang. Bila nekad melakukannya, hukuman yang diterima pun tidak main-main. Tidak ada yang mendukung aksi-aksi kekerasan. Mirisnya, bullying seakan tidak berhenti, ada saja anak yang merundung anak lain dan kasusnya semakin meningkat.

Lalu, kenapa anak-anak membully?. Guru akan menemukan jawaban yang jujur bila ia mencermati perilaku siswa serta senantiasa membuka ruang dialog dalam kelompok mereka di kelas. Biasanya pelaku perundungan adalah anak dengan fisik besar dan kuat, tidak jarang ada yang berpostur kecil tetapi memiliki dominasi psikologis yang besar. Anak tersebut juga sangat populer dikalangan pergaulannya.

Pada beberapa kasus anak rentan berlaku agresif sampai menindas temannya karena ia ingin terlihat hebat di mata mereka atau butuh pengakuan bahwa dia yang paling berkuasa. Bisa jadi, ia bertindak agresif karena menyembunyikan rasa rendah dirinya. Anak yang tidak pernah diajarkan empati juga berpotensi menjadi pelaku perundungan. Ia bersikap semena-mena tanpa peduli dengan perasaan orang lain.

Faktor lain karena perasaan iri hati. Ia tidak senang melihat kelebihan orang lain, seperti penampilan, suku atau kecerdasan. Ini terjadi karena anak kurang ditanamkan rasa syukur atas apa yang dimiliki dan minimnya rasa menghargai perbedaan. Punya pengalaman dibully mendorong anak melakukan hal serupa. Ia meniru tindakan kekerasan karena sering melihat di rumah atau pernah mengalami sehingga mempraktikkannya pada orang lain.

Apa pun alasan anak membully tidak dapat dibenarkan. Perundungan harus dicegah dan dihentikan. Orang tua selaku figur paling dekat perlu membimbing dengan cinta kasih, empati dan menanamkan nilai-nilai kebaikan dalam hidup anak. Ada baiknya kita merenung nasehat ahli pendidikan, Dorothy dalam bukunya Children Learn What They Live, “Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki. Jika ia dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, ia akan belajar menemukan cinta dalam kehidupan”. [**]

Penulis: Nelliani, M.Pd (Guru SMA Negeri 3 Seulimeum, Aceh Besar)

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
Komentar Anda