kip lhok
Beranda / Opini / Merespon Ulasan Bro Wira: Dinamika Politik Aceh, dari Tradisional ke Modern

Merespon Ulasan Bro Wira: Dinamika Politik Aceh, dari Tradisional ke Modern

Minggu, 04 Agustus 2024 11:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Penulis :
Aryos Nivada
Aryos Nivada, Dosen FISIP USK. [Foto: for Dialeksis.com]

DIALEKSIS.COM | Opini - Tulisan ini merespon artikel Kupi Beungoh Serambi Indonesia dengan judul “Dinamika Demokrasi dalam Politik Pilkada Aceh, Sabar Bos” yang ditulis Dr. Wiratmadinata, S.H., M.H., yang selanjutnya kita sapa saja Bro Wira. 

Bro Wira membuka artikelnya dengan tesis kontestasi Pilkada Aceh telah menjadi lebih menarik dan sehat dengan kesediaan Bustami Hamzah mencalonkan diri. 

Menurut Bro Wira, sebelum sosok yang oleh koleganya dipanggil Om Bus dimunculkan lewat baliho, konten di media sosial, dan lewat podcast sebagai indikasi “Om Bus” bakal jadi calon gubernur, Pilkada Aceh sungguh sangat membosankan. 

Saya justru melihat sebaliknya, pemunculan Om Bus oleh timnya hingga dirinya sendiri menyatakan “bismillah” saat ditanya kesediaannya mencalonkan diri di Pilkada Aceh sudah terkotori alias tidak sehat lagi. 

Alasannya ada moral call yang diabaikan oleh Bustami Hamzah sendiri. Harusnya, Bustami Hamzah berani mengatakan kepada timnya: “Sabar, Bro, tunggu saya menyampaikan surat pengunduran diri dulu ya. Saat ini, saya sedang dalam penugasan sebagai Pj Gubernur Aceh.”

Mengapa moral call itu perlu? Jawabannya karena Menteri Dalam Negeri jauh-jauh hari sudah mengingatkan agar pejabat kepala daerah yang mencalonkan diri menyampaikan surat pengunduran diri. 

Apa yang terjadi, tim yang mendorong Bustami untuk maju mencari celah pada hukum agar bisa mensiasati edaran yang dikeluarkan oleh Mendagri. Sejak inilah kerusakan-kerusakan moral berikutnya terjadi, termasuk potensi penyalahgunaan jabatan untuk menopang kerja-kerja politik kontestasi. 

Pilkada Aceh menjadi sehat andai Bustami bersedia menyatakan bahwa dirinya sudah menyampaikan surat pengunduran diri kepada Mendagri dan berhadap segera keluar SK Pengunduran diri agar diri dan timnya bisa fokus pada Pilkada Gubernur. 

Tapi, kalau sebatas Pilkada Aceh menjadi menarik bolehlah. Dengan kemunculan Bustami, warga menjadi punya bahan untuk bincang-bincang politik, baik di media sosial maupun di warung kopi. 

Paling menarik yaitu perbincangan yang menguatkan betapa buruknya moral sosok orang yang sedang diusung. Ibarat kerbau yang diselamatkan dari sumur, tapi menyeruduk orang yang sudah menyelamatkannya. 

Usai dirinya diselamatkan menjadi Sekda Aceh dengan membuang Sekda Aceh sebelumnya, lalu menyeruduk atasan langsungnya dengan kekuatan tangan orang yang kini hendak diseruduknya pula. 

Dengan penegasannya tentang filsafat awe disebuah podcast menegaskan siapa dirinya, yaitu orang yang siap untuk sepot kiri dan sepot kanan termasuk sepot atasan dan orang/pihak yang telah mendukungnya dengan suara bulat saat usulan Pj Gubernur Aceh. 

Bro Wira juga terlihat kabur dalam melihat fenomena politik Pilkada yang disebutnya menggambarkan “kematian demokrasi Aceh”. Apa yang terjadi dengan politik Pilkada Aceh juga terjadi di Jakarta. 

Pengamat politik Refly Harun pada pertengahan Juli 2024 lalu juga melihat fenomena Anies Baswedan yang berkemungkinan melawan kotak kosong di Pilkada DKI Jakarta 2024, karena dianggap terlalu kuat sebagai kandidat calon gubernur (cagub).

Posisi politik Muzakir Manaf hari ini berbeda dengan sebelumnya. Sekarang, dengan posisi politik Prabowo yang segera dilantik sebagai Presiden RI tentu makin membuat Muzakir Manaf diperhitungkan khususnya oleh Parnas yang ada di Aceh. 

Apalagi ketika NasDem tidak berhasil mengambil hati Prabowo guna “mengatur” arah tuju Pilkada Aceh. Jika Surya Paloh diberi peran untuk menentukan siapa Calon Gubernur Aceh, otomatis posisi politik Muzakir Manaf akan lemah. 

Sayangnya, Prabowo masih memegang etik persahabatan. Untuk Aceh, Prabowo tidak menganut filsafat awe: “tidak ada kawan dan musuh sejati, yang ada adalah kepentingan.” 

Prabowo dengan kesatria mengumumkan dukungannya kepada Muzakir Manaf. Seketika runtuhlah rumoh yang mengatakan Prabowo tidak menerima lagi Muzakir Manaf. Sejak itu, runtuh pula “ruh” politik pendukung Om Bus, dan baru kembali semangatnya beberapa hari kemudian. 

Bro Wira pasti sangat paham pada politik Parnas di Aceh yang keputusannya sangat terpulang pada bigboss mereka di Jakarta. Berbeda dengan NasDem, dulu saat di Aceh dipimpin oleh Zaini Djalil dan Bro Wira ada di dalamnya. 

Kala itu NasDem sangat keren, bahkan pernah menunjukkan “perlawanannya” kepada Muzakir Manaf. Pada lain waktu, NasDem juga menjalin hubungan baik dengan Partai Aceh, dan bahkan Muzakir sendiri pernah mendaftar melalui NasDem Aceh.

Tapi itu dulu, sekarang ini NasDem Aceh sudah dalam “kendali” penuh Pusat. Di daerah, mereka hanya bisa menunggu kode dari bigboss. Pada saat yang sama politisi kritis yang banyak di NasDem tersandera sehingga tidak bisa lagi mengkritisi keadaan, takut yang dikritisinya malah diusung sebagai Calon Gubernur Aceh. 

Bro Wira pasti tahu, bahwa Calon Gubernur di Aceh tidak hanya Muzakir Manaf sendiri. Ada banyak sosok yang dari balihonya menyatakan diri sebagai Calon Gubernur Aceh. 

Hanya saja, karena Partai Aceh yang sudah pasti bisa mencalonkan, maka yang mengemuka merupakan sosok Muzakir Manaf. Sedangkan yang lain harus melakukan lobi untuk mendapatkan dukungan partai politik lainnya. 

Masalahnya, dampak dari politik Pilpres juga terkena pada politik Pilkada Aceh. Mereka yang satu koalisi dalam mengusung Prabowo juga ingin berkoalisi dalam mengusung calon di Pilkada. Bahkan, Parnas yang dulunya berseberangan justru ingin bergabung dengan tim koalisi Prabowo dalam mengusung calon di Pilkada. 

Dan, jika ukuran sehat politik pada ramainya calon gubernur, maka sungguh tidak sehat pula demokrasi di Amerika. Saya kira, dengan semakin sedikitnya calon di Pilkada Aceh dari Pilkada gubernur sebelum-sebelumnya itu juga satu tanda politik Aceh semakin sehat. Hana meuseunoh-seunoh le, hana meureupah-reupah jeut keu raja

Gejala politik sehat model baru ini akan berkontribusi bagi menekan kekerasan dalam masa kampanye nantinya. Sayangnya, karena ada calon yang tidak mengindahkan moral call, jadilah politik Aceh diwarnai narasi yang tidak sehat yang berpotensi menjadi permusuhan. 

Bro Wira yang cukup paham dengan resolusi konflik tentu mengerti betapa pentingnya mengatasi akar konflik untuk mencegah konflik dan dalam poltik itu harus dimulai dengan mewujudkan pilkada sehat, bukan sekedar politik yang menarik. 

Dengan kesediaan Partai Aceh untuk memakai pendekatan modern dalam rekrutmen calon wakil gubernur melalui proses seleksi ini juga satu indikator bahwa Partai Aceh sudah bergerak maju. Malah Parnas yang justru masih bertahan dengan pendekatan tradisionalnya. 

Pendekatan lobi kiri dan lobi kanan sangat berpotensi menerapkan filsafat awe karena harus sepot lawan dan sepot kawan. Kandidat A menyatakan dirinyalah yang lebih layak sedangkan Kandidat B penuh dengan kelemahan. 

Jika itu terjadi maka yang sangat mungkin dipilih adalah kandidat yang memiliki banyak uang, yang mampu service orang-orang di partai. Ini terlihat dari mulusnya penerimaan terhadap Bustami dibandingkan dengan calon lainnya. 

Padahal, sebagai Pj Gubernur Aceh belum ada prestasi yang bisa dibilang cukup sukses sebagai orang yang sedang menjalankan penugasan. Janji beliau untuk menuntaskan venue PON pada Juni molor hingga Juli dan hingga Agustus ini juga belum selesai semua. Akibatnya Presiden RI mengeluarkan Kepres membentuk Satgas PON. [**]

Penulis: Aryos Nivada (Dosen FISIP USK)

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
Komentar Anda