kip lhok
Beranda / Opini / Runtuhnya Narasi Ulama-Umara

Runtuhnya Narasi Ulama-Umara

Minggu, 06 Oktober 2024 17:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Penulis :
Affan Ramli

Jubir Muzakir Manaf (Mualem) dan Fadhlullah (Dek fad). Foto: Dialeksis.com


DIALEKSIS.COM | Opini - Harus diakui, konsultan politik Calon Gubernur Aceh, Bustami Hamzah (Ombus) lumayan keren. Mereka sempat menarik perhatian publik pada jargon ulama-umara, sebagai strategi branding citra Ombus dan pada waktu itu masih Tu Sop sebagai Cawagubnya. 

Jargon itu kini sayup-sayup melemah, lalu menghilang. Tampaknya narasi ulama-umara runtuh karena dua hal. Pertama, Ombus tak bisa ngaji. Memang, tetap diluluskan. Masyarakat yang belajar ilmu qiraah dasar, seperti tajwid dan makhraj paham betul, Ombus tidak bisa ngaji. 

Saya sendiri, pernah menjadi Qari untuk Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) tingkat kabupaten. Cukup memiliki kualifikasi untuk menilai bahwa Ombus tak mampu membaca Al-Quran. Tak apa lah diloloskan juga, mumpung tidak ada calon lain yang bisa ditawarkan kepada rakyat. Tidak baik jika Mualem-Dekfad harus bertarung melawan kotak kosong.

Kedua, meninggalnya ulama beneran, Tu Sop sebagai Cawagub Ombus. Kehilangan Tu Sop telah ikut menghancurkan jargon ulama-umara pada Paslon rival Mualem-Dekfad itu. Kita tidak bisa menolak, Tu Sop memiliki kualifikasi sebagai ulama Aceh. Tapi Ombus tidak memiliki kualifikasi umara sama sekali.

Tadinya, jargon ulama-umara mau dirawat dan dipertahankan pasca Tu Sop. Itu sebabnya beberapa ulama dayah dinominasi sebagai pengganti Cawagubnya Ombus. Lagi-lagi, Ombus akhirnya memilih Fadhil Rahmi yang lebih tepat disebut sebagai santri, ketimbang ulama. 

Jargon ulama-umara kini sama sekali tidak dapat dipertahankan, runtuh total. Runtuh tanpa sisa. Jikapun masih ada tim sukses Ombus yang masih menggunakan narasi ulama-umara sebagai bahan kampanye mereka, mereka melakukannya dengan malu hati. Dalam hati nurani terdalam, umara bukan lah gelar yang cocok disematkan pada seseorang yang tak bisa mengaji. Baca saja tidak mampu, apalagi memahami tafsir, ushul fiqh dari Al-Quran.

Seorang umara, menurut teoritisi politik Islam paling populer, Imam Al Mawardi, dalam kitabnya Al-ahkam As-Sultaniyah, harus punya pengetahuan agama yang dalam, selain harus punya karakter adil dan kualifikasi lainnya. Bagaimana mungkin Ombus punya pengetahuan agama yang dalam, jika membaca Al-Quran saja tidak mampu?

Kondisi ini telah membulatkan tekad lebih banyak teungku-teungku, santri-santri, dan komunitas dayah lebih luas untuk memenangkan lawan Ombus. Terbukti Abu Paya Pasie, salah satu ulama ikonik dari Aceh Timur mempublikasi keperpihakannya pada Mualem. Berbagai media massa melaporkan, sang Abu mendoakan kemenangan Mualem pada pertemuan muzakaran ulama seluruh Aceh.

Dalam bebera hari terakhir, laporan beberapa media massa mempertegas arah keberpihakan mayoritas dayah-dayah di Aceh saat ini. Merujuk Muhammad Nur, Juru Bicara Mualem-Dek Fadh, seribuan pimpinan dayah telah bergabung bersama Mualem Dek Fadh dan akan melakukan deklarasi bersama dalam waktu dekat.

Seribuan pimpinan dayah, artinya mayoritas dari 1.657 jumlah total dayah di Aceh memihak Mualem-Dek fadh. Fakta ini, ibarat badai yang menyapu bersih jargon ulama-umara pada pasangan Ombus- Fadhil Rahmi. Ditambah pula, Ustad Abdul Samad (UAS), yang sempat digadang-gadangkan akan berkampanye memenangkan Paslon 01, kini berbalik arah.

Itu semua wajar karena beberapa alasan:

Pertama, hubungan dekat mualem dan ulama dayah sudah berlangsung lama. Itu dapat dilihat dari banyaknya ulama-ulama dayah yang ikut dalam Majlis Ulama Nanggroe Aceh (MUNA). Organisasi ini didirikan pada tahun 2007. Paling tidak, kedekatan Mualem dan ulama dayah telah berlangsung selama 17 tahun. Sejarah seperti ini tidak dimiliki oleh Bustami Hamzah.

Kedua, Mualem salah satu politisi yang paling getol mempertegas mazhab resmi Islam di Aceh adalah Ahlu Sunah Wal Jamaah. Biasanya disingkat dengan istilah Ahlu Sunah. Dalam diskursus global, Ahlu Sunah ini dibedakan dari mazhab besar lainnya yang masih hidup di Timur Tengah, yaitu Syiah. Namun, istilah Ahlu Sunah di Aceh dimaknai berbeda. Ahlu Sunah dibedakan dari muhammadiah dan wahabi. 

Mualem selalu mempertegas identitasnya sebagai Ahlu Sunah. Belum tentu Ombus yang tidak paham peta pemikiran di dunia Islam. Juga, Fadhil Rahmi, sebagai alumni Timur Tengah, Cawagub ini dinilai besar kemungkinan berpikiran Islam moderen versi Muhammadiah atau punya tarikan pada ide-ide wahabisme. Paling tidak, Fadhil Rahmi tidak dilihat sebagai bagian dari komunitas dayah di Aceh.

Ketiga, Mualem-Dek Fadh meletakan Aceh Islami sebagai prioritas utama dalam perumusan visi dan misinya. Dari empat agenda yang dinyatakan ekplisit dalam visi Mualem-Dek Fadh (Aceh Islami, Aceh Maju, Aceh Bermartabat, dan Aceh Berkelanjutan), agenda Islamisasi Aceh diutamakan. Diletakan paling awal dan dijadikan sebagai branding utama.

Bandingkan dengan pernyataan visi Bustami Hamzah-Fadhil Rahmi yang dirumuskan secara padat dalam agenda Aceh Sejahtera, Aceh Berkeadilan, dan Aceh Beridentitas. Jelas-jelas Mualem-Dek Fadh lebih mampu menarik dayah-dayah ke pihak mereka lebih banyak, ketimbang Bustami-Fadhil Rahmi.

Akhirnya, jargon ulama-umara Ombus-Syekh Fadhil benar-benar runtuh berkeping-keping. Tampaknya, tak ada lagi usaha sejauh ini untuk membangun ulang citra ulama-umara pada Paslon nomor urut 1.

Penulis: Juru Bicara Muzakir Manaf (Mualem) dan Fadhlullah (Dek fad). 

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda