kip lhok
Beranda / Opini / Narkoba: Sisi Gelap Perubahan Sosial di Aceh

Narkoba: Sisi Gelap Perubahan Sosial di Aceh

Sabtu, 17 April 2021 15:30 WIB

Font: Ukuran: - +


Akhsanul Khalis, S.IP. M.P.A/Pengajar Fisip UIN Ar Raniry


Setiap perubahan sosial membentuk dualisme keadaan; gelap dan terang. Titik tumpu kritiknya mengenai perkembangan dunia gelap kriminalitas narkoba yang semakin menyelubungi seantero Aceh. Informasi penangkapan sejumlah warga Aceh di beberapa tempat yang terlibat kasus narkoba sering menghiasi media massa lokal dan nasional.

Selama ini Aceh telah menjadi lahan potensial bagi sindikat narkoba jaringan internasional sehingga membuat peredaran narkoba di Aceh tidak terbendung. Berdasarkan rilis data BNN, “ jumlah pengguna narkoba di Aceh saat ini sudah mencapai 90.000 dan area peredaran narkoba paling banyak terjadi di ruang lingkup gampong-gampong”.

Dunia kriminalitas narkoba tidak serta merta muncul karena dalih kemiskinan, ancaman narkoba berpotensi menyasar siapa saja tanpa memandang kelas dan identitas sosial. Peredaran narkoba yang kian meluas di tengah masyarakat menandakan adanya gejala kehilangan nilai moralitas (lost of adab) di dalam dinamika perubahan sosial di Aceh dan justru mencoreng kewibawaan Aceh yang melekat sebagai daerah Syariat Islam.

Perubahan sosial

Setelah terjadi bencana alam tsunami yang meluluh lantakkan Aceh di penghujung tahun 2004 dan berakhirnya konflik bersenjata yang terjadi puluhan tahun. Rakyat Aceh mulai membuka diri menapaki jalan terjal pembangunan dan transformasi sosial. Rentang waktu 16 tahun tidaklah mudah untuk bertransformasi mengarah pada perbaikan sosial.

Munculnya penyakit sosial seperti kriminalitas narkoba di Aceh tidaklah hadir dari ruang kosong. Cepatnya perubahan sosial dari masyarakat soliter era konflik ke arah gerbang keterbukaan memberikan perubahan baru pada tatanan sosial. Perubahan sosial masyarakat saat ini identik dengan “era dromologi” (Paul Virilio, 2006), -dimana sebuah era kecepatan pada segala aspek kehidupan-. Kondisi psikis masyarakat yang mengangungkan kecepatan dan sikap terburu-buru dalam kehidupan membawa efek samping: tergerus serta terpinggirnya nilai moral kepatutan dan masyarakat lebih konsumtif.

Pertumbuhan kriminalitas narkoba di Aceh relevan sebagaimana dengan sejarah pertumbuhan kriminalitas di Amerika Serikat. Penyebab perkembangan kriminalitas di AS yang semakin tumbuh diungkapkan oleh sosiolog Milton Barron.

“Hasil penelitian itu kemudian dia istilahkan criminogenic, yaitu kemunculan kriminalitas disebabkan beberapa perubahan budaya yang memang menekankan pada kesuksesan, kekuasaan, status, prestise, persaingan tinggi dan serakah ( eksploitatif ). Capaian prestasi dalam sebuah kompetisi dinilai dari segi uang dan kekayaan materi”. (Richard Quinney, 2001).

Gaya hidup konsumerisme.

Perubahan nilai sosial seperti menjadikan uang sebagai standar kesuksesan, bersifat eksploitatif dan tingkat persaingan kelas sosial yang tinggi mempengaruhi kecenderungan gaya hidup sebagian masyarakat kearah gaya hidup konsumerisme.

Berdasarkan pakar konsumerisme Jean Boudrillard (2004) “Gaya hidup konsumerisme merupakan sebuah perilaku tentang mencari objek kepuasan dan kesenangan baik itu berbentuk materi ataupun psikologis. Kemunculan masyarakat konsumsi di era modern erat dipengaruhi kondisi mental narsisme individu dan juga disertai dengan ciri kekhawatiran atas berbagai kekurangan kebutuhan hidup”.

Diakui atau tidak, gaya hidup konsumerisme menjadi “kiblat” baru bagi sebagian masyarakat perkotaan dan pedesaaan di Aceh. Dengan tidak sadar, orientasi hidup konsumerisme melahirkan sikap permisif (serba membolehkan), hedonis atas kehidupan duniawi dan lantas meniadakan pendekatan nilai ukhrawi.

Kekuatan arus gaya hidup konsumerisme relatif memberikan pengaruh berkembangnya sejumlah kriminalitas di Aceh, salah satunya narkoba. Pada banyak kasus narkoba yang terjadi di tengah masyarakat, diawali keinginan hanya sekedar mencoba ataupun pengaruh tekanan lingkaran pergaulan, kemudian terbiasa merasakan kenikmatan dan akhirnya tidak sanggup melepaskan ketergantungan dari jeratan narkoba.

Begitu juga halnya dorongan menjadi seorang pengedar narkoba, hasrat ingin mempunyai uang yang melimpah sebagai modal kesenangan narsistik dan adu gengsi dalam kelas sosial. Sikap itu kerap terjadi pada golongan usia muda karena hanya dilandasi gengsi gaya hidup konsumtif, tanpa pertimbangan akal sehat lebih tertarik menjajal profesi sebagai kurir narkoba.

Dampak narkoba

Dampak langsung peredaran narkoba di Aceh telah menghancurkan sendi kehidupan masyarakat dengan terganggu kesehatan fisik atau mental, hancurnya rumah tangga dan generasi muda kehilangan pendidikannya.

Hal lain yang menjadi catatan penting jika terjadi hubungan antara pasar gelap narkoba dengan ranah politik. Artinya, peredaran narkoba sudah mampu mempengaruhi ruang lingkup sistem kekuasaan. Sehingga praktik pencucian uang hasil bisnis penjualan narkoba dapat digunakan untuk kepentingan oknum politisi ketika pemilu.

Mengubah Mindset

Melihat realitas di lapangan selama ini tidak mungkin usaha perbaikan penanganan narkoba tergantung pada tindakan hukum semata tanpa pendekatan moral religiusitas. Bahkan dinginnya lantai dan rasa bosan dibalik jeruji besi penjara pun tidak juga memberikan efek jera dan pelajaran. Sudah menjadi rahasia umum peredaran ‘barang haram’ itu mampu dikendalikan oknum narapidana narkoba di dalam lembaga pemasyarakatan.

Individu yang terlibat dengan narkoba bisa dikatakan sosok yang sudah bebal dan terbutakan belenggu gaya hidup konsumerisme dan hedonis. watak seperti itu semakin memperparah situasi krisis peredaran narkoba yang setiap hari terus meningkat, ibarat “bom waktu” siap meledak menghancurkan kemaslahatan tatanan kehidupan di Aceh.

Usaha yang perlu dilakukan dalam mencegah pengunaan narkoba, tidak ada cara lain yang mendasar dan radikal kecuali gisa bak punca dengan merubah mindset tentang kehidupan melalui penguatan ilmu agama dan mendisiplinkan adab (ta’dib) yang diterapkan sejak dini. Jadikan ilmu dan adab sebagai obat untuk mengobati hati dan pikiran yang terinfeksi wabah penyakit konsumerisme dan hedonis di tengah kencangnya perubahan sosial. 

Akhsanul Khalis, S.IP. M.P.A/Pengajar Fisip UIN Ar Raniry.

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda