Nestapa Pilpres di Aceh
Font: Ukuran: - +
DIALEKSIS.COM | Opini - Kau bukan utamakan tegap gagah perkasa, siapa dia? Wiro Sableng membela kebenaran membasmi kejahatan, inilah dia Wiro Sableng, sikapnya lucu, tingkahnya aneh, persis orang yang kurang ingatan dan tak sadar, dia slengean tapi cintai damai. Wiro Sableng disukai banyak orang, Wiro Sableng, dasar sableng, gurunya gendeng muridnya sableng. Lirik lagu Wiro Sableng pendekar kapak maut naga geni 212.
Makna filosofi yang terkandung dalam lirik lagu tersebut, menceritakan bahwa ada seorang pemuda yang dibesarkan oleh seorang guru yeng terkenal ahli persilatan. Wiro pendekar maut yang memiliki senjata pamungkas kapak maut 212 dan memiliki rajah “ 212” di dadanya. Wiro Sableng memiliki sifat aneh, lucu, tapi cinta damai, merasa diri sebagai pembela kebenaran padahal dia gila dan berguru dengan Sinto Gendeng yang gila juga. Film Wiro Sableng merupakan sebuah novel karya Bastian Tito yang berjaya di era 1990an-2000an.
Walaupun novel ini fiksi, namun sifat-sifat karakter tokoh utama sang pendekar, ternyata ada di dunia nyata. Hal itu terjadi pada saat Pemilihan Presiden (Pilpres) tahun 2019 yang lalu, dimana karakteristik Wiro Sableng tercermin dari sikap suka menuduh orang lain menjadi bagian Partai Komunis Indonesia (PKI) karena membela Capres-Cawapres Jokowi- Ma’ruf Amin, menuduh kafir golongan yang tidak mendukung Capres-Cawapres junjungannya yang katanya hasil ijtima ulama, menjustifikasi diri membela Capres-Cawapres pasangan Prabowo Subianto bagian dari jihad membela agama. Sikap merasa diri paling benar, disukai banyak netizen. Secara alamiah telah menyerupai sikap tokoh utama pendekar naga geni kapak maut 212, sebuah novel yang kemudian difilmkan.
Namun Pilpres 2019 telah membuka mata kita bahwanya politik itu tidak ada teman dan musuh yang abadi yang ada hanya kepentingan sesaat. Hal itu dibuktikan dengan masuknya pasangan Capres- Cawapres kedalam kabinet Indonesia maju. Prabowo Subianto mendapatkan jabatan berupa Menteri Pertahanan dan Sandiaga Uno menjadi Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Hal mengingat penulis tentang sebuah petuah Ibnu Rusyd, “ jika ingin menguasai orang bodoh bungkuslah yang batil dengan agama”.
Pada konteks ini penulis mengamati dimana kebodohan dengan perkataan seorang pendakwah di Aceh yang mengatakan bahwa bagi orang yang tidak memilih Prabowo Subianto matanya telah buta, telah ditutup hati oleh Allah SWT, dan akan masuk neraka. Namun setelah pilpres selesai mereka ditinggalkan begitu saja, itulah kepentingan politik yang tidak bisa dimengerti mayoritas masyarakat Aceh ketika itu.
Namun yang lalu biarlah berlalu, mari kita jadikan peristiwa yang lalu sebagai sebuah dimensi pembelajaran. Pilpres 2024 sudah didepan mata. Ada tiga pasangan calon presiden yang muncul, ada Anies Baswedan dari Partai Nasdem, Ganjar Pranowo dari Partai PDI-P dan Prabowo Subiato dari Partai Gerindra. Namun yang menjadi pertanyaan kemanakah Aceh hendak berlabuh dalam pilpres 2024.
Dalam kurun beberapa waktu yang lalu salah satu pasangan yang acapkali melakukan silaturrahmi dengan masyarakat Aceh adalah Ganjar Pranowo, hal itu ditandai dengan penyematan gelar Teuku kepada sang Gubernur Jawa Tengah. Pemberian gelar tersebut dilakukan di rumah Rektor Universitas Malikussaleh (UNIMAL) Aceh, Prof Dr Herman Fithtra dipimpin oleh M. Jalil Hasan, selaku Ketua Majelis Adat Lhoksemaweu. Pemberian gelar Teuku kepada Ganjar Pranowo disebabkan karena kontribusinya membangun Indonesia, khususnya Jawa Tengah. (ANTARAACEH, 10 April 2022).
Wali Nanggroe Aceh Tgk Malek Mahmud Al-Haytar juga dalam beberapa waktu yang lalu mengunjugi Ganjar Pranowo di kediamannya di Jawa Tengah, dalam kunjungan tersebut Wali Nanggroe membahas mengenai pembangunan Aceh yang sudah ada undang-undang keistimewaan Aceh lewat Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006. Kondisi geografis Aceh yang sangat strategis, dan sumber daya alam yang melimpah.
Adapun Anies Baswedan juga sempat mengunjungi Aceh untuk safari politik di penghujung tahun 2022. Sang Gubernur yang pernah memimpin Ibukota Negara Republik Indonesia melakukan silaturrahmi dengan Wali Nanggroe Aceh, para ulama, tokoh adat beserta pendukungnya.
Sedangkan Prabowo Subianto belum melakukan kunjungan ke Aceh menjelang Pilpres 2024 padahal pada Pilpres 2019, Prabowo menang telak di “Tanah Rencong”. Kunjungan ke Aceh hanya diwakili oleh Sekjend Gerindra Ahmad Muzani, pada saat maulid raya di kompleks Wali Nanggroe Aceh pada akhir tahun 2022.
Aceh memang memiliki magnet luar biasa. Karena setiap calon Presiden yang ingin mencalonkan diri sebagai pemimpin tertinggi di Republik ini wajib mengunjungi Aceh, walaupun total pemilihnya tidak begitu banyak, namun aura Aceh tetap berbeda. Aceh memiliki kekuatan kosmik yang berbeda dengan berbagai berbagai provinsi lainya di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sehingga setiap kandidat calon presiden sudah menjadi keharusan untuk mengunjugi Aceh, kadangkala kekuatan kosmik ini tidak dipahami oleh orang Aceh.
Masyarakat Aceh beserta stakeholder pemangku kepentingan lainnya seperti, ulama, akademisi, dan tokoh-tokoh Aceh lainya hendaknya memahami dinamika politik menjelang pilpres 2024, jangan sampai mengulang sejarah di 2019, kandidat yang didukung oleh mayoritas masyarakat Aceh kalah telak di kancah perpolitikan nasional. Sehingga berefek terhadap pembangunan di Bumi Aceh.
Sudah seharusnya Aceh bersinergi bersama untuk melakukan nota kesepahaman mendukung kandidat presiden yang memiliki potensial yang akan menang dalam pilpres 2024. Hal ini perlu dilakukan karena selama beberapa dekade ini Aceh selalu menjadi oposisi dalam kontestasi pilpres, kita jarang sekali mendukung pasangan capres yang potensial menang, kita asyik dengan terlena dengan konflik kepentingan nasional akan tetapi melupakan kepentingan Aceh.
Maka oleh karena itu perlu adanya nota kesepahaman dilakukan dengan mengajukan berbagai program menampung aspirasi masyarakat Aceh. Nota kesepahaman menurut hemat penulis berupa pembangunan sektor ekonomi terutama bagi para pemuda-pemudi Aceh. Hal ini merupakan fardhu ain yang harus dilakukan segera mungkin. Nota kesepahaman jangan hanya perjanjian normatif saja seperti di 2019, akan tetapi harus mengarah kepada pembangunan ekonomi rakyat Aceh. Semoga rakyat memahami politik pilpres 2024, jangan sampai salah melangkah, fanatik buta yang tidak ada arah, kemudian Aceh ditinggalkan begitu saja, ibarat sapi perah, setelah susu diperah, kemudian dikasih rerumputan sedikit kemudian ditinggalkan dengan penuh kekecewaan.
Penulis: Tibrani Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia dan Ketua Umum Wisma Foba Aceh-Jakarta.